was successfully added to your cart.

WARGA DUNIA

WARGA DUNIA

     Saudara teman saya pergi menimba ilmu di Amerika Serikat dan ketika lulus mendapat tawaran pekerjaan di sebuah lembaga pemerintah AS. Kemudian sang orang tua diwawancara dan mendapat tawaran untuk tinggal di sana. Hingga kini, mereka sama sekali tidak tahu di mana anaknya bekerja, meski yang jelas ia mendapatkan upah dan fasilitas yang sangat baik. Putra satu-satunya itu bekerja sampai larut malam, tidak bersosialisasi, dan juga tidak mempunyai kesempatan untuk meluangkan waktu berlibur bersama keluarga. Orang tuanya tidak tahu bagaimana masa depan putra mereka, bukan dalam soal finansial, namun lebih pada aspek-aspek sosial dan hubungan keluarga. Apakah kita bisa menyebutkan tokoh ini sebagai pekerja global? Betul bahwa ia bekerja dan memboyong orang tua tinggal di luar negeri, bahkan berpenghasilan sangat baik. Namun, bagaimana dengan wawasannya? Apakah ia merasa bahwa ia adalah warga dunia atau hanya menjadi warga kota tempat dia tinggal? Atau apakah dunia bagi yang bersangkutan adalah  sekedar layar komputer yang dipandanginya setiap hari?

     Mari kita bandingkan dengan Leila S Chudori, pengarang novel Pulang, yang sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Leila sering diundang sebagai pembicara oleh berbagai pihak yang tertarik pada penulisan, cerita, dan otomatis, manusia Indonesia. Ia memulai penulisan bukunya dengan berbahasa Indonesia yang mengisahkan kehidupan orang Indonesia yang terpaksa merantau di negeri orang. Bukan karena tempat kejadian yang kebetulan diceritakan adalah di luar Indonesia, yang membuat karya ini menarik selera orang dari negara lain. Karyanya sangat dinikmati, justru karena ada kesamaan wawasan, selera, dan pandangan. Dari contoh Leila ini, boleh dibilang orang tidak perlu berada dan sering pergi keluar negeri untuk menjadi global.  

Bagaimana cara kita melihat dunia?

     Pada dasarnya, sikap global ini bukan barang baru. Diogenes Laertius, seorang filsuf Yunani sudah berkata, “I am citizen of the world” pada tahun 220 Masehi. Selain itu, ketika zaman hobi koleksi prangko masih diminati luas, bukankah kita tahu bahwa pameran, transaksi jual-beli, dan tukar-menukar sudah diadakan secara global, alias tidak mungkin hanya dalam negeri saja? Dari sini kita belajar bahwa untuk menjadi global kita tidak perlu mengingkari eksistensi kita sebagai orang Indonesia. Kita perlu menjadikan keberadaan kita sebagai landasan utama. Namun demikian, di dalam diri kita juga perlu ada wawasan dan nilai lain. Di antara kelompok filatelis tentu ada orang yang direspek oleh anggota lainnya lebih daripada yang lain, bila ia sangat kuat dalam passion, pengetahuan, dan koleksinya, tanpa peduli asal-usulnya. Inilah yang dinamakan wawasan global.

     Istilah “warga dunia” atau global citizen didefinisikan sebagai “someone who identifies with being part of an emerging world community and whose actions contribute to building this community’s values and practices” (www.theglobalcitizensinitiative.org). Pada saat sekarang, ketika perhatian dunia sudah sampai kepada lintas batas negara, pemanasan global, kemanusiaan, perkembangan teknologi, ekonomi, serta politik, kita perlu memandang tempat kita hidup ini bukan "selebar daun kelor" lagi, tetapi sebuah tempat yang lebih luas, yaitu dunia ini. Jadi, di satu pihak kita perlu menguatkan karakter dan kepribadian kita, serta wawasan kenegaraan kita, tetapi di pihak lain kita pastinya perlu siap berkomunitas bahkan bersaing dengan warga dunia lain. Rentang wawasan kita perlu kita perpanjang, antara sejarah dan masa depan, antara patriotisme kebangsaan dan benchmark ke luar negeri.

     Dunia sudah berubah secara longitudinal dan horizontal. Kalau kita sudah menyadari bahwa kehidupan berkomunitas sekarang kian penting, langkah selanjutnya adalah berkomunitas dengan warga dunia lainnya. Kita tidak mungkin melakukan pengamanan lingkungan sendiri. Kita pun tidak mungkin memberantas penggunaan narkoba secara terbatas, seperti halnya korupsi yang juga tidak semuanya berpangkal pada kesalahan mental bangsa kita sendiri. Secara tidak langsung kita juga perlu menyadari bahwa kita tidak hanya perlu bertanggung jawab terhadap diri sendiri, keluarga, atau  perusahaan sendiri saja, namun  juga perlu mempunyai concern dan tanggung jawab lebih luas.

Berkiprah secara digital 

     Teknologi digital telah menghilangkan banyak hambatan antar birokrasi, waktu, dan negara. Kita tidak perlu mengeluarkan ongkos yang besar untuk memuaskan rasa ingin tahu kita.  iba-tiba teknologi menciptakan peluang-peluang baru yang menarik yang mempengaruhi individu dan perusahaan. Contoh seperti iPhone dan iPad atau Facebook, Twitter, Wikipedia, aplikasi Android, Uber, dan masih banyak lagi telah menunjukkan bahwa baik individu maupun perusahaan bisa melakukan hal-hal yang satu dekade lalu dianggap tidak mungkin. Memesan dan membayar taksi secara digital sudah membuat perusahaan yang tidak melakukan teknologi digital yang canggih dalam kondisi terancam. 

     Walaupun demikian, kontribusi Amazon, Facebook, Google, dan raja-raja digital ini masih belum mencapai 10% dari perputaran uang di dunia ini. Karenanya, boleh dikatakan masih sangat banyak peluang yang bisa dilakukan oleh perusahaan yang belum memanfaatkan teknologi secara optimal ini. Bagi para pemimpin, visi dan governance yang kuat diperlukan untuk melihat peluang melalui teknologi. Investasi ke arah digital ini juga perlu dibarengi dengan kemampuan karyawan untuk mengidentifikasikan peluang-peluang lain, Jadi, kita perlu memanfaatkan teknologi digital secara cerdas dan cermat, tetapi tetap tidak boleh melupakan bahwa segala sesuatu tetap berbenang merah common sense, kekuatan konten dan karakter produk, pelayanan kita serta kesadaran bernegara kita.

Dimuat dalam KOMPAS, 19 September 2015

 

For further information, please contact marketing@experd.com