was successfully added to your cart.

VALUE BASED LEADERSHIP

VALUE BASED LEADERSHIP

UMUMNYA di Experd, ketika ingin melakukan penilaian psikologi maupun menguatkan program pengembangan individu, kami menggunakan kompetensi sebagai dasar patokan persyaratan jabatan. Namun, ada sebuah perusahaan besar, multinasional, berkaryawan puluhan ribu yang ternyata sudah tidak menggunakan kompetensi sebagai patokan kinerja perusahaan mereka lagi. Yang ada di perusahaan tersebut hanyalah nilai-nilai korporasi, yang perlu dihayati benar oleh setiap individunya, bahkan merupakan kartu mati bagi pelakunya, bila tingkah laku, pengambilan keputusan, dan tujuan tidak sejalan dengan nilai-nilai yang sudah digariskan.

Kita melihat bahwa dalam keadaan VUCA di mana patokan prosedur standar sering berubah-ubah mengikuti tuntutan zaman, maka hal yang memang bisa dijadikan pegangan perusahaan justru adalah nilai-nilai korporasinya. Banyak perusahan yang menganggap nilai perusahaan sebagai sesuatu yang sekedar “nice to have”, menempelkannya di dinding-dinding ruang rapat, tetapi implementasinya tidak pernah diprioritaskan. Bahkan, banyak perusahaan yang mempunyai nilai perusahaan yang terlihat hampir mirip sehingga terasa seperti basa basi belaka.

Di Indonesia, nilai integritas biasanya selalu ada di antara nilai-nilai korporasi perusahaan. Namun, berapakah yang benar-benar mewujudkannya dalam tindak tanduk keseharian di organisasi? Sudahkah semua insan perusahaan bersikap transparan bahkan pada kesalahannya sendiri sekalipun?

Dari sini kita melihat bahwa persentase perusahaan yang benar-benar menjadikan nilai sebagai patokan kinerja masih sedikit. Berapa banyak yang seperti Schlumberger, sebuah kontraktor perusahaan minyak, yang mengutamakan safety di perusahaannya dan langsung melengserkan direktur perusahaan saat terjadi kecelakaan di bawah pimpinannya? Apakah pelanggan Anda tersenyum-senyum gembira seusai bertransaksi dengan pegawai Anda sebagaimana halnya pelanggan perusahaan ritel sepatu Zappos yang memiliki nilai “Creating fun and a little weirdness”. Kelihatan di sini bahwa nilai korporasi Zappos memang benar-benar terimplementasi dan terasa sampai pada pelanggan di luar organisasinya.

Perusahaan Ali Baba yang tergolong salah satu yang terkaya di dunia memiliki daftar nilai yang agak panjang: Customer First, Teamwork, Embrace Change, Integrity, Passion, dan Commitment. Jack Ma, pemimpinnya, tidak henti-hentinya mengumandangkan nilai-nilai ini dan bentuk implementasinya ke perusahaan. Perhatikan pengusaha kecil, hormati pelanggan, pelihara lingkungan, lindungi sumber daya alam. Ia bahkan menekankan bahwa anak muda tetap harus memelihara impiannya dan sanggup menghadapi perubahan dunia. Di mana pun di dunia, Ma menekankan bahwa core values perusahaannya adalah prioritas.

Procter & Gamble menjadi perusahaan juara dengan program kampanye ‘thank you, mom’ nya, di mana sebagai sponsor Olimpiade, perusahaan tidak saja memperhatikan para atlet, tetapi juga ibu mereka. Dari sini, masyarakat bisa menilai bahwa core value perusahaan yang mementingkan keluarga diimplementasikan secara nyata.

Apa yang dipentingkan pemimpin?

Kultur organisasi terbentuk dari hasil kolektif reaksi dan perilaku manusia di dalamnya, nilai apa yang mereka anut dan bagaimana mereka bereaksi terhadap rangsangan dari dalam maupun luar. Sekali kesamaan ini terbentuk, biasanya kultur ini akan bertahan untuk waktu yang cukup lama. Dalam keadaan yang berubah-ubah, nilai korporasilah yang menjadi panduan, bahkan penguat.

Harry M. Kraemer dalam bukunya From Values to Action menggambarkan keampuhan nilai korporasi bagi pemimpin. Ia mengatakan, “your leadership must be rooted in who you are and what matters most to you.” Bila seorang pemimpin benar-benar tahu siapa dirinya, dan apa yang ia perjuangkan, lebih mudah baginya menghadapi situasi apa pun. Pengambilan keputusan dalam situasi yang dilematis pun bisa dilakukan dengan lebih ringan dengan adanya nilai-nilai tersebut sebagai pegangan.

Kraemer mengungkapkan empat prinsip dari values-based leadership. Pertama, yaitu self reflection. Seorang pemimpin perlu tahu persis kekuatan dan kelemahannya. Ia perlu banyak mawas diri agar bisa memimpin dirinya sendiri dulu, baru kemudian ia bisa memimpin orang lain. Banyak orang di sekitar kita sudah gagal pada langkah pertama ini. Kita melihat banyak manajer atau pemimpin yang sama sekali tidak bisa jujur melihat dirinya sehingga tidak sanggup menerima masukan dan bersikap defensif. Prinsip kedua, yaitu balance, bisa melihat suatu gejala dari berbagai sudut. Ini adalah kunci keterbukaan pikiran. Bagaimana seorang pemimpin bisa memahami sudut pandang anak buahnya yang mungkin berbeda darinya. Bila kita mampu melakukannya, kita bisa bersikap lebih terbuka dan mengambil keputusan yang lebih bijak.

Prinsip ketiga, yaitu true self confidence, di mana seorang pemimpin benar-benar menerima dirinya apa adanya. Dengan demikian, ia mudah mengakui orang yang lebih berbakat, lebih pandai, lebih sukses bahkan bisa memanfaatkannya dengan positif. Yang keempat, yaitu genuine humility: Never forget who you are or where you came from. Sikap ini membuat kita selamanya selalu “menginjak bumi” lepas dari setinggi apapun kesuksesan yang sudah kita capai sekarang.

Keempat prinsip sederhana ini bisa diterapkan oleh siapa saja tanpa prasyarat, apakah kita seorang supervisor, tukang atau seorang presiden. Tidak perlu menunggu sampai bawahan berjumlah ratusan.

Menghadapi kondisi sekarang yang diwarnai oleh 3C: change, controversy, dan crisis, kita perlu berpegang pada hal yang kita anggap paling penting dan menjadi pegangan hidup agar tidak terbawa arus begitu saja. Pada saat-saat inilah kita perlu bersenjatakan prinsip dalam praktik berkomunikasi dengan anak buah dan para stakeholder kita sehingga kita bisa mengambil tindakan yang benar dan menjadikan diri sebagai role model yang memang patut dicontoh. Seperti yang dikatakan artis Aaron Tippin, “You’ve got to stand for something or you’ll fall for anything.”

Diterbitkan di harian Kompas, 26 Januari 2019.

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com