was successfully added to your cart.

‘FEELING IN ACTION’

Perasaan kita pasti tergugah menyaksikan bencana banjir, puting beliung, gempa yang melanda banyak orang. Di sebuah kantor elit di Jakarta, di mana beberapa karyawannya berinisiatif mendirikan posko bantuan, ditempelkan pengumuman yang bunyinya: “Sembako cukup, pakaian bekas cukup, yang paling dibutuhkan adalah tenaga.”. Sementara sumbangan makanan, pakaian bekas bahkan uang terus berdatangan, ternyata tenaga penolong yang ada sangat terbatas. Sebenarnya, apakah rasa kasihan atau iba itu tidak ada? Atau rasa itu ada, tetapi tidak sampai menggerakkan orang untuk  menolong? Ini bukti bahwa rasa, atau empati bisa tidak sampai pada taraf melakukan ‘action’.


 


Masih ingat bagaimana rasa takut atau rasa berani mendorong kita untuk belajar berenang atau melompat dari papan loncat di kolam renang?  Bukankah emosi yang seolah berada di belakang punggung kita dan mendorong kita untuk melompat? Rasa takut, seperti takut kebanjiran, takut rugi, takut kena marah atasan, takut dipermalukan di depan umum, menjadikan kita bisa mengerem perilaku kita dan membuat tindakan kita surut seketika. Detak jantung bisa bertambah cepat, tangan bisa berkeringat dingin bila kita takut. Sebaliknya, muka bisa merah padam, panas dan ingin segera menghantam musuh, bila kita merasa geram. Terlihat bahwa bukan saja emosi berbicara, tetapi emosi bisa menjadi ‘bara’ atau sebaliknya menjadi es yang membuat kita surut dan membeku.


 


Kita lihat bahwa kekuatan dan energi fisik sangat relevan dengan keadaan emosi manusia. Proses fisik akan terjadi sesuai kondisi emosi kita. Jadi sebetulnya, perasaanlah yang menggerakkan manusia untuk bertindak. Ungkapan “penuh perasaan” sebenarnya artinya “dalam”. Bila kita melaksanakan tugas kita penuh perasaan, maka kita akan bekerja secara “hemat enerji”, “happy” dan terasa sungguh sungguh oleh pelanggan dan rekan kerja. Tidak heran bila emosi akhir-akhir ini sangat populer dikaitkan dengan kinerja kerja manusia. Bila memang emosi bisa memicu kinerja tentunya kita perlu benar-benar mempelajari bagaimana caranya. 


 


Berteman dengan Perasaan


Pelajaran pertama agar dapat memanfaatkan perasaan adalah mengenalinya. Bila kita mau jujur pada diri sendiri, kita pasti bisa mengaku bahwa kita sering tidak mengakui perasaan yang ‘asli’. Misalnya, kita menepis adanya rasa iri, khawatir, takut kalah, cemburu, dan lain-lain. Pernahkah kita menemui rekan kerja yang sebenarnya iri, tetapi mengklaim bahwa ia kecewa? Yang jadi masalah dengan orang ini adalah kejujurannya terhadap diri sendiri. Bila ia hanya ber-‘acting’ saja, pura-pura kecewa padahal ia sadar bahwa ia iri, biasanya ia pun bisa mengendalikan kata-kata dan perilakunya. Ketidakmampuan  ini adalah awal dari tidak berdamainya individu dengan perasaannya. Kalau kita tidak berdamai dengan perasaan bagaimana pula kita mau memanfaatkan perasaan untuk berbisnis?.


 


Berkenalan  dengan emosi kita sendiri sama seperti cara orang lain berkenalan dengan Anda. Kita sendiri bisa-bisa akan surprise sendiri bila ternyata apa yang kita rasakan lain dengan bagaimana ekspresi emosi kita terlihat oleh orang lain. Kita, misalnya, akan sangat terkejut mendengar komentar pejabat mengenai situasi banjir yang dibesar-besarkan media. Ini adalah contoh tidak samanya penilaian rasa seseorang dengan apa yang dikemukakan. Pejabat tersebut  pasti punya perasaan, tetapi pengungkapannyalah yang belum pas.  Bila kita tidak cepat mengkoreksi dan hati-hati dalam meraba perasaan, kita akan mempunyai tumpukan kekeliruan rasa, dan kemudian akan menjadi keyakinan yang tidak bisa kita manfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.


 


Perasaan: Bahan Bakar ‘Radar’ Manusia


Pernahkah anda menemui individu yang seolah tidak mempunya radar lagi, tidak bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain, bahkan benar-benar tidak bisa mengimajinasikan pengalaman orang lain. Teman saya seorang eksekutif, bertanya kepada bawahannya:”Banjir??? Saya lancar-lancar saja kok perjalanannya dan di sini tidak hujan!”. Belum lagi, ada saja orang yang tidak mempunyai ‘sense’ dan kewaspadaan sosial, sehingga tidak bisa mempersepsi situasi secara pas.


 


Persepsi, interpretasi, pemikiran, emosi dan tindakan merupakan suatu rangkaian psikodinamis yang berkembang. Bila radar perasaan bekerja dengan baik, maka interpretasi akan lebih ‘clear’, perintah dan keputusan untuk melakukan tindakan pun akan lebih mudah diambil. Jadi manusia memang tidak punya pilihan untuk tidak menajamkan perasaannya, karena ketajaman perasaan ini-lah yang menentukan betul atau tidaknya tindakan.


 


Jiwa Sehat, Tubuh Sehat


Kita kenal sekali ungkapan “mensana in corpore sano”, (di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat) . Di jaman di mana kita banyak mengalami tekanan, persaingan dan tuntutan, ternyata, mental juga banyak mempengaruhi fisik. Bukan saja ‘work out’ atau olah raga fisik yang kita perlukan, tetapi kita pun perlu membiasakan ‘work out’ mental seperti membiasakan diri untuk melakukan ‘self talk’ positif. Misalnya dengan mengucapkan kalimat kalimat konstruktif seperti: “Ayo coba!”, “Pasti bisa”, “Pasti ada jalan keluar”. Kalimat-kalimat ini akan menyehatkan pikiran, memenuhi pikiran dengan solusi, dan menambah keyakinan akan kemampuan untuk menyelesaikan masalah.


 


Responsibility: Response-ability (Ability to Respond)


Kalau emosi memang menjadi latar belakang dari tindakan, kita memang mesti bertanggung jawab terhadap apa yang kita rasakan. Kita mesti bertanggung jawab pada diri sendiri kalau kita marah dan men-justify perasaan tersebut. Apakah saya berhak marah dalam situasi itu? Bila ya, tindakan tertentu memang mesti diambil. Apakah tindakan itu mengejutkan, keras ataupun merugikan orang lain? Sepanjang tindakan tersebut bisa dipertanggungjawabkan, tidak ada masalah. Tantangannya adalah mengambil tindakan konstruktif yang selaras dengan apa yang kita rasakan.


 


Ditayangkan di KOMPAS, 3 Maret 2007

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com