was successfully added to your cart.

OFFICE STREET-SMARTS

OFFICE STREET-SMARTS

Penelitian terhadap 2.000 mahasiswa tingkat akhir dan manajer rekrutmen yang dilakukan baru-baru ini menghasilkan data cukup menarik. Menurut survey tersebut, hanya antara 0-2 di antara 10 manajer rekrutmen yang percaya bahwa para fresh graduate sudah siap dengan pengetahuan dan ketrampilan untuk bekerja di organisasi. Kurang dari 50 persen dari mereka yang percaya bahwa para lulusan baru ini siap menulis dengan tata krama kantor yang tepat, mengelola proyek, memimpin rapat, dan membuat budget. Yang menarik adalah penelitian ternyata tidak menunjukkan kesenjangan signifikan dalam pengambilan keputusan. Hanya 37 persen dari para manajer percaya akan mutu keputusan yang diambil. 

Dalam hal berkomunikasi, para mahasiswa merasa bahwa mereka siap berkomunikasi dengan berbagai kalangan. Sayangnya, tidak lebih dari separuh manajer setuju dengan hal ini. Ini berarti bahwa para fresh graduate masih memiliki keyakinan bahwa prestasi mereka dan mutu universitas tempat mereka belajar merupakan hal signifikan untuk menunjang kesuksesan mereka. Namun, para manajer merasa bahwa hal ini tidaklah relevan. Bahkan, banyak dari para rekruter menduga bahwa gaya hidup di rumah yang serbaberkecukupan membuat para lulusan tidak siap untuk beradaptasi dengan aturan dan keteraturan kantor. 

Apakah fakta ini juga kita rasakan ketika berada dalam proses rekrutmen yang dijalankan di organisasi kita? Apakah benar perkembangan teknologi yang serbacanggih menjadi penyebab dari sikap para gen Y yang tidak sabaran dan tidak mampu mengikuti birokrasi yang ada di organisasi? Apakah kesenjangan antara tuntutan dunia bisnis dan kualitas lulusan perguruan tinggi semakin besar? Yang jelas, kesenjangan ini perlu dipecahkan. Walaupun semangat "startup" begitu menggebu-gebu di kalangan generasi milenial, perusahaan besar tetap membutuhkan tenaga yang kreatif dan inovatif sebagai anggota tim. Sudahkah perusahaan besar atau lembaga pemerintah siap? 

"Aptitude vs attitude"

Banyak sekali pernyataan dan pendapat para ahli yang menekankan bahwa walaupun ketrampilan teknis yang dipelajari dibangku kuliah sangat penting, ternyata tidak bisa menunjang prestasi di kemudian hari. Kemampuan komunikasi, berorganisasi dan mengembangkan diri jauh lebih berarti daripada kemampuan teknis teoritis yang dipelajari  di bangku kuliah.  

Dalam proses review kompetensi yang baru-baru ini kami lakukan di salah satu perusahaan konstruksi terkemuka, tampak bahwa para manager yang berasal dari berbagai universitas ternama di negeri ini dan memiliki kemampuan teknis yang sangat mumpuni, ternyata mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dan memimpin timnya. Mereka juga mengalami hambatan dalam menyusun strategi jangka panjang yang berorientasi pada pelanggan. Sayangnya, kita para rekruter seringkali tetap berpatokan pada IQ dan kemampuan teknis mereka semata. Tentunya yang dicari adalah kecocokan antara kompetensi yang dipersyaratkan organisasi dengan kompetensi yang ada dalam profil kandidat. Namun, mengapa kita masih sering menemui kegagalan setelah karyawan yang baru masuk dipekerjakan beberapa lama? Dari para karyawan baru, mereka menganggap bahwa suasana organisasi kerap membosankan, bertele-tele dan birokratis. Sementara para atasan menganggap bahwa generasi sekarang ”kurang memiliki daya juang dan kurang bisa bekerja.”

Sikap kerja positif sebenarnya tentang bagaimana individu mempersepsi orang lain, dirinya sendiri dan lingkungan kerja, baik itu organisasi dan dunia bisnis, atau politik tempat ia berada. Sikap yang benar akan mendukung individu untuk hidup selaras dengan peraturan, melakukan pekerjaan dan tugas dengan determinasi, ketahanan, dan antusiasme yang berbeda. Organisasi bisnis, politik maupun pemerintahan, memang selalu mempunyai tantangan, ketegangan dan kesalahan-kesalahan yang berulang, yang kemudian menjadi budaya perusahaan. Bila kita semua, baik itu pendidik di perguruan tinggi, individu sendiri, dan perusahaan tidak menyadari kenyataan ini, tentunya semua pihak akan dirugikan di masa-masa mendatang. Generasi muda juga akan memiliki kesempatan yang terbatas untuk berpartisipasi di lembaga-lembaga pemerintah maupun perusahaan-perusahaan besar. 

Dalam hal ini, kalangan pendidik di perguruan tinggi juga tidak bisa hanya bersibuk diri mempersingkat jangka waktu pendidikan, tanpa memberi bekal yang cukup untuk para mahasiswanya mengenal dunia kerja yang penuk intrik, politik, dan tantangan ini. Bila “Career Readiness Crisis” tidak dihadapi dengan strategi yang tepat, tentunya akan akan berdampak kuat pada generasi yang akan datang. 

Berkarir di masa depan 

Para ahli ekonomi berpendapat bahwa di tahun 2020 nanti, akan ada pekerjaan-pekerjaan baru yang menuntut agar mahasiswa di perguruan tinggi juga dibekali dengan sikap kerja seperti daya adaptasi, antisipasi, dan kemampuan prediksi yang kuat. Memang kita sudah berada dalam era ekonomi digital dan kita memperkirakan teknologi akan semakin dominan dalam berbagai hal. Namun demikian, teknologi tetap hanyalah alat dan perantara antara manusia dan pelanggannya, antara manusia dan produk yang dihasilkannya. 

Manusia, yang tetap mau berada di pasar dunia kerja, harus mempunyai daya adaptasi tinggi, kematangan dan kreativitas yang tidak ada habisnya. Antisipasi perlu dilakukan bahkan sebelum seseorang menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi. Setiap orang yang ingin berkompetisi pertama-tama harus mengenali kesiapannya memasuki dunia kerja, lalu mencari pengalaman-pengalaman belajar yang sesuai guna membangun kompetensi-kompetensi kunci yang dicari dunia kerja. Dalam hal ini, korporasi, lembaga dan institusi pendidikan dapat saling mengisi. Korporasi juga perlu memandang entitasnya sebagai lembaga riset, disamping menuntut produktivitas. Dengan cara itu gap dapat dikurangi dan proses adaptasi dapat dipercepat.    

Dimuat dalam KOMPAS, 7 Mei 2016

 

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com