was successfully added to your cart.

JIWA DAGANG

SEBELUM era disrupsi ini, kegiatan dagang oleh banyak orang dianggap kalah bergengsi dibandingkan dengan dunia professional, pejabat, apalagi diplomat.

Hal ini sungguh berbalik dengan saat sekarang, ketika para millenials malahan melihat bisnis sebagai sesuatu yang lebih sexy ketimbang rutinitas di organisasi besar. Aktivitas bisnis pun ternyata memegang peranan penting dalam kegiatan politik pemerintah.

Kita melihat bahwa perdagangan hasil bumi, hasil tambang, properti bahkan industri senjata dan pesawat tempur, tak bisa dilepaskan dari kegiatan politik. Tengok betapa Belanda yang menjajah Indonesia jaman dahulu, ternyata bukan lembaga pemerintahan, tetapi sekedar perusahaan dagang, VOC.

Jadi, tidak bisa tidak, presiden, para menteri dan pejabat lainnya juga perlu memahami taktik dagang beserta dengan keterampilan lain seperti bernegosiasi dan berstrategi. Bahkan di beberapa lembaga pemerintahan, kesadaran bisnis yang sering dikenal dengan business acumen ini sudah dipersyaratkan dalam daftar kompetensi inti. Mengapa hal ini menjadi prioritas?

Tengok manager di perusahaan, misalnya kepala pabrik yang biasanya sudah dianggap cemerlang, bilamana ia mampu menjalankan operasional pabrik dengan baik, zero error, zero accident, produktivitas sesuai dengan targetnya. Apakah ini sudah cukup baginya untuk membawa pabriknya mencapai sukses? Bagaimana ia dapat melakukan efisiensi bilamana ia tidak tahu apa cost terbesar dalam operasional pabriknya? Bagaimana ia dapat memikirkan inovasi bilamana ia tidak paham margin yang mereka hasilkan, dibandingkan dengan kompetitor?

Dalam permainan olah raga, skor permainan harus diketahui pemainnya, sehingga mereka tahu seberapa keras usaha yang harus mereka kerahkan untuk meraih kemenangan. Pertanyaannya, apakah seorang manager mengetahui skor keuangan, bagaimana dampak tindakannya terhadap angka keuntungan bisnis, sehingga ia dapat melakukan penyesuaian untuk mencapai efektivitas lebih tinggi.

Bahkan, kemampuan membaca laporan keuangan beserta ratio-ratio saja juga tidak cukup. Setiap manajer seharusnya paham bagaimana perusahaan bisa menghasilkan lebih, bagaimana mempertajam strategi bisnis, action, sehingga bisa mendorong perilaku dalam organisasi yang berkontribusi pada kemajuan perusahaan. Inilah para manajer yang business acumen nya mumpuni. Mereka tidak akan membiarkan “silo–silo” terjadi di perusahaan. Mereka akan menjembatani kesenjangan komunikasi antar bagian dan lintas generasi, demi menggalakkan engagement di setiap situasi, karena mereka tahu pentingnya kesamaan gerak dan sense of belonging terhadap kemajuan bisnis. Hanya dengan business acumen yang nyata, seluruh organisasi bisa digerakkan ke satu arah yang jelas.

“Business acumen merupakan proses berfikir dan mentalitas”

Profesor bisnis lulusan Harvard Ram Charan meyakini bahwa dalam bisnis maupun mengelola pemerintahan sekalipun, dari skala kecil seperti tukang buah pinggir jalan sampai perusahaan konglomerasi, business acumen mempunyai dasar yang sama. Setiap lembaga, perusahaan, maupun negara, selalu perlu mempunyai pandangan yang  jelas mengenai keamanan arus kas, kemampuan mencetak laba, kebutuhan dari para pelanggannya dan bagaimana memuaskannya, kekuatan sumber daya yang dimilikinya, sampai bagaimana memberikan nilai tambah terhadap aset dan produk yang dimilikinya, hingga ia pun mampu bangkit bila terpuruk. 

Prinsip-prinsip di atas perlu mendarah daging dalam diri setiap insan, bukan sekedar dalam batas analis. Business acumen harus berbentuk mentalitas. Hanya dengan kapasitas inilah seorang pengambil keputusan bisa meraba kesempatan dan peluang. Dengan demikian, bilamana seorang pimpinan atau manajer mendapatkan isu tertentu, ia bisa memiliki helicopter view yang pas dalam menganalisa situasi, lalu mengambil tindakan yang tepat. Iapun harus menghitung kontribusi setiap manusia dalam organisasi dan juga melihat interrelasi antara satu satuan dengan satuan lainnya.

“Business acumen”: bakat vs latihan

Ada yang bertanya apakah business acumen merupakan bakat sejak lahir. Prof Ram Charan mengatakan bahwa hal ini adalah latihan mental. Selama kita terus mengasah awareness kita terhadap jalannya bisnis, kita akan mampu menajamkan nalar kita. Hal utama yang perlu kita pelajari tanpa henti adalah perspektif pasar. Banyak pengusaha yang berorientasi pada produknya, dan meyakini bahwa bila produk bagus maka pelanggan pasti akan datang sendiri. Dengan keadaan yang berubah pesat ini, kita banyak sekali melihat perusahaan yang terpaksa gulung tikar karena tidak menyadari bahwa pasarnya sudah berubah, baik minat maupun kemampuan.

Selain itu, seorang pimpinan perlu memberi bayangan mengenai bottom up impact dari tindakan dan kebiasaan bawahan terhadap laba perusahaan, pemanfaatan aset dan arus kas. Dan tentunya setiap individu di manapun levelnya saat itu juga perlu memiliki perspektif big picture, dan kait- mengait antara satu hal dengan hal yang lain sebelum mengambil keputusan. Bayangkan betapa beratnya beban pimpinan perusahaan bilamana hanya ia yang peduli terhadap keterkaitan cost, margin dan kas sementara seluruh anggota organisasi lain hanya memikirkan scoop kecil pekerjaannya saja tanpa memahami dampaknya terhadap organisasi.

Membaca dan membaca

Ram Charan mengatakan untuk mengembangkan business acumen, kita sendirilah yang harus membaca situasi, baik situasi bisnis, pemerintah, maupun pelanggan. Kita adalah mata dan telinga seluruh organisasi. Hal inilah yang perlu kita turunkan pada suksesor kita. Dan ini memang diperlukan, agar tetap bisa relevan. Baik online maupun offline, kegiatan membaca harus terus dilakukan. Kita perlu membaca buku, koran, blog, laporan-laporan dan jurnal. Read and learn!  Kita lihat betapa gesitnya para millenials dalam melakukan browsing, update dengan segala hal baru yang terjadi di belahan dunia lain sekalipun dan memanfaatkan semua hal itu dalam bisnis startup mereka. Kita pun perlu belajar dari kegesitan dari mereka agar tetap awet muda.

Dimuat dalam harian Kompas, 12 Mei 2018

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com