was successfully added to your cart.

HI TECH, LOW TOUCH

HI TECH, LOW TOUCH

Ketika kinerja menjadi masalah besar dalam organisasi, baik lembaga pemerintahan maupun perusahaan-perusahaan, kita serta-merta akan bertanya dan menantikan gebrakan apa yang akan dilakukan oleh pemimpin untuk bisa menggenjot kinerja tersebut. Di departemen yang kebetulan memiliki menteri seorang jagoan teknologi, banyak yang berharap bahwa gebrakan itu akan menyangkut disrupsi teknologi. Namun, sesungguhnya kita pun bertanya-tanya, bisakah manusia dikelola melalui kecanggihan sebuah aplikasi atau teknologi?

PERUSAHAAN bisa diumpamakankan ibarat sebuah keluarga. Ada kalanya anak yang menginjak usia remaja tiba-tiba berubah 180 derajat, malas-malasan tidak mengerjakan pekerjaan sekolahnya, mulai berbo­hong, bahkan mungkin melakukan kenakalan-kenakalan kecil. Bisakah kita memperbaikinya dengan aplikasi yang ada?

EXPERD sendiri juga memiliki aplikasi alat bantu monitor perubah­an tingkah laku coachee dalam proses coaching. Namun, proses diskusi tatap muka tetap harus dilakukan. Bila tidak, bagaimana mungkin seorang coachee akan berubah atau berkembang. Jadi pertanyaannya, bagaimanakah kita akan mengelola manusia dalam kepemimpinan? Apalagi bila manusia yang kita pimpin berjumlah ribuan orang, bagaimana kita akan menyentuh satu per satu dari mereka?

Keberbedaan manusia

Kembali di dalam keluarga, kita sering melihat bagaimana anak yang dibesarkan dalam rumah yang sama, dengan pola asuh orangtua yang sama, jenis kelamin mungkin sama juga, tetapi menampilkan perilaku yang berbeda-beda.

Manusia bukanlah makhluk homogenous yang bisa diperlakukan seperti sekelompok bebek. Ada bawahan yang sangat penurut tetapi tidak kritis. Ada juga yang perfeksio­nis, teliti tetapi lamban. Ada yang sangat terlalu pede, tahu segala, tidak senang diatur dan terlalu cepat mengambil keputusan. Ada juga yang banyak bicara, suka mendebat tidak peduli benar atau salah. Kita juga sering menemui individu-individu yang didominasi pikiran negatif terus. Apa pun kejadiannya negative automatic thoughts-nya yang domi­nan. Tidak kurang juga bawahan yang sebenarnya mampu, tetapi penuh kekhawatiran dan banyak worry serta pesimistis. Selain itu, ada bawahan yang goal getter yang menerkam setiap tantangan dan mengerjakan sampai tuntas, tetapi terasa kurang manusiawi bagi rekan-rekannya.

Sementara itu para CEO, menteri atau pimpinan lembaga yang cang­gih-canggih biasanya juga tidak mendapatkan pendidikan formal dalam mengelola manusia. Kesemuanya berdasarkan pengalaman dan bahkan trial and error.

Orang-orang yang sudah biasa mengelola orang pasti juga setuju dengan ragam-ragam manusia di atas. Bahkan, masih ada 1.001 tipe manu­sia lagi yang ditemui dan tentunya harus ditangani dengan cara yang berbeda-beda. Namun, sebagai atasan, kita tetap harus ingat: “People management is about bringing out the best in a person, unlocking an employee’s potential in a way that propels them and your company to greater engagement and success.”

Lemaskan otot empati dulu

Semua setuju bahwa sumber kekuatan memimpin manusia ter­letak pada kekuatan rasa. Kuncinya adalah bagaimana mereka bisa mera­sakan apa yang dirasakan orang lain, meminjam perspektif orang lain sehingga bisa berpikir bersama mere­ka. Hal ini bukan bakat sejak lahir, kita perlu berlatih menguasai keterampilan ini, bahkan mengang­gap kekuatan ini sebagai hard skills yang terpenting.

Isu-isu, seperti komunikasi, saling menghargai, motivasi, reputasi dan moral adalah masalah yang akan kita temui sehari-hari. Bayangkan bagaimana beratnya perjuangan organisasi bila seorang pemimpin direkrut hanya karena kemampuan teknis yang bagus, tanpa kekuatan pengelolaan manusianya.

Peter Drucker, Bapak Manajemen Modern pernah mengatakan, “Never say ‘I.’ And that’s not because they have trained themselves not to say ‘I.’ They think ‘we’; they think ‘team’. Pemimpin yang berhasil akan mem­buat kelompoknya berfungsi opti­mal. Mereka berpikir bagi kepentingan kelompok dan selalu mengatasna­makan “we” bila mendapatkan puji­an. Keluaran dari suasana begini adalah rasa saling percaya yang tum­buh tanpa bisa dikontrol langsung.

Salah kaprah istilah “managing people”

Sama dengan menjalankan rumah tangga, kita sebagai pasangan tentunya tidak nyaman bila dianggap dikelola atau mengelola pasangan bukan? Namun, tentunya kita perlu membangun hubungan dengan mereka agar terjadi kekuatan rasa. Dalam istilah Eric Berne, dikenal tiga pola hubungan antarmanusia: orangtua–anak, anak–anak, dan dewasa–dewasa.

Seorang pemimpin perlu mem­bangun hubungan dengan anggota kelompoknya secara dewasa–dewasa, menganggap anak buah adalah manusia utuh yang perlu diajak ber­kompromi hingga terjadi kesepakatan. Jadi, kita bukan menyuruh, menerangkan, atau menginstruksikan secara satu arah, seperti orangtua ke anak, melainkan kita berdiskusi sampai terjadi pemahaman dan kese­pakatan tentang apa yang harus dan akan dikerjakan. Oleh karena itu, individu akan melakukan hasil kese­pakatan tersebut dengan penuh kesadaran karena keinginannya datang dari dirinya sendiri.

Daniel Pink, pengarang buku Drive, mengatakan bahwa motor penggerak manusia sebenarnya ada di dalam dirinya sendiri. Energi manu­sia untuk bekerja akan bergerak bila ada tiga hal: “mastery, autonomy, dan purpose”. Ketiga hal inilah yang perlu digelitik atasan bila ingin mendapat­kan persetujuan bawahan atau anak buah untuk bergerak, mengejar tar­get atau berubah. Melalui ketiga materi ini, kita bisa sepenuhnya menaruh perhatian pada desire anak buah dan akhirnya mendorong mere­ka untuk bergerak atas kemauannya sendiri.

Diterbitkan di harian Kompas Karier, 7 Desember 2019.

#experd #expert #experdconsultant #hitechlowtouch #hitech #lowtouch #tech #low #touch

For further information, please contact marketing@experd.com