was successfully added to your cart.

CAUTION FATIQUE

CAUTION FATIQUE

Masihkah anda mencuci tangan sesering saat awal Covid-19 baru mewabah? Apakah anda masih tetap konsisten menggunakan masker meskipun seringkali terasa panas, gatal, dan susah untuk bernapas? Apakah anda sering merasa bahwa ketatnya protokol kesehatan sesekali bisa dilanggar? Apakah keinginan untuk bertemu teman atau mengunjungi tempat favorit anda semakin menggebu? Apakah kewaspadaan anda terhadap penularan virus mulai meluntur?

BERITA kematian yang meningkat setiap hari memang membuat kita terpana. Ketika Covid-19 menyerang, kita didorong oleh naluri untuk menyelamatkan diri. Anda segera melakukan persiapan disinfektan, memperingatkan semua orang termasuk diri sendiri untuk selalu ingat mencuci tangan. Anda berusaha mempelajari beragam informasi tentang bahaya penularan. Bahkan, ada individu yang naluri penyelamatan dirinya begitu kuat sampai menimbun bahan makanan dan membuat sejumlah barang langka. Situasi ini kita alami ketika ancaman masih baru.

Sekarang, tiga bulan sudah terlewatkan, sense of immediacy kita sedikit demi sedikit mulai luntur. Motivasi dan energi kita untuk mengikuti secara ketat aturan kesehatan semakin melemah. Padahal, ancaman penularan masih sama kuat dengan ketika penyakit ini baru muncul. Kita tidak menjadi kebal dengan berada di rumah selama 3 bulan. Herd immunity yang didengungkan sebagai imunitas bersama juga belum terbukti sudah tumbuh. Jumlah kasus positif belum terlihat menurun. Namun, kita seolah-olah jenuh dengan segala kekhawatiran ini sehingga perlahan -lahan mulai melonggarkan kewaspadaan kita. Salahkah kita?

Kalau kita salah, pihak yang harus dipersalahkan adalah otak kita. Prof. Jacqueline Gollan dari University Feinberg School of Medicine mengatakan bahwa gejala ini dinamakan caution fatigue, suatu fenomena ketika individu sudah tidak lagi bersemangat untuk menuruti protokol keamanan. Pandemi yang berkepanjangan ini bisa membuat situasi sosial yang tidak biasa. Kita mulai mempertanyakan aturan dan protokol yang tadinya mungkin kita buat sendiri dan meragukan dampak dari pelanggaran protokol ini. Saat seperti inilah banyak dari kita mulai mencari-cari alasan untuk melanggar aturan dan melonggarkan safety behavior seperti mencuci tangan, memakai masker dan social distancing.

Mekanisme kerja otak

Pernahkah anda mengalami sikap yang masa bodoh ketika alarm sudah terlalu sering berbunyi? Prof Golan mengatakan: “Caution fatigue can result from a decreased sensitivity to repeated warnings”. Amygdala adalah bagian otak yang mencatat rasa takut dan mengaktifkan fungsi-fungsi tertentu ketika kita terancam lalu menyalurkan rasa terkejut itu ke seluruh badan melalui hormon stress dan sistem saraf simpatetik yang menimbulkan respon flight or fight.

Dengan seringnya alarm berbunyi dari begitu banyaknya informasi, amygdala menjadi bingung dalam menentukan prioritas dan akhirnya menjadi agak pasif. Oleh karena itu, ketika muncul pertanyaan seperti apakah kita bisa berbelanja hari ini, apakah saya bisa bertemu teman-teman di kafe, terjadilah konflik antara larangan keluar rumah dengan keinginan berbelanja.

Kita tahu bahwa wabah itu memang ganas, tetapi selama tidak ada orang-orang terdekat yang menderita, otak kita cenderung menyesuaikan persepsi tentang alarm sebelumnya untuk mengurangi stres. Ibarat menonton film horor, rasa takut pun memudar setelah menonton ulang beberapa kali. Jadi, dalam menghadapi ancaman Covid-19 yang belum ditemukan vaksinnya ini, kita perlu membangun pertahanan dengan menyadari bahaya kebosanan, kejenuhan, dan kelelahan otak. Apa yang harus kita lakukan?

 Dari “mindset” sampai “habit”

Bila situasi sebenarnya belum kondusif, tetapi pemerintah sudah mengumandangkan masa transisi, kita sebenarnya perlu mulai belajar hidup berdampingan dengan Covid-19 ini. Alarm kita harus berbunyi ketika kita tidak menggunakan masker, tidak mencuci tangan, dan terlalu dekat dengan orang lain. Seorang teman berusia 70 tahun mengungkapkan bahwa ia sudah berikrar untuk tidak mengunjungi mal lagi ataupun bepergian jarak jauh mungkin untuk seumur hidupnya.

Mindset seperti ini mudah dipahami, namun sulit dipelihara terutama oleh individunya sendiri. Untuk itu, pikiran harus ditunjang dengan gerakan fisik agar pikiran tidak ruwet dan bisa fit untuk bekerja. Kita perlu banyak melakukan relaksasi, kalau perlu meditasi. Protokol kesehatan yang sudah menjadi kebiasaan, membuat otak tidak tegang karena lebih simple dan kita bisa memikirkan hal lain. Pembentukan kebiasaan tidak hanya dalam mindset, tetapi juga dengan setting area kita seperti menempatkan masker di dekat pintu keluar rumah, tempat cuci tangan di pintu masuk sehingga menghindarkan kita dari lupa.

Kita juga bisa membantu diri kita sendiri dengan banyak melakukan self care, seperti makan sehat, mengurus kulit bagi wanita, berolahraga, bercengkrama dengan keluarga dan melakukan kegiatan religius. Membantu orang lain, membagikan masker jahitan sendiri, atau ikut mendistribusikan bansos juga akan menimbulkan rasa positif dalam pikiran kita. Feel good feelings ini membantu otak mengurangi kadar stres sehingga bisa berpikir jernih.

Bila mindset kita terdahulu adalah menghindari penyakit, sekarang kita perlu memiliki sudut padang yang berbeda. Kita perlu menguatkan imunitas.  Untuk itu, kita perlu menguatkan badan dengan asupan yang super sehat, berolahraga, dan menjauhi penularan. “Fear is no longer the motivation, so you need another source of inspiration.”

Diterbitkan di harian Kompas karier 27 Juni 2020

#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #wfh #workfromhome #corona #covid19 #caution #fatique

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com