was successfully added to your cart.

Budaya Bertanya

 “Ada pertanyaan?”, demikian kita sering mendengar atasan, presentan ataupun fasilitator pelatihan menutup topik pembicaraannya. Tidak jarang kita menemui, situasi hening, tanpa ada orang yang mengacungkan tangan untuk bertanya. Beberapa orang yang berusaha menganalisa mengatakan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang pemalu, sehingga ‘mohon maklum’ jika tidak banyak respon terhadap presentasi yang sudah berlangsung. Benarkah tidak adanya pertanyaan ini di latarbelakangi oleh budaya malu? Atau justru, di budaya kita berkembang kebiasaan mematikan pertanyaan sehingga individu memang tidak menyuburkan kebiasaan bertanyanya? Kita melihat kadang peserta meeting atau pelatihan memasang ekspresi “Cape deh” atau “Emang Gue Pikirin”, bila kebetulan ada orang yang berminat mengajukan pertanyaan. Orang yang sering bertanya dan mengajukan pertanyaan bahkan kerap dicap sebagai orang yang ‘rese’.

Meskipun seolah mendorong orang untuk mengajukan, namun tak jarang ada pemimpin rapat atau atasan yang malah memasang wajah tidak senang atau bahkan menyerang jika ada orang yang bertanya atau mempertanyakan informasi yang diberikan. Ada pendapat bahwa mengajukan pertanyaan dianggap sebagai tindakan yang kurang merespek. Terkadang, jawaban atas pertanyaan yang muncul berupa jawaban singkat seperti “tidak mungkin” atau “tidak bisa”, tanpa mengolah atau menganalisis pertanyaannya lebih lanjut. Hal seperti ini tentu seketika mematikan pertanyaan produktif. Individunya malas bertanya karena merasa bahwa pertanyaan harus sudah mengandung jawaban di dalamnya. Individu takut dianggap dungu dan ‘innocent’. Padahal di dalam pendidikan kemiliteran yang terkenal sangat instruksional dan otoriter, para serdadu dilatih untuk mengajukan pertanyaan.

Kita seharusnya sangat prihatin dengan keadaan ini, karena masyarakat seperti ini terdorong tumbuh menjadi masyarakat yang tertutup terhadap kemungkinan-kemungkinan, penemuan inovasi, bahkan pengembangan. Bila kebiasaan ini tumbuh, maka masyarakat bisa berkembang menjadi masyarakat yang tidak menyadari lagi asumsi dan motivasinya. Matinya kebiasaan bertanya ini, bisa tidak disadari sebagai matinya inisiatif kita sebagai anggota masyarakat Bayangkan bila dalam suatu rapat tidak ada pertanyaan: ”Apakah….itu?” Mengapa terjadi…?”, “Apa yang melatarbelakangi gejala itu…?”, “Mengapa tidak...?”. Terasa sekali bahwa tim atau lembaga tersebut hanya menjalankan apa yang sudah digariskan. Tidak ada sikap kritis terhadap praktik yang sedang berjalan.

Pertanyaan identik kontribusi

Apapun bentuknya, kita bisa menganggap bahwa setiap pertanyaan yang diajukan ke perusahaan, lembaga atau pemerintah adalah kontribusi individu. Misalnya, individu yang mempertanyakan mengapa gajinya tidak naik sesuai harapan, bisa memberi indikasi ketidakpuasan, ketimpangan penilaian, kurangnya informasi dan masih banyak hal lain yang mungkin bisa dikembangkan. Tony Hsieh, CEO Zappos perusahaan sepatu on line yang sangat sukses, berpendapat bahwa kelompok di perusahaan perlu memformulasikan pertanyaan secara berkala. Menurut Tony, pertanyaan menimbulkan pembicaraan. Pembicaraan membangun spirit memikirkan masa depan dan perbaikan bersama. Bahkan Zappos, kemudian menerbitkan pertanyaan-pertanyaan karyawan sebagai buku budaya mereka yang mengemukakan: "true feelings, thoughts, and opinions of the employees,", di mana karyawan jadi merasa sebagai ‘pemilik’ perusahaan yang bertanggung jawab.

Budaya bertanya sebetulnya bisa membantu kita untuk tidak selamanya melihat masalah sebagai keterpurukan, tapi langsung sebagai materi ‘problem solving’ yang perlu digarap. Dengan mempertanyakan tindakan yang hampir menetap sebagai habit, kita pun bisa lepas dari belenggu rutinitas. Bahkan kita pun bisa dengan toleran melihat keberbedaan dan mencari ‘power’ dalam keberbedaan. Mengapa kita tidak mengambil manfaat dari keberbedaan? Mengapa kita tidak melakukan “combine forces”? Pertanyaan bisa diibaratkan seperti ‘turbo-charger’ yang merupakan katalis menuju wawasan wawasan kreatif..

Terbuka terhadap segala kemungkinan

Eric Schmidt, CEO  perusahaan Google, mengatakan: "We run the company by questions, not by answers". Banyak hal yang harus dipertanyakan oleh Google sebagai perusahaan yang sudah sukses itu. Misalnya saja: Apa yang harus kita lakukan dengan uang ‘cash’ yang ada? Upaya apa yang paling efektif? Jane Harper, tokoh pengembangan SDM di IBM yang sudah bekerja selama 30 tahun, saat angka ‘turnover’ melonjak tinggi-tingginya, mempertanyakan kembali, mengapa dulu orang enjoy bekerja di IBM? Ternyata hasil survey kecilnya mengatakan bahwa orang menikmati bekerja dalam tim kecil, di mana tantangannya jelas, komunikasinya intensif dan impact-nya pun terasa kuat. Inilah cikal bakal pengembangan program ‘Extreme Blue’ yang kemudian berkembang menjadi wadah inovasi dan mengembangan talenta.

Kita memang perlu berlatih untuk mengajukan pertanyaan yang berbobot dan bukan sekedar pertanyaa “asbun” atau melemparkan teka-teki konyol seperti banyak kita saksikan di berbagai media sosial, yang membuat orang mengerenyitkan wajah. Kita pun perlu menyimak pertanyaan, menganalisis atau bahkan mengendapkannya dulu sebelum menjawab, daripada memberi jawaban atau komentar yang tidak jelas atau asal-asalan. Bila kita masih mengalami rapat-rapat yang “garing”, kita bisa melihat betapa kita masih jauh dari kondisi di mana orang sudah menerapkan ‘questionstorming’. Kita masing-masing bertanggung mengisi setiap pertemuan dengan sebanyak mungkin pertanyaan agar ide ataupun praktik yang sedang berlangsung bisa dikembangkan lebih lanjut. Tentunya kekuatan bertanya ini perlu dilengkapi dengan kekuatan observasi, bergaul, bereksperimen, yang terlatih pula.

(Dimuat di Kompas, 19 November 2011)

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com