Kita tahu ada perusahaan yang memberi gaji “bersaing” serta fasilitas “wah”, dengan harapan individu jadi lebih produktif, bisa menampilkan kinerja terbaik. Namun, kita bisa melihat bahwa upaya ini tidak selalu efektif untuk menumbuhkan spirit, motivasi, kepandaian dan sikap terpuji dari karyawan. Meski sudah diberi gaji di atas rata-rata, tidak sedikit karyawan yang tetap bertingkah laku tidak produktif, tidak mandiri, tidak berani mengambil keputusan dan resiko. Riset menunjukkan upaya semacam ini tidak ampuh menghasilkan perubahan perilaku yang bertahan lama, karena motivasinya bersifat eksternal, bukan dari dalam diri individu. Bila karena satu dan lain hal, fasilitas yang ada dihilangkan, sikap kerja karyawan bisa berbalik 180 derajat. Di sisi lain, ada perusahaan yang penghasilan karyawannya tidak besar, fasilitas untuk karyawan tidak berlebihan, tetapi kerjasama tim, semangat karyawan dan profesionalitasnya sangat menggebu-gebu. Jadi, ada hal lain di luar kompensasi dan remunerasi yang berperan signifikan dalam membangun efektivitas organisasi dan manusia. Faktor lain itu adalah “hati” dan “rasa”.
Dalam mengelola manusia, kita memang seringkali lupa mengukur kekuatan “rasa”. Padahal, sering kita kehilangan tenaga andalan karena ketidaknyamanan emosi di lingkungan kerja, karena sakit hati atau merasa tidak dihargai. Ungkapan “jangan membawa “emosi” di tempat kerja memang tidak lagi relevan. Kapasitas emosi malah menjadi barang mewah di era teknologi ini. Tim dan organisasi hanya bisa berkinerja efektif bila ada emosi positif didalamnya. Pelanggan loyal karena ikatan emosi. Karyawan kompak karena merasa satu rasa. Afeksi, kemampuan merasakan dan mengekspresikan "rasa" menjadi elemen penting dalam komunikasi dalam tim. Nilai-nilai penting yang menjadi jiwa organisasi harus diekspresikan oleh atasan dalam interaksi dan proses coaching sehari-hari, sehingga karyawan bisa merasakannya. Kejujuran, kepercayaan, respek, harga diri, keberanian, keterbukaan setiap individu dalam organisasi adalah hal-hal yang harus ditargetkan oleh atasan atau pemimpin. Tanpa ini, semua nilai tadi tertinggal sebagai kata-kata saja.
Positifkah Komunikasi Tim?
Penelitian Thomas Bradbury dari UCLA, menemukan adanya 'komunikasi positif' pada organisasi yang efektif. Dalam tim yang efektif cara bersepakat, berdebat, dan mengajukan usul bernada positif. Sementara, di tim yang kurang efektif, ada lebih banyak situasi di mana orang bersikap defensif, berdebat dengan cara yang tidak produktif. Dalam situasi beremosi positif, komunikasi ditandai adanya “passion”, afeksi, humor, dan “berjiwa”. Sementara di situasi beremosi negatif, orang lebih cepat naik darah, cepat patah arang; memutuskan transaksi komunikasi. Di sinilah atasan berperan penting, karena otomatis atasan sangat mempengaruhi warna komunikasi dalam tim. Apakah sebagai atasan kita kerap mengeluarkan komentar bernada mengancam? Atau sebaliknya, mendorong dan me-reward komunikasi positif? Atasan yang sadar akan perannya sebagai coach betul-betul perlu mawas diri tentang bagaimana ia memberi komentar saat mengoreksi kesalahan anak buah, bagaimana cara komunikasi dalam menengahi beda pendapat.
Kita bisa menemui organisasi di mana ketegangan bisnis tinggi, banyak perdebatan, tetapi kekompakan tetap terjaga. Dalam salah satu organisasi ini, seorang karyawannya berkomentar, ”Di sini orang bisa berbeda pendapat, tetapi ini demi satu tujuan yang jelas.” Emosi positif berkhasiat seperti ‘teflon’ lapisan anti lengket di penggorengan. Kerak dan gosong yang mungkin timbul dari tegangan tinggi atau beda pendapat tidak bakal menempel dan tertinggal. Coaching sebagai salah satu proses komunikasi penting perlu dilihat sebagai sarana bagi atasan untuk mengekspresikan “rasa” dan “emosi”. Pencapaian sasaran tim, pengembangan kompetensi anak buah harus menjadi obsesi yang dikomunikasi dengan jelas, sehingga coaching betul-betul berbobot dan tidak sekedar formalitas penuh basa-basi.
Menyetel Frekuensi
Seorang teman , chairman perusahaan multinasional, yang sangat passionate mengembangkan coaching culture di organisasinya, berkomentar bahwa menjadi coach yang efektif memerlukan ketrampilan interpersonal tingkat tinggi. Coaching pada dasarnya adalah interaksi komunikasi “multisensorik”. Dasarnya adalah "hati" dan "keyakinan" yang digunakan untuk mengolah "rasa", yang dihasilkan dari observasi intens seluruh panca indera. Umpan balik atau pesan, tidak semata "dikatakan", tetapi di"ekspresikan" lengkap dengan tindakan. Dengan cara ini, anak buah atau coachee, tidak sekedar "mendengar" tapi juga "merasakan". Hanya dengan coaching bernuansa komunikasi positif, anggota tim terdorong untuk "berubah" tanpa merasa "diubah", ia akan merasa dibimbing tanpa merasa "digurui", dan merasakan “tumbuh” tanpa dikerdilkan. Coaching, baik langsung maupun tidak langsung, baru bisa efektif jika menjadi bagian dari kegiatan organisasi sehari-hari; bukan aktivitas yang berdiri sendiri.
Teman saya ini mengingatkan bahwa hal-hal tadi tidak bisa dicapai tanpa "tuning the frequency". Coach perlu menyesuaikan gelombangnya untuk berada pada frekuensi yang sama dengan bawahannya. Atasanlah yang harus menyetel frekuensinya, bukan bawahan yang menyesuaikan ke atas. Alam mengajarkan melalui kapasitas jari-jari: jempol adalah pemimpin, jari lain adalah anak buah. Jempol harus bergerak mendekat, agar jari lain bisa menyentuhnya. Kalau jempol tidak mau bergerak untuk "menyentuh" kelingking, jangan harap kelingking bisa mendekati jempol; apalagi menyentuhnya. Mau tidak mau atasan harus bisa beroperasi secara multi frekuensi. Ini adalah "active listening" yang dipraktekkan sepenuh hati. Inilah esensi penting dari “The Power of Coaching”. Teman saya ini akan menjadi salah satu pembicara di seminar tanggal 6 Desember 2012.
(Dimuat di Kompas, 17 November 2012)