was successfully added to your cart.

THE NEW NORMAL

KETIKA semua lini bisnis merasakan turbulensi, yaitu harga beli naik, penjualan turun, banyak dari kita merasa bahwa badai ini pasti pada suatu saat akan berlalu. 

Harga minyak mentah, yang sudah pernah terpuruk dan mencapai 48 dollar AS per barel diharapkan akan naik lagi. Namun, benarkah harapan tersebut akan terjadi? Bukankah krisis ini sudah berlangsung cukup lama dan tidak kunjung berlalu? Bukankah kita sendiri melihat gejala-gejala yang nyata, seperti tuntutan pelanggan yang tiba-tiba berubah, mau murah, mau cepat, dan sering berpindah? Demikian pula perkembangan teknologi yang berubah dengan cepat sehingga alat bantu yang tadinya terasa canggih, tiba-tiba terasa usang? Masihkah kita mencari-cari “kambing hitam”, seperti keadaan politik, cuaca, atau hanya menunggu faktor-faktor eksternal tersebut berubah dengan sendirinya? 

Bukankah kita semakin perlu mengesahkan bahwa kita tengah memasuki kondisi VUCA yang berkelanjutan: volatility (perubahan yang cepat, besar, dan dinamis); uncertainty (ketika kita tidak mampu memprediksi situasi); complexity (berbagai isu yang saling tumpang tindih bahkan menimbulkan chaos); ambiguity (ketika realitas terlihat samar dan sulit diartikan). Bisa dikatakan bahwa dunia ini memang sudah berubah bentuk, penuh tantangan, penuh turbulensi yang berbentuk tuntutan pelanggan, harga yang ekstrim murah, persaingan, dan kompleksitas yang tidak pernah berhenti. 

Kita dituntut untuk menjadi fleksibel secara dramatis sehingga mampu menyesuaikan diri dengan keadaan pasar, dan dalam hal ini para pemimpin yang bisa beradaptasilah yang mampu tetap menjalankan fungsinya. Namun, inilah yang mengherankan, bila ada pemimpin lembaga atau perusahaan yang masih lamban berubah. Misalnya, melihat gen Y sebagai generasi yang menghambat, tanpa menyadari bahwa mereka adalah generasi yang dominan saat ini. 

Pemimpin seperti ini masih berharap kondisi lalu yang mengantar mereka pada kesuksesan atau kembali seperti sedia kala. Bahkan, bila ada program yang menuntut adaptasi atau menuntut pembelajaran keterampilan-keterampilan baru, para pemimpin merasa bahwa orang lain, terutama generasi yang baru tumbuh inilah yang perlu beradaptasi dengan keadaan di sekitar dirinya, bukan sebaliknya. Pemimpin yang berteropong hitam-putih, penuh stereotip, tak akan setuju bahwa keadaan ambigu harus diterima dan disikapi secara positif. Mengapa kita susah beradaptasi? Individu, terutama yang sudah pernah sukses, biasanya mempunyai ketakutan akan kegagalan yang lebih kuat daripada generasi baru. Padahal, untuk melanjutkan hidup dan karyanya, tidak ada jalan yang lebih baik selain belajar. 

“EGO check”

Bukankah kita tahu bahwa individu yang sudah berusia lanjut cenderung menceritakan masa lalu terus-menerus, bahkan berulang-ulang, tanpa bisa melepaskan diri dari ingatan tersebut. Ini memang gejala lansia. Namun, bagaimana bila kita, yang masih produktif ini sudah tidak punya kemampuan untuk melihat ke depan, apalagi, menembus ketidakjelasan situasi? Kita tidak punya pilihan untuk enggan belajar, layaknya orang yang sudah piawai tiba-tiba  terpaksa harus duduk di bangku pendidikan lagi. 

Harus ada tenaga empat kali lipat  masuk ke “mode” belajar dan masuk ke dunia adaptibilitas, untuk menguasai dinamika baru. Bagaimana supaya kita tidak terjebak pada gejala kekakuan ini? Pertama, kita perlu sadar, butuh kesadaran tingkat tinggi. Situasi “high awareness” ini, perlu dijaga dengan cara sering meminta umpan balik dari orang sekitar, mengecek apakah kita memang masih berorientasi ke depan. Kita tetap perlu meninggalkan dan menanggalkan sukses masa lalu kita. Hal yang perlu kita biasakan adalah mendefinisikan ulang apa yang disebut sukses dan keberhasilan itu. 

Bentuknya mungkin sudah berbeda di masa ini. Sukses dahulu adalah mencetak laba sebanyak dan secepat mungkin. Tengok betapa Facebook dan Gojek mengumpulkan data terlebih dahulu dan perlu menunggu bertahun tahun sampai bisa menghasilkan uang. Kita pun sulit membayangkan, mengapa data bisa sedemikian berharganya, bila kita tidak mengikuti perkembangan teknologi dan bisnis. Satu-satunya jalan untuk mampu menghadapi turbulensi ini adalah sikap yang terbuka sehingga kita mampu bekerja dengan kontradiksi dan paradoks-paradoks yang berkeliaran. Kita pun harus bersiap untuk membuat lebih dari satu pilihan dan berdiri di atas kebingungan ini.

Kekuatan adaptasi  

Seorang pensiunan kolonel Amerika, Eric Kail, memberikan beberapa taktik untuk beradaptasi di dunia VUCA ini. Untuk situasi yang volatile, kita perlu meningkatkan kejelasan dalam berkomunikasi dan meyakinkan diri sendiri bahwa pesan kita benar-benar sampai dan dimengerti. Uncertainty bisa kita tanggulangi dengan memandang dari sudut pandang yang berbeda, sehingga mendapatkan perspektif yang segar, dan kalau perlu, bersikap fleksibel menyesuaikan diri. Menghadapi complexity, pemimpin terutama perlu menguatkan kemampuan kolaborasinya, dan perlu memahami bahwa tidak ada solusi yang permanen. Sementara dalam menghadapi situasi yang tak jelas, ambiguity, kita perlu meningkatkan kekuatan mendengar kita, sambil berfikir secara divergen. 

Kalau dulu kita merasa bahwa dunia ini penuh “problem”, tuntutan, kecepatan, analisis, saat sekarang dunia sedang dipenuhi dengan dilema, yang membutuhkan kesabaran, sense-making, dan engagement lebih banyak. Pada akhirnya dunia VUCA yang terlihat sangat tidak nyaman dan penuh kejutan ini dapat ditransformasikan menjadi VUCA yang adaptif, yaitu vision – keyakinan bahwa kita mampu menciptakan masa depan sendiri, understanding – kekuatan untuk stop, look dan listen, clarity – kemampuan untuk memahami dan berdiri tegak dalam “chaos;, dan agility – mengganti hirarki justru dengan keterhubungan dan network

Dimuat dalam KOMPAS, 4 Juni 2016

For further information, please contact marketing@experd.com