was successfully added to your cart.

AMBISI

SEORANG yang sukses pernah bercerita bahwa semasa kuliah dulu ia kerap dijuluki sebagai seseorang yang ambisius dan sedikit dijauhi teman-temannya. Padahal, yang terjadi sebenarnya adalah ia memiliki kehendak yang kuat untuk cepat menyelesaikan kuliah.

Pengalaman gagal di fakultas lain, serta keinginannya untuk menebus rasa malu dan bersalah pada orang tuanya yang sesungguhnya membuat ia selalu bangun pagi, mengejar bus, dan berangkat kuliah. Di ruang kuliahpun ia duduk di barisan paling depan, bukan dengan maksud untuk “mencari muka” dosen seperti dugaan teman-temannya, tetapi supaya ia tak usah repot-repot belajar lagi, karena sudah menyimak apa yang dikatakan dosen. Semua upaya ini dilakukannya agar cepat lulus dan bisa bekerja. Nyatanya, saat ini ia bisa memenuhi impian kariernya dan menjadi orang yang berhasil.  Dia ini mungkin bernasib sama dengan orang-orang yang nampak terlalu ambisius, seperti halnya lingkungan kerja di Jepang, yang banyak menganut azas loyalitas dan hierarki.

Seorang teman lain, yang sangat jenius dan sudah meraih posisi CEO di perusahaan multinasional, justru dikenal sebagai seorang yang sabar, penuh pengertian, sangat dekat dengan bawahan, tapi selalu mempunyai solusi akhir yang tajam dalam menyelesaikan masalah. Ketika perusahaan merger dengan perusahaan yang lebih besar lagi, ia tidak terpilih menjadi CEO di perusahaan gabungan ini. Kalangan yang kebetulan mengetahui alasan kegagalan ini mengatakan bahwa ia memang sangat brilian, percaya diri, sangat mencintai dan dicintai bawahannya, namun kekurangannya adalah bahwa ia tidak mempunyai cukup ambisi untuk memajukan perusahaan ini guna menghadapi keadaan-keadaan yang menantang.

Kita semuapun melihat bahwa lingkungan kita banyak diwarnai oleh orang-orang yang terasa sangat ambisius. Selain ambisi, terasa juga keinginan untuk meraih posisi, di mana serangkaian usaha terukur dilakukan untuk mencapai tujuan. Banyak orang berkomentar bahwa inilah yang dinamakan office politics. Orang bisa berebut kuasa. Bahkan untuk meraih status tertentu, orang bisa menyikut, menjelek-jelekkan, memfitnah, dan tak segan-segan membunuh lawannya dalam persaingan. Hal-hal yang kelihatannya masuk akal untuk dilakukan oleh pribadi-pribadi yang ambisius. Jadi, sebenarnya, apakah ambisi itu positif atau negatif?

Ambisi itu berbeda-beda

Ambisi yang dikenali oleh orang banyak sebagai energi lebih untuk meraih status dan sasaran tertentu, sering juga disamakan dengan energi untuk bekerja keras dan kekuatan kehendak untuk menyelesaikan suatu tugas. Padahal seorang pekerja keras, efisien, efektif, tidak selamanya ambisius. Kalau begitu, apakah ambisi itu diperlukan dan berguna?

Kita tahu bahwa dalam kerjasama kelompok, harus ada orang yang mempunyai pandangan yang jelas dan optimistik terhadap apa yang akan diraih kelompok. Ia juga mampu mengarahkan kelompok untuk mencapai tujuannya. Di sinilah diperlukan ambisi. Bagaimana mungkin IPTN, industri strategis Indonesia, sampai bisa memproduksi helikopter dan pesawat terbang, bila Habibie tidak mempunyai ambisi membuat pesawat terbang kecil yang bisa menghubungkan pulau-pulau di Indonesia? Di lain pihak, ambisi seseorang untuk menjadi pejabat tertentu, tanpa kejelasan akan kondisi ideal yang ingin diraihnya bersama para pengikut, hanyalah merupakan ambisi kosong dan sarat pementingan diri sendiri.

Jadi, kita bisa membedakan ambisi ke dalam 2 golongan besar. Pertama, ambisi yang diperjuangkan demi kepentingan pribadi. Kedua, ambisi yang diperjuangkan demi kepentingan yang lebih besar. Semua perusahaan menginginkan pemimpin yang ambisius, tetapi tentunya ambisi ditujukan untuk kesejahteraan perusahaan. Ambisi bisa bagus bila disalurkan dengan tepat. Sebaliknya ambisi personal, yang mengorbankan kepentingan organisasi, pada akhirnya akan membawa organisasi kepada keadaan-keadaan yang buruk.

Ambisi dan pemimpin

Pemimpin memang perlu ambisius. Tetapi pemimpin yang berambisi mencapai puncak hanya demi kepentingan pribadinya, dan golongan tertentu, pada akhirnya akan menampakkan wajah aslinya, serta tidak akan bertahan lama. Kita belum lama menyaksikan debat pemilihan presiden Amerika, yang penuh ungkapan-ungkapan sinis, dan cercaan. Hal ini menimbulkan pesimisme para penonton dan pengikutnya juga. Sebaliknya, masih segar di ingatan kita, dalam debat pemilihan presiden, Jokowi saat itu sudah membekali dirinya dengan Kartu Indonesia Pintar di sakunya. Tanpa ragu-ragu beliau mempertontonkan kartu demo tersebut. Itulah impiannya: menyekolahkan seluruh anak rakyat Indonesia.

Orang yang berambisi untuk merebut simpati dan kekuasaan sering melupakan bahwa good intentions yang haruslah dilatarbelakangi oleh etika dan antusiasme yang kuat. Ambisi individu yang positif terwujud dalam upaya keras untuk mencapai suatu situasi atau posisi di mana ia bisa berbuat lebih banyak bagi orang lain. Ia pun mampu mengajak lebih banyak orang untuk melakukan hal-hal yang lebih besar. Oleh sebab itu orang yang berambisi positif perlu mempunyai visi yang jelas mengenai a better world dan akan melakukan segala daya upaya agar visi tersebut dapat terwujud.

Namun, sekali lagi, pemimpin yang ambisius tetap perlu menjaga jati dirinya yang otentik. Mampu mengkomunikasikan dan menularkan apa yang ia cita-citakan secara tulus, tetapi penuh greget. Visi mengenai masa depannya perlu diperjelas sehingga semua kalangan bisa memahaminya, dan visi itupun yang mampu menggerakkan semua orang, bukan hanya sekelompok orang. Authentic courage is all it takes.

Dimuat dalam KOMPAS, 7 Oktober 2017

For further information, please contact marketing@experd.com