Kehadiran orang-orang yang bisa membawa “magic” dan menyulut energi dalam organisasi, menjadikan kita semakin menyadari bahwa yang sering disebut sebagai ‘human capital’ tidak semata dipengaruhi oleh jumlah manusianya. Pernahkah kita merasakan karena satu orang pergi dari tim, tiba-tiba tim bisa mendadak sepi dan kehilangan energi? Perusahaan dengan semangat tinggi, motivasi kelompok yang kuat, bisa berproduksi diatas rata-rata, bukan karena jumlah kompetensinya, tetapi lebih kepada ‘atmosfir’ yang mendorong manusianya untuk lebih berprestasi dan memacu diri. Terlepas dari perhitungan-perhitungan talenta di atas kertas, kita lihat bahwa manusia dalam industri yang disebut sebagai ‘capital’ ini ternyata mempunyai kekuatan yang sangat besar.
Beragam Bentuk “Kapital”
Kapasitas intelektual dan kemampuan belajar yang dimiliki oleh seseorang sudah kita sadari merupakan aset penting, namun semakin kita yakini bukan satu-satunya aset penentu keberhasilan. Daniel Goleman adalah salah seorang pakar yang membuka mata kita bahwa aspek emosional adalah aset super penting yang perlu dimiliki individu. Modal emosional yang melekat pada individu akan memberi kontribusi pada kemampuan individu untuk mawas diri, membangun hubungan berkualitas, menjaga integritas dan mendorong dirinya untuk bangkit saat menghadapi kegagalan.
Aset lain yang kita lihat juga menjadi pembeda antara individu yang sukses dan yang biasa-biasa saja adalah kapital sosialnya. Kita tidak bisa sukses tanpa jejaring yang berkualitas dan “updated”. Individu yang ada di organisasi dan sekaligus dianggap sebagai anggota berbagai kelompok akan bernilai jauh lebih besar daripada individu berkapasitas intelektual baik tetapi ‘tidak berkawan’. Fungsi pertemanan ini bukan saja terletak pada kemudahan proses atau permintaan tolong, tetapi juga ‘rasa percaya’. Persepsi orang luar terhadap organisasi bisa diwakili oleh kualitas kehidupan sosial individu di dalam organisasinya. Telah banyak bukti yang menunjukkan betapa sebuah perusahaan yang isinya beberapa gelintir manusia, bisa mempunyai pekerjaan-pekerjaan besar, bila manusia didalamnya mempunyai ‘network’ yang kuat.
Jadi, human capital yang sering didengung-dengungkan orang sebetulnya adalah jalinan dari kapital intelektual, kapital emosional, sosial, bahkan spiritual dari individu-individunya. Begitu erat jalinannya, sehingga kekurangan satu unsur saja, bisa membuat organisasi melambat kinerjanya. Inilah sebabnya pengelolaan sumberdaya manusia tidak bisa lagi hanya berkonsentrasi pada ‘hardskills’ atau ‘technical skills’, namun juga ‘softskills’-nya. Kekuatan individu dan lingkup sosial-emosional ini juga membuka mata kita bahwa tanggung jawab mengembangan diri individu tidak bisa sepenuhnya diletakkan pada perusahaan, tetapi juga dipangku oleh individunya sendiri. Semakin individu memasuki demokratisasi “work life balance’ maka ia pun harus memperhitungkan bagaimana ia akan berkontribusi pada pekerjaannya.
“Organization Man” vs Investor
Di era perubahan ini, kepandaian individu cepat sekali lapuk. Dulu kita boleh terbuai dengan stereotype “organization man”, yaitu menjalani karier yang stabil, menunggu kenaikan pangkat dengan sabar sampai akhirnya mencapai puncak. Namun, bila saat sekarang kita masih terpaku dengan mindset ini, dengan mudah kita menjadi “tidak laku” sebelum mencapai puncak. Saat sekarang, individu bisa survive bila ia memiliki etos kerja “volunteer”, yaitu secara “sukarela” dan bersemangat meremajakan pengetahuan, pergaulan dan spiritnya. Andy Grove, Chairman dari perusahaan Intel, mengatakan:” No matter where you work, you are not an employee. Your are in business with one employer, yourself. Nobody owes your career. You own it as a sole proprietor”. Ini berarti kitalah sebagai individu yang harus pandai-pandai mengelola “human capital” kita sendiri. Bila ada perusahaan yang membayar keanggotaan kita di klub olah raga dan tidak kita manfaatkan, maka suatu saat kita menyadari bahwa kesempatan penanaman modal dalam diri kita tidak berhasil. Ujungnya, yang paling rugi adalah diri kita sendiri.
Di satu titik, kita mungkin bertanya, apakah pengembangan diri secara tidak ada habisnya ini, tidak melelahkan? Dengan berubahnya konsep dari peran sebagai “organization man” ke “investor”, kita perlu melihat lapangan kerja sebagai kesempatan yang luas untuk menciptakan ‘arti’ hidup kita. Dinamika kehidupan karir kita perlu memanfaatkan pelanggan dan kolega untuk menjadi cermin guna meningkatkan diri kita. Untuk itu kita perlu menjadi manusia yang hidup dalam konteks “feedback rich”. Di perusahaan seperti Hewlett Packard dan Intel, penilaian kinerja tidak lagi dimotori departemen Human Capital. Para karyawan mengirimkan email ke rekan-rekannya sendiri untuk meminta masukan, seolah haus penilaian.Belajar perlu menjadi hobi dan harus menyenangkan. Bahkan, kemampuan individu untuk “work the boundaries”, meminjam logika disiplin ilmu lain untuk mencari solusi tentu akan menjadikan kehidupan kerja menjadi ajang yang kian menarik lagi. Bila individu merasa sebagai manusia bebas yang ingin meremajakan pengetahuan, profesionalisme, kehidupan sosial dan emosinya, dunia kerja akan sama seperti dengan dunia musik, filem, dan dunia entertainment manapun. Kerja menjadi fun, dan kita, individunya akan menjadi aset faktual maupun virtual yang dinamis.
(Dimuat di Kompas, 4 Agustus 2012)