was successfully added to your cart.

Bebas Merdeka!!!

Aku ingin dapat bebas lepas
Aku ingin senantiasa merasa bahagia
Aku ingin dapat terbang jauh
Bila tiada yang peduli


(Indra & Mira Lesmana)


 


 


Tahun ini, genap 62 tahun Indonesia Merdeka. Hidup terasa makin BEBAS, makin jauh dari kungkungan. Sebut saja beberapa kebebebasan yang kita temui sekarang, yang tidak dirasakan dulu, seperti bebas bicara, bebas demo, bebas pilih hadiah, bebas uang pangkal, bebas bunga bank, bahkan hampir-hampir, bebas uang sekolah. Bila pada pagi hari, ketika bangun tidur, masih ada rasa terkungkung, kita boleh mempertanyakan situasi diri kita.


Ekonomi modern sudah membawa kita jadi individu yang bebas pula secara finansial. Saat uang kurang, kita bisa utang kiri kanan. Uang belum di tangan, kita tetap bisa punya barang, punya mobil, pilih ‘real estate’ impian. Kebebasan ini berdampak pada berkurangnya ketergantungan seseorang pada lembaga tertentu. Tidak ada lagi kebutuhan menunggu pembagian ini itu ‘dari kantor’, karena kita memang sudah punya kebebasan sendiri.


Kebebasan makin besar pula di dunia sosial, politik, budaya. Anda tidak suka berteman dengan orang tertentu? Anda bebas meninggalkannya! Siapa yang sekarang bisa mempengaruhi orang untuk berpolitik dan memaksa Anda jadi golongan tertentu atau menganut ajaran tertentu? Siapa yang bisa mengontrol seseorang untuk mencoblos calon tertentu atau melarang orang mengkampanyekan,”Ambil uangnya….., coblos yang lain”? Generasi kita, karena kelancaran informasi, sudah berhadapan dengan lapangan informasi yang begitu luas, yang tidak bisa dijamin kebenaran, validitas dan reliabilitasnya secara mutlak. Orang bebas berpendapat, bebas berubah, dan tidak bisa menahan kepemilikan informasi untuk waktu  yang terlalu lama.


 


Siapkah Kita ’Merangkul’ Kebebasan?


Tidak bisa disangkal, siapa pun akan beranggapan bahwa kebebasan adalah sesuatu yang positif dan demokratis. Tetapi, rasanya kita juga perlu menghayati ungkapan,”There’s always a price to pay”. Cara bicara anak yang terbuka dan demokratis, terkadang mengiris hati kita sebagai orangtua yang masih merasa “dikurangajari”, demo-demo berkepanjangan yang kerap tidak jelas misinya, kebebasan setiap pos untuk menentukan tindakannya tanpa merasa perlunya koordinasi sehingga terjadi gejala ”suka-suka saya,dong” alias  “cilo” antar departemen. Ini “harga” kebebasan yang perlu kita rasakan saat ini. Tanpa kita sadari kebebasan datang bersamaan dengan kesulitan membangun tatanan sosial di organisasi, perusahaan maupun masyarakat.


 


Apa yang bisa kita lakukan untuk membuat anak rela bersilaturahmi? Bisakah kita mengikat kebebasan karyawan melalui paksaan untuk loyal? Kita lihat bahwa kontrol sosial semakin lama semakin mengandalkan kemampuan persuasi yang handal. Paksaan, apalagi dengan ’power’ yang ’coercive’ semakin tidak laku. Individu bebas membeli ide yang diyakini.  Kehandalan seseorang dalam mempersuasilah yang menentukan apakah ia akan dituruti, akan di-’buy in’ idenya atau ditolak.


 


Siapkah Kita Menghadapi Realitas?


 


Di satu sisi kita dihadapkan pada dunia yang bebas, namun di sisi lain kita tetap perlu menghadapi realitas dari kebebasan yang kita dapatkan. Kita makin bebas berhutang pada bank, namun di akhir bulan kita tetap akan dihadapkan pada realitas kewajiban membayar tagihan listrik, telpon, cicilan rumah, mobil, barang elektronik, perabot rumah tangga dan lain-lain. Kita bisa saja mendemo, memaki-maki pemerintah dan otoritas lainnya, tapi realitas bahwa yang kita hadapi tidak berubah tetap harus bisa kita terima. Kebebasan jugalah yang membuat subsidi minyak dicabut, kriminalitas merajalela, sehingga keamanan juga terancam. Kita rupanya tetap perlu hati-hati beraksi terhadap kebebasan yang tersedia dihadapan kita.


Kebebasan tidak membuahkan rasa nyaman dan aman secara gratis, bahkan perlu ada kecanggihan ”mind set” dalam mengimplementasikannya. Kitalah yang perlu waspada terhadap batas batas kita sendiri, bahkan perlu berkreasi menciptakan batas kita. ”tolong ingatkan mamah ya nak, kalau aku salah ngomong” , ” tolong masing masing saling mengingatkan tentang deadline yang ketat ya..” .


Kita jadi memerlukan jaringan sosial yang lebih luas  sebagai alat kontrol tambahan. “Tegur saya kalau saya tidak senyum”, demikian bunyi pin yang disematkan di dada seorang frontliner, yang berbagi standarnya ke masyarakat luas. Otomatis ia yang bebas berekspresi akan mempunyai sistem kontrol lain yang berbentuk reaksi pelanggan atas permintaaannya sendiri. “Bank kami menuju ke peringkat satu!”. Kerasnya teriakan ini, menyebabkan bertambahnya sorot mata yang menyaksikan dan mengevaluasi apakah benar-benar bank ini berkinerja nomor satu. Keterbukaan seperti sosialisasi dan kebebasan dalam penghitungan pajak sendiri, laporan keuangan perusahaan “tbk”, bahkan laporan keuangan proyek-proyek  trilyunan rupiah akan mengedukasi masyarakat akan kebebasan mengkritik dan berpendapat  tetapi  sekaligus akan menjadi kontrol diri yang sehat. Rupanya kebebasan akan  baik dan membuat bahagia hanya bila dikawinkan dengan kontrol diri yang baik pula. Bagaikan dua sisi dari uang logam!


Dan...”what next”? Kitapun kemudian  tertantang untuk menghayati nilai nilai lain yang lebih luhur seperti ”fairness” , persamaan, konservasi dan masih banyak lagi , yang membuat hidup kita yang bebas ini semakin bersemangat.  


(Ditayangkan di KOMPAS, 1 September 2007)

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com