was successfully added to your cart.

“FULL DAY SCHOOLING?”

“FULL DAY SCHOOLING?”

KETIKA Bapak Presiden mengimbau untuk menguatkan pendidikan anak dari dalam keluarga, karena akhlak dan karakter bermula dari rumah, kita pasti setuju dengan pendapat beliau. Kita para orang tua pasti banyak merasa bersalah, karena terbatasnya waktu yang diluangkan untuk membangun karakter anak karena kesibukan kita. Namun kemudian, beberapa waktu berselang, tiba-tiba muncul wacana tentang penerapan full day school. Muncul reaksi-reaksi yang dipenuhi sikap skeptis dan ketidak setujuan. 

Henny Supolo, tokoh pendidikan, mengajak penggagas untuk merenung sebelum bicara. Sementara Sarah Sechan, selebriti ternama, mengutip ungkapan Mark Twain "Don't let school interfere with your education". Banyak orang mengeluh mengenai perkembangan teknologi, krisis ekonomi, yang sering dikaitkan dengan lemahnya karakter generasi muda saat ini. Semua pihak terutama yang bertanggung jawab akan pendidikan memang sedang mencari cara untuk memperbaiki pengembangan karakter. Pertanyaannya, apakah kita memang bisa mengandalkan sekolah untuk tugas ini? Sementara para ahli, politisi, filsuf sejak dulu menyatakan, antara lain, ”Intelligence is not enough. Intelligence plus character, that is the goal of true education” ( Marthin Luther King, Jr). 

Apa artinya karakter kuat?  Apa gunanya? 

Kuatnya karakter tergambarkan dalam sebuah wawancara saya dengan seorang fresh graduate bernama Yuli. Kedua orang tuanya bekerja sampai malam, ibunya bekerja di salon sementara ayahnya adalah pengemudi. Setiap hari ia bertugas untuk menyetrika baju seluruh anggota rumah, sementara adik satu-satunya membersihkan rumah. Ketika ditanya situasi apa yang paling berat yang pernah ia alami, ia menceriterakan tentang krisis pernikahan orang tuanya, ketika ayahnya ingin berusaha sendiri, dan menjual semua harta yang ada, tetapi merugi. Ibunya sangat marah dan menggugat cerai sang ayah. 

Yuli berusaha menenangkan ibunya dengan menjelaskan dampak buruk dari sebuah perceraian. Krisispun berlalu, Yuli berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan predikat A. Selama kuliah, ia bekerja part time, dengan mengajar bahasa Indonesia kepada para expat yang baru bermukim di Indonesia, untuk membayar uang kuliahnya sendiri. Di rumah, ia mengundang anak-anak sekampung untuk membuat PR bersama, dengan bayaran ala kadarnya. Alasannya? “Daripada menonton sinetron, lebih baik rumah ramai dengan anak lain. Sepi dirumah, Bapak Ibu pulangnya malam “. 

Bukankah jalan hidup yang keras ini membuat Yuli menjadi seorang yang kuat, mengerti arti kehidupan, dan siap menghadapi tantangan lain dalam hidupnya?  Individu berkarakter kuat perlu menanggulangi masalah-masalah yang berkenaan dengan emosi. Fairness dan kejujuran tidak hanya bisa diceramahkan dan dikuliahkan, tetapi juga harus dialami, dicontoh, dinilai, bahkan diderita sehingga akhirnya individu dapat mengambil keputusan yang bertanggung jawab, dan beraspirasi tinggi untuk memperbaiki kualitas hidupnya.   

Apa yang dibutuhkan untuk sukses di dunia kerja?

Dunia bisnis tidak hanya butuh orang-orang dengan kapasitas berpikir yang besar, tetapi juga orang-orang dengan karakter yang tangguh. Seorang pemimpin harus mengambil keputusan yang tidak hanya logis, tetapi juga benar secara moral. Karakter yang kuat membuat seseorang bertahan di tengah-tengah situasi menekan dan penuh godaan untuk tetap melakukan hal-hal yang benar. Kemampuan berpikir tanpa karakter hanya akan menghasilkan manuver-manuver cerdik, yang menguntungkan diri sendiri, berjangka pendek, namun tidak menjamin kemajuan institusi, apalagi  masyarakat luas.

Apa yang bisa dilakukan?

Membentuk karakter membutuhkan investasi waktu. Setiap kejadian yang dilalui, juga setiap pihak dalam kehidupan seseorang baik orang tua, lingkungan, institusi pendidikan, juga organisasi ikut berperan dalam pembentukannya. 

Selain melalui pengalaman hidup, karakterpun juga dibentuk lewat pemberian teladan. Berbicara tentang teladan maka baik orangtua, guru, tokoh masyarakat, ulama, pemerintah, maupun pemimpin organisasi bertanggung jawab untuk melakukannya. Apakah pada saat kita menuntut anak-anak, siswa, bawahan atau masyarakat untuk mewujudkan revolusi mental, kita sudah mencontohkan perilaku yang tepat? Atau kita hanya sibuk berteriak, tetapi berperilaku bertentangan dengan hal-hal yang kita suarakan? 

Karakter juga dikembangkan lewat dialog-dialog, yang menjawab  pertanyaan “mengapa” dengan jujur, dan bagaimana menanggulanginya, sesuai dengan kemampuan individu. Untuk itu, perlu ada pembicaraan tatap muka, satu lawan satu, dengan individu, dan kebersamaan dan pengawasan ketika ia mempraktekkan perubahan. 

Kita harus berfokus pada esensi. Bukan masalah seberapa jam yang kita habiskan, melainkan apakah dalam waktu-waktu yang tersedia kita telah memberikan teladan terbaik, merancang pengalaman yang tepat, membentuk sistem pembelajaran yang mendukung atau membangun budaya yang menguatkan terbentuknya perilaku-perilaku positif.  

Dimuat dalam KOMPAS, 13 Agustus 2016

For further information, please contact marketing@experd.com