was successfully added to your cart.

Wanita, Mengapa tetap Sedikit Jadi Pemimpin?

Dengan dicalonkannya seorang wanita lagi pada  Fit & Proper Test” dewan gubernur Bank Indonesia, ada potensi  proporsi 3 : 5 antara wanita dan pria di lingkungan organisasi yang sangat penting dan bergengsi ini. Posisi sekarang yang kembali menjadi 2 : 6, lagi-lagi bisa menimbulkan wacana mengenai kepemimpinan wanita yang tidak kunjung terjawab. Mengapa wanita yang punya kecenderungan lebih tekun, lebih menerapkan kepemimpinan partisipatif tetap saja tidak lepas dari kungkungan langit-langit kaca yang seolah transparan tetapi tidak tembus-tembus sampai ke puncak? Bukankah  kesempatan untuk menyambut tantangan sudah diberikan lebar-lebar?

Kita sudah banyak membahas isu-isu seputar prejudis terhadap lemahnya wanita ketimbang pria. Alasan logis seperti bobot tuntutan keluarga, gaya kepemimpinan  yang luwes namun  kurang “power” dan harapan terhadap sikap pemimpin wanita yang ujung-ujungnya juga diskriminatif, tampaknya belum tertanggulangi dalam upaya menolong pemimpin wanita untuk menambah populasinya, bahkan di negara paling maju seperti Amerika sekalipun. Kuatnya Condoleezza Rice, Angela Merkel, Miranda Gultom, Gloria Macapagal-Arroyo tetap dilihat publik sebagai fenomena yang hebat, tetapi langka dan tidak biasa. Bahkan ada data yang membuktikan bahwa gaji eksekutif wanita tetap jauh lebih murah dibandingkan dengan eksekutif pria. 

Bisakah Memutus Lingkaran Setan?

Potensi pemanfaatan wanita dalam industri memang jelas sangat besar. Jumlah populasi wanita saja sudah jauh melampaui pria. Tindakan untuk menekan, melecehkan kemampuan wanita sebenarnya merupakan tindakan kontaproduktif. Tantangannya sekarang lebih kepada bagaimana memerangi proses psikologis dibalik perilaku dan keputusan, yang sadar maupun tak sadar, menghambat para wanita untuk mendorong dirinya ke atas dan segan mencoba kapasitasnya untuk menjalankan kepemimpinan.  Kita ambil saja contoh kegiatan lembur tengah malam. Bila ada tantangan seperti itu, maka baik pria maupun wanita akan mengarahkan pandangan penuh harap ke para pria yang ada. Sebenarnya gejala ini bukan dilatarbelakangi oleh  prejudis gender, tetapi lebih dalam daripada itu, ada proses psikologis pada hampir setiap individu yang menekan wanita sedikit di belakang pria. Satu-satunya jalan untuk memerangi kondisi ini adalah menyadarinya dan melakukan manuver eksternal dan strategik.

Jangan Biarkan Wanita Kehabisan Nafas Sendirian

Secara normal individu perlu waktu 10 tahun berkarir untuk menghadapi tantangan posisi pemimpin. Pada saat usia karir mematang begini, kondisi keluarga pun biasanya sudah bertambah kompleks. Tidak tertutup kemungkinan bahwa profesional wanita yang sudah berhasil menembus segala rintangan, plus masalah keluarga dan anak yang semakin kompleks, mulai merasa lelah. Teman saya, salah seorang direktur perusahaan kelas A, usia 45 tahun, sudah menduduki jabatan direktur selama kurang lebih 8 tahun, kesempatan untuk menjadi CEO terbentang luas. Ketika saya tanyai kapan teman kita ini memproyeksikan diri menjadi CEO ia berkomentar,”Ah, jadi direktur pun sebelumnya saya menolak. Sekarang pun, kalau diperbolehkan, saya ingin ‘lengser’ dan mengantar anak ke sekolah saja. Capek...”. Pembuat strategi perusahaan yang ber-“awareness” tinggi sebenarnya dapat mengoptimalkan wanita profesional berbakat, sehingga lingkungan kerja benar-benar kondusif dan tidak terlalu ‘berbatu’.

·        Mengatur Proporsi Jumlah Wanita dan Pria dalam Tim

      Kita bisa bayangkan, bila dalam satu tim pengambil keputusan hanya ada satu orang wanita di antara pria. Andaikata wanitanya bersikap vokal sekalipun, ada perasaan ‘kagok’ pada anggota tim lainnya. Hal inilah yang sering menyebabkan wanita perlu mengeluarkan enerji lebih besar bila ia ingin maju. Proporsi yang seimbang akan membuat wanita lebih ‘comfortable’ berkinerja, berpendapat, berkelompok dan akhirnya mendapat ‘selera’ untuk lebih maju lagi.

 

·        Mendukung ‘Social Capitalizing’ Wanita

      Di jaman di mana “social capital” sangat berperan dalam promosi, wanita sudah pasti sulit mengejar rekan prianya. Sebut saja kegiatan “lobby” atau “gaul” yang sulit dikejar wanita karena tidak hanya terjadi di lingkungan kantor, tetapi juga di klub-klub golf, klub eksekutif bahkan terkadang di tempat hiburan. Bagaimana dengan PR anak-anak? Acara berbuka puasa di rumah, belanja baju lebaran dan hantaran buat mertua? Selain itu, mau tidak mau paradigma mengenai kegiatan ‘gaul’ wanita masih sering terarah ke hal-hal yang negatif.

      Bagi wanita karir, pilihannya mudah. Tidak gaul, membatasi kegiatan sebatas kantor-rumah adalah pilihan yang aman. Tanpa disadari wanita sudah kalah modal dari para pria yang berkesempatan ‘mencuri start’ dengan mengembangkan ‘network’-nya diluar jam kerja. Perusahaan sebenarnya bisa membuat kebijakan yang menunjang wanita yang perlu melakukan ‘networking’ ini, dengan misalnya membuat aturan bahwa wanita yang perlu melakukan kegiatan ‘networking’ didampingi oleh rekan kerjanya atau diperbolehkannya menggunakan fasilitas kendaraan kantor.

·        Mengembangkan Kebijakan yang ‘Family Friendly’

      Sejak kebijakan flextime kami terapkan di kantor kami sendiri, tidak terlihat gejala penurunan kinerja, bahkan komunikasi lebih baik, karena individu yang bekerja di rumah tampak lebih banyak menggunakan media komunikasinya. Kebijakan lainnya seperti job sharing, child-care yang disponsori perusahaan, me-’welcome’  kembalinya karyawan wanita yang pernah mengundurkan diri karena persoalan keluarga, pasti akan menambah proporsi wanita karir berprestasi.

Salah satu paradigma yang selalu saya tanamkan dalam diri saya untuk mengoptimalkan fungsi wanita karir adalah jangan lihat gendernya…lihatlah potensinya.

(Ditayangkan di KOMPAS, 29 September 2007)

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com