was successfully added to your cart.

TEKNOSTRES

TEKNOSTRES

TANPA disadari, kita sudah memasuki perkembangan industri yang keempat.  Kemajuan yang membuat dunia serasa makin kecil saja, karena segalanya terasa semakin dekat dan cepat. Perubahan ini mau tidak mau mengganti bentuk kerja, gaya kerja, bahkan gaya hidup kita. Namun, tanpa disadari ada juga “price to pay” era digital ini pada masing masing dari kita. Sementara itu, dunia modern ini sudah membuka kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbatas, seperti mempertemukan mereka yang sudah hilang kontak berpuluh-puluh tahun, melakukan transaksi keuangan secara digital, meeting dengan perwakilan dari berbagai penjuru dunia tanpa harus meninggalkan meja kerja tetapi, kitapun ternyata perlu menelan konsekuensinya. Hubungan antar manusia terasa semakin merenggang baik secara fisik maupun emosional. Kita dengan mudah mengabaikan mereka yang berada di sekeliling kita karena kita begitu tenggelamnya dengan perangkat digital yang ada. Semakin bebasnya setiap orang untuk mengemukakan isi hati dan pikirannya di sosial media – sosial media yang mereka gunakan, makin sulit mengembangkan empati yang membutuhkan individu untuk terlebih dahulu mendengarkan dan memahami sudut pandang orang lain. Sulitnya, kitapun sering tidak menyadari adanya kesenjangan ini karena kita merasa bahwa kita masih sering berhubungan secara daring (online).

“Always-on culture”

Saat sekarang, keterbatasan geografis, kemacetan yang semakin parah, sudah banyak sekali tertanggulangi dengan adanya teknologi. Dengan demikian, pembatasan waktu antara rumah-kantorpun semakin samar. Seorang atasan yang pada tengah malam tiba-tiba teringat akan sesuatu hal bisa dengan cepat mengirimkan pesan melalui aplikasi pesan kepada anak buahnya, dengan alasan “daripada menunda dan nanti terlupakan”. Keesokan paginya, dengan mudah ia menegur anak buahnya yang belum membalas pesannya tanpa menyadari bahwa pesan tersebut dikirim pukul 1 malam. Anak buah kebingungan karena ia pagi itu belum juga sempat membuka telepon genggamnya karena masih disibukkan berbagai urusan domestik dan langsung berangkat ke kantor. Kita sudah hampir tidak bisa membatasi jam kerja. Alhasil, tak jarang banyak pekerja yang mengeluhkan bahwa mereka mengalami kejenuhan karena sepertinya pekerjaan tidak pernah berakhir. Apalagi sekarang perusahaan banyak yang membekali karyawannya dengan laptop dan internet yang semakin lama semakin murah sehingga, kantor pun dengan mudah berpindah ke rumah. Servis digital yang memang menawarkan banyak kemudahan ini bisa-bisa malah menjadi bumerang yang memberikan tekanan bagi para bawahan, karena atasan yang tanpa disadari memperpanjang jam kerja. Berapa sering kita mendengar bahwa karena tuntutan pelanggan, kita mengharapkan anak buah untuk siap dihubungi 24 jam sehari, 7 hari seminggu?

Belum lagi gejala membanjirnya informasi. Dengan selalu terhubungnya kita di e-mail dan text melalui WA, Line atau perangkat lainnya, kita dihujani informasi yang penting maupun tidak penting yang secara tidak langsung menimbulkan ketegangan. Berita-berita “sekedar info dari group sebelah” yang belum jelas kebenarannya mengenai berita buruk yang menimpa seseorang, sampai pada info anjuran konsumsi makanan tertentu untuk pengobatan yang seolah-olah bisa membuat kita lebih pakar daripada para dokter. Apalagi bila ada tekanan mental bahwa kita perlu merespon segera semua pesan yang datang kepada kita. Untuk beberapa di antara kita, hal ini bisa menimbulkan gejala kelelahan yang berkesinambungan. Kita biasanya mengacu dan menyukai segala sesuatu yang bersifat real time namun, sekarang situasi ini bisa terasa unreal time pula.

Di lain pihak, kita menyaksikan para startup yang tidak kenal lelah berkreasi, mengeluarkan versi baru yang lebih canggih, lebih praktis dari apa yang selama ini kita tekuni. Hal ini juga pastinya menimbulkan ketegangan karena kita sendiri terus menerus dipacu untuk berpikir mengenai kreasi baru agar kita tetap kompetitif.  Jadi keuntungan memanfaatkan teknologi yang membuat kita seolah-olah bisa menjadi pekerja pengembara, bukannya tanpa stres. Apalagi bila pada akhirnya kita semacam kecanduan untuk online terus menerus secara kompulsif.

Hal lain adalah timbulnya gejala “inactivity”. Dengan hanya berinteraksi dengan komputer dan ponsel, manusia cenderung duduk dan kurang bergerak secara fisik. Hal ini semakin lama semakin serius, dan bahkan bisa menyebabkan berkurangnya tingkat kesehatan secara drastis. Sebuah artikel kesehatan menyatakan bahwa duduk terus menerus dapat mengakibatkan gangguan kesehatan yang sangat parah karena metabolisme manusia pun terganggu. Hal ini bahkan telah terjadi semenjak usia dini. Betapa kita melihat anak-anak kita sekarang lebih senang bermain dengan hp, ketimbang berlarian dengan rekan sebayanya, bermain tali maupun permainan-permainan fisik lain yang begitu kita nikmati waktu kita kecil dahulu.

Dampak dari situasi seperti ini, berdasarkan beberapa penelitian sudah kelihatan. Keletihan, masalah konsentrasi, kecemasan, kaku otot dan sikap apatis semakin meningkat.

Solusi stress jaman “now”

Kecanggihan pengetahuan kita sekarang, memudahka untuk melakukan prevensi terhadap stress ketimbang sudah terjebak pada kekalutan pikiran yang tidak perlu.

Seorang dokter ahli gizi menyarankan kepada pasiennya untuk setiap hari berjalan kaki atau bersepeda paling tidak 15 menit untuk menghilangkan stres. Logikanya sederhana, dengan lancarnya peredaran darah, terutama ke otak, kita bisa berfikir lebih jernih dan mengurai keruwetan pikiran kita.

Seorang psikolog menganjurkan untuk lebih banyak mengupayakan tatap muka, tanpa perangkat elektronik, dan berdiskusi mengenai hal apa saja, dengan harapan aspek emosional bekerja lebih giat pada saat-saat itu dan hormon hormon relaksasi dan yang menimbulkan semangat positif akan bekerja di otak kita.

Ada perusahaan yang tetap mempertahankan penggunaan “dashboard” pemantau perkembangan proyek secara manual meskipun sudah memiliki aplikasi yang lebih canggih. Diskusi sambil berdiri ini “lebih hidup” kata mereka. Konsekuensi positifnya adalah bahwa kita lebih banyak bergerak dan bisa berdiskusi secara tatap muka di mana kita bisa menangkap tidak hanya bahasa verbal tapi juga ekspresi non verbal dari teman diskusi kita. Ada juga yang menyediakan ruang makan dengan desain menarik agar mengundang para karyawan untuk meninggalkan sejenak komputer mereka dan berinteraksi satu sama lain untuk meningkatkan sambung rasa di antara sesama karyawan.

Only when science and technology are used with human concern in a world in which all of the earth's resources are held as the common heritage of all of the earth's people can we truly say that there is intelligent life on Earth.Jacque Fresco

Dimuat dalam harian Kompas, 10 Maret 2018

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com