was successfully added to your cart.

BUY-IN

KONDISI VUCA yang kita hadapi sekarang ini adalah suatu realitas yang mau tidak mau memang harus diterima. Banyak pemimpin yang sudah terbuka matanya, dan tentunya ingin membawa organisasinya bergerak dengan semangat dan derap yang sama untuk siap menghadapi tantangan ini. Seperti yang diungkapkan Peter Drucker "The best way to predict the future is to create it."

Namun ternyata membawa anggota tim untuk bergerak bersama sangatlah sulit.  Secara individual, para pemimpin ini tahu dan bisa menggambarkan bagaimana masa depan yang ia inginkan, mengapa menurutnya itu adalah kunci yang dapat membawa organisasinya menjadi pemenang. Mereka pun tahu, langkah apa yang perlu dilakukan untuk merealisasikan impiannya itu. Roadmap perjalanan cukup jelas. Namun, demikian, jalan menuju masa depan itu tidak selalu mulus. Sering kita melihat pemimpin yang sudah jelas-jelas dengan tulus ingin membawa perusahaan, organisasi, bahkan negaranya, ke arah yang lebih baik seolah sedang menarik beban yang sangat berat.

Drucker mengungkapkan bahwa batu sandungan terbesar adalah komunikasi. Komunikasi yang sukses bisa mendapatkan ‘buy-in’ dari pengikutnya.  Kita terkadang heran, bagaimana pemimpin yang sudah jelas-jelas mempunyai kapasitas untuk membawa organisasi ke situasi yang lebih baik masih mendapatkan resistensi dari para pengikutnya. Ternyata, penerimaan para followers ini ditentukan oleh seribu satu alasan. Kebanyakan alasan bersifat emosional, misalnya khawatir akan situasi yang tidak bisa diterka di kemudian hari atau ketakutan bahwa situasi di kemudian hari yang belum bisa mereka ramalkan ini justru membawa kesulitan baru, atau beban pekerjaan baru, keadaan di mana kita harus berganti kebiasaan dan belajar dari awal lagi, atau bahkan memori tentang perubahan-perubahan situasi di masa lampau yang mengalami kegagalan.

John P. Kotter yang menekuni perubahan tingkah laku dalam organisasi, mengatakan bahwa tidak mudahnya orang menjadi pengikut, terutama untuk menuju pada masa depan yang masih berupa angan-angan, sangat bisa dimengerti. Orang perlu bukti dan juga perlu bisa merasakan apa yang dijanjikan. Bisa saja secara rasional ia memahami analisa dan  paparan pemimpin, tetapi hatinya belum tergerak. Hati inilah yang mengalahkan segala analisis maupun ramalan dan perkiraan yang dipaparkan.

Kotter mengatakan, “Change is more easily accepted when leaders try to reach people through both the head and the heart.” Chip dan Dean Heath menggambarkan dalam bukunya, Switch, bahwa menggerakkan orang untuk berubah itu seperti penunggang gajah yang berusaha menggerakkan gajahnya. Penunggang gajah itu adalah rasio yang sudah paham dan tahu ke arah mana untuk bergerak, tetapi gajah yang begitu besar dan berat adalah hati yang bilamana ia belum tersentuh untuk bergerak akan sulit sekali bagi si penunggangnya untuk menuju titik yang sudah ditetapkan. Semua orang sudah tahu bahaya dari merokok bagi kesehatan. Namun, betapa sulitnya untuk membuat seorang perokok berat meninggalkan kebiasaannya ini? Informasi dan data mengenai kesehatan itu bisa jadi kurang kena di hati seorang perokok, ketimbang ucapan sederhana seorang cucu yang tidak mau lagi dekat-dekat kakeknya bila ia masih bau rokok.

Jadi, sebagai pemimpin, ide revolusioner memang penting, tetapi tanpa buy-in pengikut, tidak akan terjadi perubahan apapun. Kita sering melihat bagaimana pemimpin berbicara secara berapi-api tanpa memperhitungkan reaksi atau pergerakan hati para pengikutnya. Oleh para ahli, pendekatan ini disebut sebagai describe and defend. Mereka berusaha menerangkan jalan pikirannya dan menangkis reaksi negatif dari para pendengarnya. Apa akibatnya? Komunikasi ini tidak kena di hati. Di sinilah letak masalah utamanya. Riset menunjukkan bahwa 70 persen ajakan pemimpin tidak diikuti oleh para follower dengan hati, dan tidak membawa hasil yang diharapkan. Yang mengikuti pun bisa jadi hanya bergerak setengah hati karena keterpaksaan bilamana buy in memang belum terjadi.

Kita bisa belajar dari Zappos yang terkenal dengan konsep “bekerja dengan hati”. Tony Hsieh mengampanyekan bahwa orang yang bahagia akan membuat pelanggannya bahagia. Sasaran perusahaan yang begitu keras bahwa tidak boleh ada pelanggan yang tidak bertransaksi dengan mereka, tidak dirasakan para karyawan sebagai beban. Sasaran dan misi Tony, di-buy-in pengikutnya. Tony menjelaskan, “Employee buy-in is a key leadership skill.”

“See, feel & change”

Dalam kehidupan kerja dan politik, kita sering memfokuskan diri  pada analyze, think, dan change yang ternyata gagal dalam memotivasi orang dan tidak membuat orang untuk bergerak atau berubah. Pada zaman di mana masyarakat semakin kritikal, banyak yang justru memprotes pemimpin yang terlalu banyak teori. Pengikut sekarang membutuhkan dialog untuk mencerna isi pemikiran pemimpinnya. Bukan itu saja, dialog juga membuat kita saling berbagi rasa. Ketulusan pun akan terasa bila dialog cukup mendalam.

Pemimpin tak boleh merasa bahwa sekali saja mengutarakan visi pada pengikutnya itu sudah memadai. Untuk suatu perubahan, maka pemimpin tak boleh segan mengulang kata-katanya lagi. Pemimpin yang menguasai masalah biasanya tahu cara menggambarkan konteks sasarannya, membuat analogi yang pas dan juga memberi contoh, baik kesuksesan maupun kegagalan. Kesemuanya ini hanya akan terasa ketulusannya, bila pemimpin memang menjalankan apa yang ia katakan, walking the talk.

“Up close and personal”

Kepemimpinan zaman sekarang, tidak lagi sama dengan kepemimpinan di zaman birokrasi. Pemimpin zaman sekarang tahu bahwa kepemimpinan adalah “a contact sport”. Semakin sering bisa disentuh, semakin dekat di hati. Dari kedekatan inilah setiap pengikut bisa merasakan dan membuktikan sendiri, apakah pemimpinnya benar-benar mempraktekkan apa yang ia katakan. Kegiatan seperti mentoring, coaching dan kegiatan tatap muka lainnya, semakin sering akan membentuk rasa percaya dan komitmen pengikut. “Getting to we”, dengan drastisnya perbedaan manusia dari generasi ke generasi memang perlu kita siasati, tetapi tetap metoda “bicara hati ke hati”-lah juaranya.

Dimuat dalam harian Kompas, 04 Agustus 2018.

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com