was successfully added to your cart.

"BUSINESS AS UNUSUAL"

Oleh 01 Desember 2016 Articles

MASIH ingatkah Anda pada krisis tahun 1996-1997? Banyak pebisnis yang merasakan betapa shock-nya ketika tiba-tiba pasar sama sekali sepi, sementara nilai tukar dollar yang terus menanjak setiap hari hingga mencapai hampir 400 persen. Beragam reaksi yang dimunculkan oleh perusahaan. Ada yang kemudian tidak mampu bertahan dan collapse, ada juga yang kemudian berubah arah, bahkan ada yang bangkit dan belajar menunggangi perubahan mendadak tersebut.   

Apakah berbeda krisis ekonomi yang melanda sekarang? Saat sekarang pun kita banyak menyaksikan ketidakmampuan perusahaan-perusahaan untuk keluar dari masalah yang timbul akibat perubahan ini. Bahkan, perubahan yang terjadi secara mengglobal ini, juga tidak menampakkan tanda-tanda kembalinya masa-masa tenang lagi. Dengan kondisi yang serba volatile, uncertain, complex dan ambigu ini, kita berada dalam  era perubahan yang tidak sama dengan krisis pada masa lalu.

Perusahaan telekomunikasi dilibas oleh penumpangnya sendiri. Yang tadinya enak-enak berjualan sambungan pembicaraan telepon, sekarang gigit jari karena para penumpang jaringannya menyediakan pembicaraan video gratis. Perusahaan media ditinggalkan para pemasang iklan yang sudah menikmati fasilitas media sosial yang nyaris gratis. Jadi, perubahan yang biasanya menyebabkan guncangan ini tidak berhenti, malah berguncang terus. Kondisi yang tidak normal ini nampaknya harus diterima sebagai situasi yang normal, the new normal. Semua kesulitan tiba-tiba datang sekaligus, baik itu krisis ekonomi di Asia, situasi politik di negeri kita, Brexit yang sampai sekarang belum putus-putus maupun pemilihan presiden yang begitu mengejutkan rakyatnya sendiri. Ini semua memaksa kita untuk berfikir bahwa suasana  berevolusi secara konstan ini memang sudah harus kita terima sebagai kejadian sehari-hari. 

Pada masa-masa yang lalu, individu biasanya akan menengok ke atasannya dan menunggu perintah untuk menghadapi situasi yang tidak biasa, mengingat tidak atau belum adanya guidance yang bisa mereka ikuti dalam situasi seperti itu. Atasan pun, yang menyadari bahwa komando harus datang dari ujung piramidanya, akan berpikir keras untuk mencari solusi. Apalagi bila para pemimpin ini merasa bahwa merekalah yang paling benar, berpengalaman, konsisten, dan efisien sehingga pendekatan tell and sell tetap diberlakukan. Saat sekarang tercatat 80 persen pemimpin masih menggunakan pola ini. Padahal, 64 persen dari para karyawannya merasa bahwa pendekatan ini kurang efektif dan bahkan menciptakan jarak baru antara pemimpin dan para frontliners-nya. Jadi, apa yang harus dilakukan pemimpin pada era perubahan, ketidakjelasan, dan kerapuhan ini?

Menunggangi ketidakjelasan

Kejutan-kejutan yang kita saksikan, baik di dunia politik, bisnis, maupun bidang lain, memaksa kita untuk mengkaji ulang gaya pendekatan kepemimpinan kita. Kita perlu menerima kenyataan bahwa birokrasi, yang masih sering di praktikkan di lembaga lembaga sudah tidak bisa diikuti 100 persen. Pelanggan zaman sekarang sangat tidak sabaran. Mereka membutuhkan respons yang instan. Kompetitor yang menggunakan teknologi baru tidak bisa kita sepelekan. Mungkinkah dalam kondisi kompetisi seperti ini kita masih menunggu petunjuk dari atasan? 

Pimpinan sudah tidak lagi bisa duduk diam di puncak. Kalaupun masih dalam posisi ini, dapat dipastikan ia akan mengalami hambatan dalam komunikasi dengan timnya. Beragam inisiatif yang ingin dijalankan sulit untuk langsung dijatuhkan dari atas. Posisi puncak akan sulit untuk menggerakkan seluruh organisasi. Komando dan instruksi perlu beredar sampai menyentuh lapisan terbawah, bukan jatuh dari atas. Implementasi hanya bisa sukses dan lancar bila bersifat kolaboratif. Individu, terutama generasi sekarang lebih bersemangat bekerja dengan mereka yang sebaya, yang memiliki passion untuk mencapai tujuan bersama yang mampu mereka bayangkan, ketimbang hanya menerima perintah. Bahkan, pekerja ingin menjadi bagian dari pencipta solusi dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan. 

Menjadi Generasi C 

Sebagai pemimpin, kita tidak bisa bersikeras bahwa kitalah yang tahu semua jawaban. Seorang pemimpin tidak mungkin mendapat informasi, bila ia teralienasi dari anggotanya. Informasi yang didapat juga perlu real time agar masih bisa berpacu dengan tuntutan zaman yang ada. Generasi yang berkuasa sekarang bukan lagi generasi millenial, melainkan adalah generasi C “Connectivity” yang tidak terbatas pada usia, ras, tingkat sosial ekonomi, maupun pendidikan.  

Menurut Brian Solis seorang digital marketing, Gen C adalah sebuah mindset. Pemimpin yang survive, hanyalah pemimpin yang kolaboratif dan inklusif, mampu merangkul, dan bergaul dengan seluruh jajaran organisasi dengan memanfaatkan teknologi digital yang dimilikinya sehingga mampu melewati beragam batas yang ada seperti geografis, sosio ekonomi, maupun batas lainnya. Pengambilan keputusan tidak mungkin hanya merupakan hasil proses berpikir si pemimpin. Dengan semakin kompleksnya situasi yang ada, kualitas keputusan hanya bisa dilakukan melalui pengolahan kelompok yang semuanya aktif mengkontribusikan pemikirannya.

Hanya pemimpin yang mampu mendengar, mengolah informasi, dan bahkan membolehkan garda depan mengambil sebanyak mungkin keputusanlah yang bisa bertahan di era ini. Tidak heran juga mengapa pemimpin kita akhir-akhir ini memperbanyak dialog dengan para mitra dan bahkan mungkin orang-orang yang tidak selalu sejalan dengan prinsipnya. Pembicaraan serius merupakan langkah penting untuk mencapai keputusan yang tepat dan bertahan untuk menjalankan bisnis dalam situasi yang serba tidak biasa ini.

Dimuat dalam KOMPAS, 26 November 2016

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com