was successfully added to your cart.

“RESILIENCE” DALAM RESESI

“RESILIENCE” DALAM RESESI

Kita semua lelah dengan berbagai batasan dan protokol yang harus kita lakukan ditambah dengan komunikasi dan kolaborasi sebatas layar kaca. Berita-berita di media mengenai peningkatan kasus positif dan situasi di rumah sakit juga menyebabkan kita semakin kecut.

Rasanya ingin sekali kita bisa melepas masker dan mengembalikan situasi pada keadaan semula. Namun, ini keinginan semata karena kita juga menyadari bahwa kita harus menghadapi kenyataan saat ini. Di satu sisi, kita harus mengekang diri, tetapi di sisi lain, kita harus mencari cara dan celah untuk bertahan hidup. Di sinilah ketangguhan alias resilience kita diuji. Orang-orang yang bermental baja dan bisa bertahan bahkan mencari celahlah yang bisa kuat menahan tekanan resesi ini. Resilience is the ability to adapt to adversity or a stressful life event.

Kita tidak membawa resilience dari lahir. Ini bukan naluri manusia. Daya lenting ini tergantung pada pengalaman dan keunikan masing-masing individu. Inilah sebabnya tingkat ketangguhan manusia bisa berbeda satu sama lain. Menghadapi situasi pandemi seperti ini pun respons kita berbeda-beda.

Bagaimana mengelola “resilience” kita?

Bayangkan upaya kita dalam menghadapi situasi ini seperti sebuah timbangan. Di sebelah kiri, kita menaruh hal-hal yang memberatkan, seperti PHK, keharusan mengambil jarak, sekolah dan berbagai tempat yang ditutup, maupun kerabat yang terserang Covid-19. Di sebelah kanan, kita menempatkan hal-hal positif yang diantaranya hubungan keluarga yang bertambah baik, bertambahnya keterampilan-keterampilan baru, atau terjaganya kesehatan karena bisa meluangkan waktu untuk berolahraga di sekitar rumah. Seperti kita tahu, sebuah timbangan memiliki titik tumpu. Bila berat berlebih di salah satu sisi, titik tumpu akan bekerja lebih keras agar tidak roboh, dan kalau dia tidak tahan, tentu ia akan oleng.

Setiap manusia mempunyai daya tumpu yang berbeda-beda. Ada yang memang sudah terbiasa condong ke sebelah kiri yang lebih negatif, ada juga yang ke sebelah kanan. Satu-satunya cara untuk meningkatkan kapasitas resilience ini adalah dengan mengelola persepsi terhadap beban hidup kita.

 

Kita sering melihat sisi buruk kehidupan demikian berat dan merasa bahwa kita adalah manusia yang paling menderita. Persepsi inilah yang membebani kita sehingga tidak bisa bergerak. Padahal, bila persepsi ini dibalik sedikit, kita akan menemukan bahwa kita bukanlah manusia yang paling menderita di dunia ini. Masih banyak orang yang lebih menderita dan perlu kita tolong. Dengan mindset ini, kita bisa merasa lebih kuat dan situasi yang tadinya kita rasakan sebagai beban berpindah menjadi situasi bersyukur serta menumbuhkan semangat menolong orang lain. Tanpa terasa, kita sudah meringankan beban sebelah kiri kita dan bahkan menambah mata timbangan di sebelah kanan. Kita juga bisa mempengaruhi lingkungan untuk melakukan berbagai hal positif yang cukup mudah, misalnya dengan mengajak mereka untuk mempraktikkan self care, baik kecantikan, kesehatan dan gizi.

Bagaimana menambah mata timbangan positif kita? Kita bisa memulainya dari diri kita. Banyak situasi dalam menghadapi krisis ini berkenaan dengan hubungan interpersonal. Hubungan interpersonal yang penuh komitmen akan membangkitkan rasa aman. Komitmen kita untuk bisa diandalkan oleh orang-orang terkasih, bawahan dan teman akan membuahkan hubungan yang lebih baik dan suportif. Bentuk komitmen bisa berupa pemberian waktu lebih banyak untuk mendengar ataupun memperhatikan setiap individu yang membutuhkan kita. Kita pun perlu menghindari penggunaan kata-kata dan ungkapan negatif. Selain mendapatkan kehangatan, kita bisa memberikan rasa nyaman. Inilah yang menjadi mata timbangan positif yang bisa menguatkan. 

Dua upaya di atas adalah cara menjaga keseimbangan agar kita tidak melihat situasi yang kita hadapi secara miris, bagaikan sebuah lubang hitam yang tidak dapat ditembus. Setelah situasi sedikit balance, kita baru bisa mulai membenahi diri, dengan membenahi kekuatan titik tumpu timbangan kita. Kita bisa meninjau kembali kekuatan core life skills kita. Setiap orang perlu memiliki kemampuan eksekusi dan kemampuan untuk mengatur diri. Mempertahankan persepsi yang negatif terhadap dunia luar membuat energi kita menjadi berkurang dan habis terpakai untuk menahan tekanan depresi saja.

Pada masa Covid-19 sekarang, fungsi eksekusi tak boleh berhenti, bahkan harus diperkuat. Kita tidak boleh melemah dan lupa bergerak. Kita perlu menggiatkan kegiatan-kegiatan yang sebelumnya tertunda karena kesibukan berbisnis. Kursus-kursus daring sangat bisa dimanfaatkan. Kita juga bisa aktif dalam organisasi-organsisasi sosial untuk memperluas network. Ingatan dan daya belajar juga harus diperkuat selain multitasking dan multi-thinking kita. Proses belajar dalam melakukan eksekusi ini akan memengaruhi agility, daya lenting kita. Ini adalah kesempatan untuk melatih diri melakukan balancing menjadi stabil tetapi tetap dinamis.

“Keep going”

If you are going through hell, keep going…” ungkap Winston Churchill. Kita tidak punya pilihan kecuali maju terus. Namun, kita tetap ingat pada balancing. Maju harus berarti semakin baik. Kita harus tetap bertanggung jawab terhadap kesehatan diri dan orang-orang di sekitar. Kita tidak boleh terjebak pada unhealthy coping mechanism dan tetap harus mengarah pada sustainable coping mechanisms.

Jadi, di samping agility dan antusiasme untuk maju terus, kita perlu mempertanggungjawabkan tindakan dengan selalu memperhitungkan lingkungan sekitar dan orang-orang yang berada di sekeliling kita. Dengan tanggung jawab yang kuat ini, kita akan lebih bertenaga, percaya diri dan memegang kendali dalam gerak kita.

Diterbitkan di harian Kompas karier 12 September 2020

#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #wfh #workfromhome #resilience

For further information, please contact marketing@experd.com