was successfully added to your cart.

GOING UP, GIVING UP

GOING UP, GIVING UP

SEPULUH hari terakhir ini sungguh luar biasa. Rasanya tidak ada seorang pun di antara penduduk Jakarta, seberapa pun buta politiknya ia, yang tidak terbawa dalam arus pilkada.

Sampai pada klimaks hasil quick count yang menunjukkan kekalahan pasangan BaDja yang sering menamakan diri mereka pelayan masyarakat. Melalui pidatonya, petahana menyatakan bahwa mereka akan bekerja keras merampungkan berbagai PR. Kita bisa banyak belajar dan bermawas diri mengenai peran yang seharusnya diemban oleh seseorang untuk layak disebut pemimpin.

Pada perayaan hari Paskah yang baru saja lewat, kebetulan saya mendapat bacaan yang diawali dengan pertanyaan yang lumayan menohok: seberapa banyak kau berkorban? Tulisan ini ditulis oleh seorang ulama, menceritakan kisah Petrus ketika sedang dikejar-kejar orang di Roma setelah penyaliban Nabi Isa.

Ketika lepas dari kejaran dan sedang beristirahat, Petrus melihat penampakan Nabi Isa yang seolah-olah hidup kembali. Petrus bertanya kepada sang guru, kemana beliau akan pergi. Beliau menjawab bahwa beliau akan kembali ke Roma untuk disalibkan kembali. Dengan kebingungan Petrus bertanya, “Mengapa Guru?” Sang guru menjawab, “Saya belum cukup berkorban.”

Dialog itu membuat Petrus yang sebelumnya telah 3 kali menyangkal Nabi Isa ini tersentak dan memutuskan untuk juga kembali ke Roma. Petrus kemudian ditangkap, disalib, dan meminta agar disalib terbalik karena ia merasa tidak layak untuk mati dengan cara yang sama seperti Nabi Isa.

Banyak dari kita sudah terjerat mispersepsi bahwa kepemimpinan adalah posisi enak dengan fasilitas top, kuasa dan wewenang yang luar biasa. Jadi, begitu banyak orang memperebutkan posisi pemimpin ini. Bahkan, terkadang mencapainya dengan menghalalkan segala cara. Kalau perlu, sampai integritasnya sendiri pun dilupakan. Hal ini memang kenyataan.

Kita sering mendengar tetang gaji para CEO perusahaan besar global yang bernilai puluhan juta dollar per tahun, terbang ke sana-sini dengan pesawat pribadi. Meskipun para pejabat kita tidak bergaji sebesar para CEO, kuasa serta berbagai tunjangan dan fasilitas yang wah bisa menyebabkan banyak orang bermimpi untuk meraih posisi sebagai pejabat.

Namun, pernahkah kita berpikir tentang pengorbanan yang perlu dilakukan seorang pemimpin? Walaupun cukup banyak orang  yang menolak untuk jadi pemimpin, dengan kesadarannya bahwa akan ada banyak hal yang perlu dikorbankan, tidak banyak dari pemimpin yang sedang menjabat bisa menggambarkan dengan jelas, apa, seberapa pengorbanan yang dia berikan dalam tugasnya, dan mengapa ia bersedia melakukannya.

Dalam tingkatan paling standar sekalipun, seorang pemimpin seharusnya sadar untuk mengedepankan orang lain daripada kepentingan pribadinya. Gambaran presiden kita yang sampai berbasah-basah kehujanan karena memayungi Raja Salman adalah contoh sebuah pengorbanan yang sederhana.

Kita melihat banyak pemimpin yang terlambat makan, pulang terlambat karena membantu timnya menyelesaikan tugas, dan bahkan tetap menerima tugas tambahan padahal tugasnya sudah terlalu banyak. Datang paling pagi, pulang paling akhir. Membawa pulang pekerjaan, dengan konsekuensi tidak menikmati keluarga. Kadang bahkan ada pemimpin yang selalu mengalah untuk mengambil liburannya setelah pengaturan jadwal cuti anak buahnya.

Dalam tingkatan yang lebih luhur lagi, kita bisa melihat ada pemimpin yang bisa mengorbankan egonya, keselamatannya, bahkan keamanan jenjang kariernya, untuk menjaga keselamatan lembaga  dengan misi yang diemban. “The heart of good leadership is sacrifice.”

“The law of sacrifice”

Kita kenal ungkapan “There’s always a price to pay”, tidak ada kesuksesan tanpa pengorbanan. Namun, sisi pengorbanan dari kesuksesan oleh sementara orang sering terlupakan, bahkan tidak di jalankan. Dengan kemudahan-kemudahan yang didapatkan seorang pejabat, katakan saja, pengawalan yang membuka jalan macet, mengambil jalur khusus dijalanan yang terlarang bagi rakyat biasa, merupakan bentuk dari praktik-praktik “abuse of power”. Alih-alih berkorban si pejabat malah merasa bahwa mengorbankan orang lain itu adalah haknya.

Pemimpin tidak usah antre, pemimpin baru datang bila keadaan sudah siap, pemimpin hanya mengemukakan gagasan tanpa perlu menguasai masalah di lapangan secara mendetail. Padahal, bukankah sebagai pemimpin kita tahu bahwa pengambil keputusan harus memperhitungkan dampak yang lebih besar dan lebih jauh?

Kita pun harus melawan kepengecutan dan keinginan kita untuk mengamankan keluarga, demi sesuatu yang lebih besar, as you rise in leadership, responsibilities increase and rights decrease. Seorang yang ingin menjadi pemimpin besar, benar-benar perlu tahu teknik mengolah pribadinya, agar supaya ia tetap bisa melaksanakan kepentingan lembaga yang dipimpin dan menyadari pengorbanannya.

Seorang pemimpin perlu menjalankan “inner game” untuk tetap menyadari dan merelakan pengorbanannya. Ia harus mulai dari diri sendiri mempertanyakan prioritas hidupnya serta misi dan nilai yang ia perjuangkan sampai titik darah penghabisan. Orang seperti Sri Mulyani yang meninggalkan posisi nyaman di World Bank tentu sudah menyelesaikan tanya jawab ini dengan diri sendiri.

Pengorbanan = komitmen

Dalam semua teori kepemimpinan, komitmen selalu disebut sebagai suatu kompetensi yang penting. Namun, tidak semua orang menyamakan komitmen dengan pengorbanan. Dalam komitmen sebagai pemimpin, “paying the price” adalah realitas yang harus dihadapi. Selain itu, hanya berkorban tiada hentilah yang akan melanggengkan kepemimpinan kita.

Kita tidak bisa menjadi pemimpin yang memberi dampak dan mampu menggerakkan orang banyak secara berkesinambungan bila kita hanya berleha-leha menikmati kejayaan kita. Tanpa pengorbanan perjalanan karier pemimpin akan tidak berkerlanjutan.

Dimuat dalam KOMPAS, 22 April 2017

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com