was successfully added to your cart.

MENDONGKRAK HUMANITAS

MENDONGKRAK HUMANITAS

BERITA mengenai teror dan kebencian yang beredar di dunia cukup mengkhawatirkan. Apalagi jika melihat para terduga pelaku pengeboman dengan sosok yang tidak kita sangka-sangka. Pertanyaan pun muncul. Ke mana rasa kemanusiaan kita? Ke mana rasa keinginan untuk menolong, mengasihani, dan melindungi orang lain? Mengapa dalam era ketika kecanggihan teknologi begitu dominan, kita semakin bebal terhadap rasa kemanusiaan? 

Kita berada dalam era individualisme, kompetisi dan permusuhan yang mendalam. Ketamakan manusia akan harta dan kekuasaan, terasa meningkat. Kemajuan teknologi menjadikan kita sekedar penonton dari kekejaman dan ketidakadilan secara live, tanpa reaksi dan hanya tercengang. Bukankah ini gejala berkurangnya kepedulian kita terhadap kemanusiaan? Padahal, kita, manusia adalah mahluk satu satunya yang bisa mengembangkan akhlak. Akal budilah yang membedakan kita dari mahluk lain di muka Bumi ini, seperti yang dikatakan oleh filsuf Jerman, Gottfried Wilhelm Leibniz. Ilmu dan analisis menumbuhkan pengetahuan, baik tentang diri sendiri maupun alam semesta. Hal inilah yang mengembangkan “the rational soul” atau “the rational mind” manusia.  

Menurut Leibniz ada dua macam kebenaran yang dikejar manusia. Pertama, eternal truths, seperti ilmu matematika yang logis tanpa argumentasi. Tidak ada yang bisa membantah 2+2 = 4. Kebenaran ini berkembang, tetapi tetap konkret sehingga berkembang terus tanpa diragukan. Kebenaran lain bersifat lebih moral, yang disebut sebagai necessary truth, yang berkembang dan berubah dari masa ke masa. Dari yang sifatnya takhayul, tidak masuk akal, sampai kepada keyakinan budaya dan agama yang sangat relatif dan perlu didalami secara mendalam. Dalam kehidupan manusia, pengetahuan moral ini tidak sebatas teori. Bila seseorang tidak mengimplementasikannya, pengetahuan tersebut tidak akan 100 persen bersifat personal dan tidak berkembang secara sosial. Jadi, bila tidak dipraktikkan, necessary truth yang dikuasai individu tetaplah minim. Nurani setiap individu harus digarap oleh dirinya sendiri, sampai ia bisa mempraktikkan humanitas dengan clear

Hasrat mengembangkan humanitas

Diktator Rusia Stalin juga pernah mengemukakan, “One death is a tragedy. A million deaths is a statistic.” Pertanyaannya, apakah kita juga sudah bersikap demikian? Dengan adanya serangan teroris, pembunuhan sadis, tindakan kekerasan pada anak, kecurangan politik, kebakaran hutan, banjir, dan badai, bukankah kita semua merasakan kesedihan? Mengapa humanitas kita tidak berkembang sesuai harapan? 

Dalam lingkungan yang kecil, tidaklah sulit mempraktikkan humanitas. Bila menolong, menghibur, dan peduli, kita akan merasa lega dan lebih happy, dan ada adrenalin yang muncul, sehingga kita ingin melakukannya lagi. Rasa kemanusiaan kita terasa berkembang. Sayangnya, ini tidak terjadi ketika kita melihat bencana di layar media elektronik, membaca sumpah serapah yang menjelekkan orang atau kelompok lain, membaca tentang penderitaan korban banjir ataupun perang di pengungsian. Kebanyakan dari kita tidak bergerak dan turun tangan untuk menolong. Bahkan banyak reaksi yang sebaliknya, yaitu mengumpat, mempersalahkan, dan bersikap sinis.  

Tanpa terasa kita mengalami compassion failure yang akan diikuti dengan perilaku menghindar, kritik kronis dan dominasi kekuasaan. Kita mencari dalih atas ketidakmampuan kita untuk berempati. Ada yang menggunakan the law of emotion reciprocity: prinsip  bahwa jika dia tidak baik pada kita, mengapa kita harus baik pada dia? Ketidak mampuan kita untuk berbuat baik ini kemudian menumpulkan rasa kemanusiaan kita. Bagaimana mengatasi masalah ini, sementara kita hidup dalam dunia yang makin sulit dijangkau dan dikuasai dalam artian yang lebih luas? 

Menyuburkan  “sense of humanity”

Mau tidak mau, kita harus memulainya dari diri kita sendiri. Pertama, kita perlu mengenal emosi kita yang bersentuhan dengan kemanusiaan. Apa, kapan kita tersentuh dan kapan kita tidak tersentuh? Seorang penulis Jerman Bertolt Brecht, mengatakan, “The first time we see a beggar on the street, we’ll give him a coat. The second time (when we realize he’s still poor), we’ll call a policeman to have him removed.” Tidak semua orang bereaksi demikian, tetapi kita perlu menyuburkan adrenalin humanitas ini supaya kita menjadi orang yang tetap peduli. 

Dalam berbagai situasi kita perlu membentuk kebiasaan ini secara intensif, agar sense of humanity kita tidak mati. Misalnya, kita dapat membiasakan diri untuk berkendara dengan benar demi keamanan anak-anak. Tidak memberi contoh buruk perilaku kasar terhadap pengemudi lain. Kita juga bisa memperhatikan keselamatan anak-anak di tempat publik karena mereka adalah komponen humanitas terbesar di dunia ini, yang paling tidak berdaya. Kita perlu membiasakan sikap pelayanan kepada siapa saja, terlepas dari jenis pekerjaan atau tingkat sosialnya. Dengan melayani kita dipaksa untuk tidak memusingkan diri kita sendiri. 

Mempertahankan “Adult brain”  

Secara umum, dengan bertambahnya umur, kemampuan moral individu bisa berkembang. Individu yang ternyata perkembangan moralitasnya mandeg dan menampilkan kepribadian yang defensif, cenderung macet diusia moral anak usia 3 tahun, yang masih berorientasi pada diri sendiri. Untuk menjaga agar penalaran kita tetap dewasa, kita bisa bertanya pada diri sendiri, hal apa yang bisa kita lakukan untuk membuat situasi di sekitar menjadi lebih baik? Misalnya dengan berkolaborasi, yang juga adalah inti humanitas. Pada saat individu yang berbeda sudut pandang dan latar belakang sanggup menyamakan persepsi dan tujuan, biasanya perkembangan moral individunya ikut terdongkrak.

Dimuat dalam KOMPAS, 17 Desember 2016

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com