was successfully added to your cart.

KONFLIK

DI dalam kehidupan kita sekarang ini, tiba-tiba kita seolah dalam satu hari tidak bisa terhindar dari konflik. Di media, kita melihat konflik antara wakil pemerintah dengan para eksekutor. Demikian pula konflik terbuka antarpartai, di depan umum, disorot media. Belum lagi konflik antara lembaga, atau juga antarmenteri, sehingga Presiden ikut mengancam agar konflik segera diselesaikan. 

Kita juga bisa menonton, pemimpin yang terasa menghindari konflik, dan tidak mengambil keputusan dengan segera sehingga persoalan menjadi bertele-tele. Konflik sering kita lihat sebagai sesuatu yang semestinya tidak terjadi. Kita membayangkan, asal berniat sedikit lebih baik, konflik bisa tidak terjadi. Tidak heran, bila terjadi konflik kita langsung menengok kepada pemimpin, di mana pemimpin diharapkan bisa mendamaikan, mengkompromikan, atau memutuskan mana yang benar atau salah. 

Memang, pemimpin perlu membekali diri dengan kemampuan manajemen konflik. Namun, kita sering menunggu keputusan pemimpin atas konflik yang sudah berkelanjutan, dan pemimpin belum juga mengambil keputusan, bahkan kemudian, cenderung melupakan tentang adanya masalah. Memang banyak konflik yang sulit dipecahkan, tetapi pemimpin tetap diharapkan untuk menyelesaikannya. Kalau pemimpin menghindar, kita bisa melihat bahwa ini adalah awal dari hilangnya kepercayaan sehingga orang tidak lagi ingin mengikutinya. 

Antisipasikan keberadaan konflik

Banyak pemimpin, memang tidak mengupayakan langkah-langkah tindakan berjaga-jaga ketika konflik mulai muncul. Konflik kemudian dianggap sebagai sebuah bencana. Padahal, kita semua sama-sama mengerti bahwa dari konflik, perbedaan pandangan, dan pendapatlah, kita bisa menemukan solusi dan memperkaya wawasan. Oleh karena itu, petunjuk atau prosedur standar perlu kita segera siapkan, terutama untuk organisasi yang baru dibentuk, beserta deadline pengambilan keputusannya. Bahkan, pemimpin yang sudah mulai mengendus adanya isu-isu kecil yang berpotensi konflik, perlu segera mendekati para pihak, agar kesenjangan tidak melebar, dan berubah menjadi konflik personal. 

Memang, pemimpin yang baik perlu juga mengatur gaya penyelesaian konfliknya sesuai prioritas dan kepentingan bersama, kepentingan lembaga, atau bahkan negara. Demikian pula, seorang pemimpin perlu jeli terhadap kepentingan-kepentingan tersembunyi dari pihak-pihak yang berkonflik, dan tugas pihak yang lebih bijaksanalah yang perlu mengajak para pihak untuk berfokus pada akar masalah sebenarnya, platform-nya, dan kepentingan yang lebih luas lagi. Kadang kita tergoda untuk berpihak atau menjaga perasaan beberapa teman karena secara personal kita lebih percaya atau lebih dekat. Ini sangat berbahaya. Bila sudah menjadi personal, muncullah perilaku mencari kambing hitam, sindir menyindir, saling menyerang, dan masih banyak lagi yang sesungguhnya sama sekali tidak mengarah pada pengambilan keputusan atau solusi. 

Suatu tim pasti bekerja dengan tujuan yang sama, meskipun agenda bisa berbeda-beda. Andaikata saja tujuan selalu diingatkan kembali dan agenda satuan kerjanya dipampangkan di atas satu platform yang jelas, kita bisa menyelesaikan konflik manapun. Yang sulit adalah bila agenda tersembunyi, yang tidak transparan, yang justru lebih penting, tetapi malah tidak dibicarakan secara terbuka. 

Contoh keterbukaan bisa kita lihat dari yang dilakukan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang membaca dan menjawab semua Twitter dengan konsisten. Ia mempunyai cara yang konstan dalam menanggulangi persoalan. Ia selalu meminta posting foto atau fakta, dan kemudian menindaklanjuti semua masalah. Ia sadar bahwa dunia teknologi yang maju pesat justru perlu dimanfaatkan. Itulah sebabnya, ia mengambil cara demikian untuk mengendus dan mengira-ngira, masalah apa saja yang terjadi dilapangan.  

Kebhinekaan yang justru menjadi nilai tambah 

Zaha Hadid, seorang arsitek yang futuristis, sangat teguh memegang standar. Ia tidak mau membuat karya yang sama dalam desainnya. Kita bisa membayangkan betapa ia sangat membutuhkan ide-ide segar, yang selalu berbeda. Itulah sebabnya, ia dengan sengaja dan penuh komitmen, merekrut karyawan dengan berbagai latar belakang budaya, serta memanfaatkan keberbedaan visi masing masing individu. 

Diversity management adalah kunci pengembangan di era sekarang. Jika tidak disikapi dengan bijak, perbedaan kerap kali menjadi alasan utama terciptanya jarak bahkan konflik. Hanya sekedar berbeda orang sudah merasa berjarak satu sama lain. Padahal, perbedaan justru adalah sebuah nilai tambah. Perbedaan memunculkan ide-ide yang beragam dan memperkaya wawasan seluruh anggota tim. Permasalahan yang dilihat dari sudut pandang yang beragam akan menghasilkan solusi baru-baru yang segar. Bahkan, di masa sekarang ini, perusahaan yang masih mempertimbangkan legacy, atau kelompok-kelompok asalnya, akan seolah mati berdiri, tidak bisa lari. Konflik dan perbedaan pendapat harus dipandang sebagai sebuah tantangan. Perbedaan juga bukan sekedar masalah kuantitatif, persentase, atau variasi suku bangsa atau usia. Keberbedaan ini perlu diminati secara mendalam, dan perlu diyakini, bahwa memang “kita harus berdiri di atas perbedaan pendapat dan pandangan”. 

In today’s new workplace, diversity management is a time-sensitive business imperative. Jadi, kita tidak bisa lagi berada dalam keadaan berpandangan pendek dan melihat konflik dan perbedaan secara agresif. Kita harus tahu bahwa ini adalah pangkal tolak penyusunan kekuatan. Selain itu, kita juga perlu tahu bahwa diversity ini bukan sekedar prinsip atau nilai, tetapi juga perlu dioperasionalkan. Kita justru mengundang beda pendapat, kita justeru perlu menantang semua pendapat, bahkan pendapat kita sendiri. Kita berada dalam krisis yang konstan. Karenanya situasi konflik justru adalah santapan sehari hari. Untuk itu, mengatasi konflik dan memberdayakan perbedaan membutuhkan kematangan seorang pemimpin. Pemimpin yang terbiasa dan nyaman dengan keberagaman. 

Dimuat dalam KOMPAS, 2 April 2016

 

For further information, please contact marketing@experd.com