was successfully added to your cart.

MENTAL SAUDAGAR

MENTAL SAUDAGAR

MUDAH-mudahan dunia sudah berubah. Di generasi saya, orangtua selalu berpesan agar kita belajar baik-baik dan kemudian menjadi pegawai yang baik, syukur-syukur pegawai negeri. Kemudian harapan sekeluarga, bahkan sekampung, adalah kita naik pangkat dan menjadi pejabat.

Kita pun di dalam perusahaan sering berobsesi yang sama. “Kapan saya dipromosikan?” atau “siapa yang pantas menduduki jabatan itu?” Tanpa terasa, kita sebenarnya membentuk mental ketergantungan pada otoritas yang kental. Sebagai akibat, kita pun memandang banyak hal di sekitar kehidupan sebagai sesuatu yang stagnan. Kita menjalani siklus bekerja baik-baik, menunggu naik gaji, kalau beruntung, bisa mendapat bonus. Bagi yang berpenghasilan kecil, uang lembur pun diharap-harapkan dan akhirnya menjadi penghasilan tetap.

Dari manakah kita bisa meningkatkan penghasilan bila ingin hidup lebih konsumtif dengan beragam tawaran menarik di iklan-iklan? Bila iman tidak kuat, bisa timbul pikiran jahat untuk mendapat uang lebih, ngobyek, atau bahkan korupsi ketika ada kesempatan. Apakah ini juga pangkal tolak gejala korupsi yang seolah olah menjamur dan sulit dihentikan? Bila kebanyakan dari kita masih bermental seperti ini,  bagaimana mungkin masyarakat kita bergerak dan bisa menciptakan laba bagi perusahaan tempat ia bekerja, dan pada akhirnya membawa rezeki yang lebih banyak untuk dirinya juga? Bagaimana juga kita bisa membawa negara ini berkompetisi dengan negara lain dan menjadi juara di kancah internasional?

Sebenarnya, kita perlu sedikit keluar dari kungkungan mindset manajerial dan berpikir seperti layaknya seorang wirausaha. Seorang manajer biasanya hanya memikirkan upaya agar pencapaian target bisa dicapai dengan sumber daya yang tersedia. Bila target tercapai, ia berharap akan mendapat reward, dan promosi. Semakin berambisi semakin ia berkutat di organisasinya, dan tidak berpikir jauh ke depan, baik memikirkan sumber daya lain maupun peluang-peluang yang bisa mendorong kinerja dengan besaran yang berbeda. Mental ini adalah mental yang pada abad ke-20 sering disebut sebagai mental ambtenaar, yang bertahan hanya bermodal kepatuhan dan perintah atasan.

Kita semua tahu bahwa negara pun berdagang dan tidak mengikuti pakem-pakem yang stabil. Setelah 50 tahun beroperasi di Indonesia, tiba-tiba Freeport harus menghadapi perubahan cara dagang yang diminta pemerintah. Masih ingatkah kita akan pidato Presiden Joko Widodo pada awal pemerintahannya? Dengan bahasa Inggris yang tidak cemerlang beliau mengundang dan membuka peluang bagi negara lain untuk berinvestasi di Indonesia.

Bukankah warna yang dibawa presiden kita ini adalah warna pedagang? Bagaimana Negara dapat membiayai pembangunan jalan tol di Kalimantan dan Papua sana? Bagaimana Negara dapat menggerakkan roda perekonomian masyaratakatnya bilamana infrastruktur pun tidak tersedia. Andaikata saja, saat sekarang pejabat pemerintah tetap tidak sadar bahwa Negara kita ini perlu meningkatkan dan mengamankan pemasukan serta menekan pengeluaran, bagaimana jadinya Negara kita?

Teori A-R (“ambition-resource”)

Almarhum Prof CK Prahalad menggagas Teori A-R, yang membedakan mental saudagar dengan mental manajer. Yang pasti, seorang saudagar tidak hentinya mencari tahu mengenai lingkungan, mengendus kesempatan, membaca gelagat masyarakat, dan menemukan kesempatan untuk mencetak keuntungan yang lebih besar.

Pertanyaan selanjutnya, apakah saya mempunyai sumber daya yang cukup untuk menangkap peluang tersebut?. Dari sinilah Prahalad kemudian menamai teorinya, teori antara ambisi dan sumber daya. Begitu ada kesenjangan antara ambisi dan sumber daya yang dimiliki, seorang saudagar akan berpikir keras, inovatif, dan inventif, bagaimana cara mendapatkan sumber daya yang cukup untuk menjangkau ambisnya. “There is no entrepreneur who start off with more than a penny in his pocket but dreams to reform the world”.

Dengan pengembangan teknologi, tantangan geopolitik, harapan generasi milenial, dan pertumbungan gig economy, apakah kita masih mungkin menanggapi perkembangan ini dengan mental ambtenaar tadi? Para pakar juga  mengingatkan, “business as usual is not an option”. Saat sekarang dunia sudah menjadi demikian kompleks, dinamis, dan tak terduga. Dunia kerja yang masih merupakan tanda tanya ini, perlu kita terobos dengan keberanian pengambilan risiko, antusiasme perubahan, take action, tetap mengejar inisiatif baru sambil juga melihat jauh ke depan

Tampaknya kewirausahaan ini bukan dominasi para star ups saja, tetapi kita semua harus mulai mengembangkan mental wirausaha ini meski berada di dalam organisasi sekalipun. Banyak orang mendirikan divisi inovasi di perusahaannya, tetapi mengapa keberhasilannya tidak istimewa? Hal ini karena tidak semua orang dalam organisasi bermental saudagar yang selalu mewaspadai kesempatan yang lewat dan berpikir inovatif untuk pengembangan organisasi. Jadi bagaimana memulainya?

Jelas kita tidak bisa terus menerus mengembangkan organisasi berwarna “command & control”, yang para manajernya hanya berpatokan pada prosedur standar, SOP, dan berpegang di situ. Disiplin perlu berubah bentuk menjadi sistem akuntabilitas, komunikasi terbuka, dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai organisasi sambil menghayati tujuan yang lebih luhur.

Mentalitas “everything is a test”

Dengan mentalitas bahwa segala tindakan dan keputusan bisa salah dan bisa berubah, kita harus terus berjalan maju dengan keyakinan dan tanggung jawab 100 persen. Kita tidak bisa menunggu segelintir manusia di manajemen puncak untuk berinovasi dan mebawa perubahan. Kitalah yang perlu bergerak, mecoba dan gagal. Ide harus terealisasi dan selalu sudah dihitung untung ruginya. Waspada terhadap mentalitas yang senantiasa menunda nunda karena ragu atau sikap perfeksionis.

Make a bold choice and make mistake, karena kegagalan yang sesungguhnya adalah ketika kita tidak belajar dari kesalahan dan berhenti untuk berusaha. Kita, di mana pun posisinya perlu bertanya kepada diri sendiri: siapa dan sukses apa yang ingin kamu temui? Only you can change your current outcomes – stop waiting for something or someone else to help you.

Dimuat dalam KOMPAS, 8 April 2017

For further information, please contact marketing@experd.com