was successfully added to your cart.

MEMBANGUN KECERDASAN EMOSIONAL PEMIMPIN

MEMBANGUN KECERDASAN EMOSIONAL PEMIMPIN

Dua puluh tahun belakangan ini, para ahli pemasaran mulai menyadari, mengiklankan produk dengan hanya menonjolkan fitur produk tidak terlalu efektif lagi. Banyak orang yang membeli lebih karena alasan emosional, seperti senang dengan tokoh iklannya. Hasil penelitian membuktikan, bahwa hanya 15 persen yang membeli atas dasar rasionalitas. Untuk itu, diperlukan kecerdasan emosional (emotional quotient)

People often buy on emotion and backfill with logic, kata seorang marketer professional. Jadi, yang lebih penting adalah what it makes me feel daripada what it does for me.  Fakta inilah yang kemudian membuat perusahaan-perusahaan, seperti Google, Facebook, Apple, sampai Mercedes-Benz secara serius mendalami kebutuhan pelanggannya dan menemukan konten emosional dalam merancang produk mereka. Kita bisa melihat upaya Nike yang menjual sepatu dengan konteks emosional yang sangat luas.

Sementara para marketer sibuk dengan emosionalitas manusia, ada satu area yang sering dilupakan orang, khususnya para pemimpin, yaitu bawahannya sendiri. Banyak yang merasa, connection atasan-bawahan memang sudah alami sehingga tidak memerlukan usaha khusus untuk mengembangkannya. Ada pula yang merasa, bila hubungan dengan bawahan baik, penyelesaian tugas menjadi lemah dan sasaran terancam sulit tercapai. Belum lagi ada atasan yang tidak mau berada dekat dengan bawahan karena khawatir wibawanya hilang.

Apa akibatnya? Tak jarang kita menyaksikan banyaknya lack of trust ditunjukkan dengan sikap sinis karyawan terhadap sikap atasan dan tuntutan kerjanya. Ini semua bersumber dari emosi. Jadi, tak ada pilihan, emosionalitas perlu diaduk dalam kultur setiap perusahaan.

Dunia memang sudah berubah. Dulu, sesudah industrial age, kita beranjak ke knowledge based economy, yaitu manajemen sumber daya manusia mulai dikelola, sekarang, kita sudah memasuki dunia connection based economy. Pekerjaan sekarang lebih membutuhkan inteligensi emosi, seperti empati, kolaborasi, dan kreativitas. Dalam suasana kepemimpinan yang mencekam dan menyakitkan hati, tidak mungkin kreativitas muncul. Yang terjadi malahan matinya sikap kritis yang sebenarnya adalah cikal bakal kreativitas.

Emotion is fundamental to being a human. Apalagi dalam dunia kerja yang sudah didominasi oleh para milenial, kita perlu memperhitungkan sifat, visi, dan ekspektansi para bawahan. Hasil penelitian mengatakan, para milenial ini ingin mengerjakan pekerjaan yang berdampak pada perusahaan. Bahkan, penelitian mengatakan bahwa 67 persen dari populasi milenial lebih senang bekerja di perusahaan dengan social responsibility yang lebih besar. Emotionally connective workplaces are more powerful than ever before.  Emotion is core to any business relationship.

Jadi, seberapa banyak pun perusahaan mencetak keuntungan, bila keterlibatan emosional karyawan lemah, perusahaan ini tidak memiliki nilai tambah. Hanya dengan hubungan emosional self interest karyawan bisa sejalan dengan interest perusahaan.

Keterlibatan emosi karyawan juga perlu memperhatikan konteks bisnis perusahaan. Seorang atasan perlu memberi gambaran sejelas mungkin pada bawahannya tentang apa yang sedang terjadi dalam pergerakan bisnis perusahaan dan apa manfaatnya buat karyawan sendiri secara langsung dan secara tidak langsung ke perusahaan.

Membangun perusahaan yang bermodal konektivitas emosi

Sekarang, nilai tambah perusahaan sebagian besar terletak pada keterampilan dan kreativitas manusianya. Kebutuhan pelanggan yang senantiasa berubah membuat perusahaan juga secara agile bergerak mengikuti kemauan pasar. Bila karyawan mengandalkan atasan dan hanya bertindak sebagai robot menunggu perintah, perusahaan tersebut tidak bisa dinilai sebagai perusahaan yang kreatif.

Perusahaan seperti Southwest Airlines berani memanfaatkan sense of belongingness karyawannya untuk bertahan di masa sulit. CEO-nya Herb Kelleher, dalam town hall dengan karyawannya ketika menghadapi kesulitan, mengumumkan bahwa tidak ada seorang pun yang akan dipecat, tetapi setiap orang perlu bekerja lebih keras. Alhasil, Kelleher mendapatkan bantuan karyawan yang luar biasa untuk mempersingkat waktu boarding, check-in, dan lain lain. Bahkan, dalam masa-masa sulit, karyawan bersedia menyumbangkan sebagian gajinya untuk mengurangi beban perusahaan.

Jadi, bagaimana kita memanfaatkan emosi dalam membangun kerja tim dan kekuatan aset manusia kita? Semua orang tahu, emosi itu penting, tetapi tidak semuanya dapat menggunakan emosi untuk menjadikannya sebagai dasar memimpin. Banyak yang berpikir, menggunakan emosi dalam memimpin adalah mengekspresikan emosi. Padahal, ekspresi emosi tidak sepenuhnya diperlukan. Yang lebih diperlukan adalah sambung rasa yang terjadi antara atasan dan bawahan. Tidak selamanya hubungan ini tampak dari ekspresi emosi.

Ada beberapa hal yang perlu menjadi panduan untuk menyambung rasa ini.

Pertama, berilah perhatian penuh pada apa yang dirasakan lawan bicara ketika memberi instruksi, menanyakan perkembangan proyek ataupun menindaklanjuti tugas. Dari sana, kita dapat melanjutkan pembicaraan dengan hal-hal yang lebih personal dan mendalam.

Kedua, hasil penelitian mengatakan bahwa mood itu menular. Setiap orang mempunyai bad days. Namun, sebagai seorang pemimpin, mood negatif yang kita rasakan tidak boleh membebani tim. Ketidakpuasan kita terhadap kinerja bawahan pun perlu dikomunikasikan dengan penuh pertimbangan agar tidak membangkitkan kekecutan hati mereka sehingga sulit untuk tetap berkomunikasi secara sejajar dengan atasan.

Ketiga, dalam memimpin, kita tidak bisa bersembunyi di balik kenyataan bahwa kita adalah orang yang introvert, tidak bisa ditebak perasaannya. Pemimpin harus mengembangkan extraversion-nya, menggunakan emosi dan nilai yang dianut bawahan, serta berusaha mengarahkan bawahan sesuai dengan visi perusahaan. Tak ketinggalan, membangun kecerdasan emosional bagi dirinya sendiri.

Keempat, sikap pemimpin juga perlu konsisten dan penuh optimisme. Respek adalah awal dari hubungan yang jujur dan efektif. Kita pun perlu menyebarkan optimisme agar semua bawahan yakin meskipun jalan perusahaan yang tidak selamanya mulus.    

For leaders, the first task in management has nothing to do with leading others, step one poses the challenge of knowing and managing oneself – Daniel Goleman

EXPERD   |   HR Consultant/Konsultan SDM

Diterbitkan di Harian Kompas Karier 15 Januari 2022

#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #karier #membangun #kecerdasan #emosional #pemimpin

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com