was successfully added to your cart.

AMARAH

KITA sekarang benar-benar sedang menghadapi situasi yang ringkih dan penuh sensitivitas. Bisa dibilang, salah bicara bisa jadi perkara. Kita sebenarnya perlu bertanya-tanya, apakah selama ini rasa amarah yang mudah tersulut lebih diakibatkan kekesalan yang bertumpuk, ketidakpuasan atas situasi yang terjadi, atau memang karena kita tidak terampil dalam mengelola perasaan.

Mari kita telaah keharmonisan hubungan kita dengan emosi kita sendiri. Bukankah istilah EQ belakangan sudah demikian populer sehingga kita semua meyakini bahwa emosi itu perlu dikenali dan dikelola? Namun, menyaksikan kejadian-kejadian belakangan ini, emosi benar-benar layaknya pisau bermata dua. 

Dalam kondisi normal, kita bisa memanfaatkan emosi untuk berkawan, bersilaturahim dan membina hubungan baik. Namun, ketika amarah terpicu, kita tidak lagi efektif menggunakan akal sehat. Katakanlah, ketika seorang teman baik memberi masukan kepada kita, tiba tiba rasa tidak nyaman bisa begitu berkecamuk, bahkan membangkitkan agresi. Manusiawikah itu? Bagaimana kita bisa menjadi orang yang lebih bijak, kaya emosi, tetapi juga mampu beradaptasi dengan tuntutan secara sehat? Bukankah hal ini merupakan tujuan orang yang ingin menuju ke kedewasaan? 

Kita mungkin lupa, perjalanan hidup kita ini adalah perjalanan emosional. Secara awam kita tahu, hidup dimulai dengan tangisan dan pada saat menghembuskan nafas terakhir kita pun ditangisi. Bisakah kita membayangkan hidup tanpa emosi? Sebaliknya, penuh emosi pun, betapa tak nyamannya bila hidup ini hanya dipenuhi rasa marah, kecewa dan sedih. Emosi yang beredar dalam tubuh dan jiwa kita memang bisa menjadi sumber energi atau sebaliknya bisa menjadikan kita lemah lunglai, tak berdaya. 

Apakah kita gesit mendengar?  

Dalam berpolitik, dalam berdebat, orang yang mempunyai banyak data dan informasilah yang bisa melakukan manuver dengan bijak. Tentunya bila memang niatnya untuk membela kebenaran. 

Namun, hal yang sering terjadi adalah kita cepat mengumbar kemarahan, tetapi kurang detail mendengar. Apa dampaknya bagi kita? Kita tidak pernah berkembang menjadi orang yang bijak, apalagi menjadi panutan bagi tim. Selain itu, kita tidak akan mencapai tujuan yang diharapkan. Contohnya, seorang manajer TI yang harus menyelesaikan proyeknya tepat waktu, menjadi sangat murka ketika mengetahui bahwa timnya belum menyelesaikan tugas, bahkan belum separuhnya. Proyek itu pasti terlambat. Lalu, ketika sang manajer marah sekeras-kerasnya apakah yang ia dapatkan selain rasa takut yg mencekam? 

Setelah si manajer menenangkan diri, duduk bersama, dan dengan tenang mendengarkan apa saja yang menjadi kendala dan pertimbangan anak buahnya, tiba-tiba permasalahan menjadi lebih clear. Sering kali kemarahan didasari oleh asumsi-asumsi kita tentang apa yang ideal dan tidak ideal. Kalau kita tidak menguji asumsi-asumsi tersebut kita tidak bisa berpikir obyektif, memecahkan masalah, atau belajar dari kesalahan yang dibuat. Begitulah gejala orang yang tidak mendengar dengan saksama. 

Ketika marah tidak efektif

Suara tinggi, teriakan, sampai pada anarki memang bisa membuat orang takut. Namun, apakah orang yang sedang kita ancam kemudian paham akan kehendak dan pesan yang ingin kita sampaikan? Masalah sering kali muncul bukan pada amarah itu sendiri, tetapi pada tindakan agresif yang mengalir keluar. 

Kemarahan di satu sisi adalah hal yang manusiawi, tetapi mengekspresikannya dalam bentuk-bentuk perilaku agresif menjauhkan kita dari pemecahan masalah yang konstruktif dan tepat sasaran. Malahan bila suasana sudah rusak, dan beracun, kita sama-sama terpolusi oleh udara kotor dan tak lagi mampu berpikir lurus. 

Bukankah suasana marah ini sesungguhnya disebabkan karena tujuan kita tidak tercapai? Kekecewaan atas situasi yang tidak sesuai harapan, jika kita tidak hati-hati, dapat berujung kepada kemarahan yang meluap-luap. Dalam suasana amarah yang menggelora seperti itu tujuan awal kita menjadi lebih kabur lagi. Kita sebaiknya belajar mengendalikan amarah, dan bila bukti sudah cukup, barulah kita “bicara baik-baik”. Hanya dalam suasana jernih upaya tanya-jawab dan klarifikasi bisa menghasilkan solusi akhir yang bermanfaat.

Hindari sikap pasif agresif

Dalam kehidupan berorganisasi, secara mutlak kita perlu berkomunikasi dan menyampaikan pendapat. Orang yang kita hadapi banyak jumlahnya dan amat beragam. 

Ada yang pandai mengumpulkan data terkini sehingga dengan banyaknya data yang dibeberkan terasa sulit untuk membantahnya. Ada juga orang yang memang bermodalkan suara yang keras dan lantang sehingga kita sudah merasa kalah sebelum mengungkapkan pendapat. Anggota tim lainnya mungkin tampak tidak punya pendapat sama sekali, tetapi perilakunya menunjukkan ketidakselarasan dengan kesepakatan bersama. 

Yang jelas, pada saat bekerja dalam tim ataupun berorganisasi, baik ide, pendapat, cara mencapai tujuan, ketidaksetujuan maupun kekecewaaan perlu kita ungkapkan secara tepat. Kegagalan untuk mengungkapkannya secara terbuka dan positif akan membuat perasaan dan gagasan terpendam, dan pada akhirnya meledak tak terkendali. Setiap orang memang bisa berbuat kesalahan, keadaan pun tidak selalu bergerak sesuai harapan, dan kondisi tidak selalu ideal. 

Namun, bila ingin survive, kita perlu lebih banyak mendengar, menelaah, dan membaca data dengan saksama. Kita akan lebih banyak mempunyai argumentasi serta fakta yang dapat kita pertukarkan untuk mendorong kelompok bersinergi mencapai tujuan bersama. Olah rasa dan olah data perlu dilakukan secara seimbang dan saling mengisi. 

Dimuat dalam KOMPAS, 5 november 2016

For further information, please contact marketing@experd.com