was successfully added to your cart.

ADAPT OR DIE

BARU-baru ini kita lumayan dibuat terkejut dengan berita bagaimana Pemda DKI melakukan kontrol budget dengan cara yang terbuka, transparan, dan memanfaatkan teknologi digital sehingga kontrol mudah dilakukan baik secara internal maupun eksternal.

Kita melihat bahwa banyak organisasi juga sedang berpacu untuk melakukan automasi dalam proses bisnisnya. Ada yang sudah bisa memberi pelayanan yang begitu cepat dibanding pelayanan manual di era sebelumnya, tetapi juga ada yang masih belum sempurna. Teknologi ini begitu menggoda karena menawarkan kecepatan, kemudahan, dan pengawasan yang ketat terhadap beragam kebocoran yang zaman dulu kerap terjadi dan hanya bisa dimaklumi.

Dengan aplikasi teknologi digital pada segenap ranah kehidupan manusia, tentunya juga pasti akan mengubah perilaku manusia yang terlibat di dalamnya. Mulai dari pelanggan yang tiba-tiba menjadi kritis kepada produsen dan penyedia karena mereka dengan mudah dapat membandingkan servis yang satu dengan yang lainnya. Masyarakat sekarang dapat dengan cepat menyampaikan keluhannya kepada pemerintah DKI melalui aplikasi Qlue-nya, sampai para penyapu jalan yang harus fasih menggunakan fitur-fitur di ponsel pintarnya mengingat mereka harus berfoto sebagai bukti pelaporan hasil kerjanya.

Pimpinan juga harus mampu melihat lebih jauh lagi ke depan, memiliki imajinasi yang lebih luas mengenai masa depan untuk dapat mendorong inovasi-inovasi di organisasinya. Di lain pihak, dengan digitalisasi, akan banyak sumber daya manusia yang kemudian tidak diperlukan lagi sehingga yang bertahan adalah mereka yang mampu menunggangi perubahan ini. Ini adalah suatu dampak yang nyata dari era disruptif ini.

Stop mengenang masa lalu 

Masih ingat teori evolusi Darwin? Hal yang bisa kita pelajari dari teori ini adalah bahwa makhluk yang sudah berkembang tidak bisa kembali ke asalnya lagi. Evolusi yang sudah terjadi harus diterima sebagai suatu kenyataan yang cukup keras. Bisnis dan dunia kerja memang sudah berubah. Kita bisa mengenang saat kita masih bertelepon menggunakan telepon umum koin, saat kita masih harus menunggu dengan penuh harap balasan surat yang dibawa oleh tukang pos selama berbulan-bulan. Kenyataannya beragam media sosial, ponsel, dan internet membuat perolehan informasi begitu real time sehingga sudah bukan zamannya lagi pengambilan keputusan menunggu waktu berbulan-bulan.

Dunia sudah dikuasai oleh para “digerati”, para elite digitalisasi, media sosial, pemasaran melalui konten, industri komputer dan komunitas-komunitas online. Tengok betapa perusahaan taksi berarmada ribuan dilibas oleh perusahaan yang bermodal minim di mana perkembangannya sulit dideteksi. Ini termasuk para opinion leaders yang tidak membutuhkan media lagi untuk mengungkapkan pendapat mereka.

Para kreatif yang sudah menyebar di luar Silicon Valley, dan membentuk subkultur-subkultur baru, juga sangat mempengaruhi situasi bisnis sekarang. Nah, mampukah kita untuk bangun tidur bersiap untuk berada di depan segala macam inovasi yang diciptakan oleh kawan maupun lawan?

Globalisasi

Dengan pendeknya jarak dan begitu mudah tembusnya dinding pemisah informasi antar pulau, benua dan negara, kita saat ini benar-benar bisa berselancar, berbelanja kemana saja. Toko online lokal harus bersaing dengan toko online internasional. Persaingan yang berat membuat harga semakin turun. Negara-negara mulai berkolaborasi dan membebaskan pajak impor mereka. Tiba-tiba ada era new economy yang global dan cepat.

Baru pada 1980 konsep globalisasi mulai dibicarakan para pemikir. Namun, sekarang kita melihat manusia di desa terpencil pun tiba-tiba bisa menjadi manusia kosmopolitan dalam bisnis dan kesamaan prinsip humanitas. Pilihannya tinggal mau belajar dan beradaptasi atau tidak.

Selangkah di depan dengan inovasi

Evolusi artificial intelligence, mobil tanpa pengemudi, drone, robot di tempat kerja, membuat orang yang kritis langsung bertanya-tanya apa yang akan terjadi pada masa depan. Kita memang mau tidak mau harus beradaptasi. Kita perlu membaca apa yang terjadi di kehidupan dunia, perlu selalu menyimak apa yang dikatakan pelanggan dan karyawan.

Inovasi bukanlah selalu menemukan hal baru yang orisinal. Melakukan hal-hal lama dengan cara baru dan efisien pun sudah bisa digolongkan pada inovasi. Yang jelas, kita tidak mungkin berinovasi kalau tidak berkotor tangan. Kita tidak bisa hanya membahas teknologi baru, hanya membuat wacana-wacana tanpa menerjunkan diri di dalamnya. Kita perlu menelaahnya, memainkannya, sampai bisa menguasinya.

Tengok Nordstorm yang terpukul oleh Amazon dengan penjualan online-nya. Peningkatan customer engagement melalui transparansi shopping experience dan supply chain membuat pelanggan nyaman dan menyukai Nordstorm kembali. Perusahaan-perusahaan raksasa, seperti GE, menggunakan digitalisasi sebagai pembungkus produknya sehingga pelanggan mendapatkan banyak kemudahan ketika menggunakan mesin-mesinnya.

Untuk inovasi, kita bahkan harus berada selangkah di depan pelanggan kita. Seperti yang dikatakan oleh Steve Jobs, “You can’t just ask customers what they want and then try to give that to them. By the time you get it built, they’ll want something new”. Betapa banyaknya perusahaan yang sudah menginvestasikan teknologi sebagai upaya pembaharuan, tetapi ternyata kalah cepat dengan harapan pelanggan yang sudah lebih canggih daripada penyedia produknya sendiri.

Bila tidak berhati-hati, perubahan yang dilakukan oleh perusahaan, apalagi perusahaan besar yang sering kali membutuhkan banyak jalur birokrasi dalam mencanangkan suatu perubahan, bisa saja tertinggal dari evolusi pasar yang bergerak begitu cepat tanpa ada yang bisa menahannya. Memberikan sesuatu yang mereka bahkan belum tentu tahu bahwa mereka menginginkannya adalah kunci untuk menjadi pemenang.

 

Dimuat dalam KOMPAS, 29 April 2017

For further information, please contact marketing@experd.com