
Dalam dunia bisnis masa kini, praktik tidak etis semakin tampak kasatmata. Padahal, kode etik dan tata kelola bisnis tetap ada, tetapi sering diabaikan dalam praktiknya. Merendahkan pesaing atau meniru produk bahkan dilakukan secara terang-terangan, memanfaatkan saluran digital yang semakin berkembang. Di sisi lain, tindakan yang dulu bisa tersembunyi kini cepat terpublikasi, menimbulkan kebingungan konsumen, dan merusak kepercayaan pasar.
Fenomena tiru-meniru produk menjadi contoh paling nyata. Ada perusahaan yang menyalin karya pesaing, bahkan memelesetkan nama merek untuk menghindari jerat hukum, lalu menggunakannya demi melambungkan reputasi sendiri. Sekilas terlihat sebagai strategi cerdas memanfaatkan momentum, tetapi sesungguhnya tindakan ini merugikan pemilik merek asli, membingungkan konsumen, dan melemahkan ekosistem persaingan sehat.
Lebih jauh, perkembangan kecerdasan buatan justru membuat praktik ini semakin canggih, mulai dari menghasilkan desain baru yang sangat mirip dengan aslinya, hingga menyusun dokumen dan argumen hukum yang seolah membenarkan perilaku tidak etis tersebut.
Praktik tidak beretika
Sejarah bisnis mencatat berbagai skandal etika yang sangat merugikan. Pada awal 1990-an, Sears Auto Center dikecam karena mendorong pelanggan melakukan perbaikan yang tidak diperlukan. Tekanan target penjualan yang ekstrem menimbulkan tekanan besar bagi karyawan dan berujung pada tuduhan penipuan dengan kerugian lebih dari 60 juta dollar AS.
Kasus Beech-Nut bahkan lebih fatal. Jus apel yang dipasarkan sebagai 100 persen murni ternyata hanya campuran air gula dan bahan kimia. Pimpinan mengetahui dan tetap mempertahankan strategi ini demi keuntungan jangka pendek. Akibatnya, perusahaan kehilangan reputasi, merugi, dan menghadapi tuntutan pidana.
Praktik serupa muncul di industri garmen ketika desain independen segera ditiru dan diproduksi massal. Sekilas menguntungkan, tetapi dalam jangka panjang justru merusak citra merek yang dianggap tidak orisinal, bahkan dicap pencuri kreativitas. Di Indonesia, publik menyaksikan manipulasi investasi di perusahaan asuransi yang berujung gagal bayar klaim dan pencabutan izin usaha. Praktik tersebut mencerminkan lemahnya tata kelola, konflik kepentingan, dan rendahnya integritas.
Kasus-kasus ini membuktikan bahwa jalan pintas yang mengorbankan etika hanya memberi keuntungan sesaat. Lynn Paine menekankan masalah semacam ini mencerminkan budaya organisasi, bukan sekadar ulah oknum. Senada, James Webster mengingatkan bahwa mengabaikan etika mungkin memberi manfaat jangka pendek, tetapi akhirnya merugikan merek.
Peduli etika
Kekhawatiran publik terhadap etika semakin kuat, terutama pada era teknologi. Beena Ammanath menggambarkan pola klasik: teknologi baru hadir, tumbuh pesat, dan masalah etika baru disadari setelah terlambat.
Contohnya, sebagian pengguna virtual reality mengalami trauma atau kecemasan setelah simulasi perang atau bencana, atau sistem algoritma AI yang terbukti bias, seperti kasus rekrutmen Amazon yang merugikan kandidat perempuan. Semua itu mengingatkan bahwa every new technology needs to earn our trust.
Ted Ladd menambahkan, generasi muda kini memiliki kesadaran yang lebih tinggi dan menuntut perusahaan untuk menunjukkan kepedulian yang melampaui sekadar penjualan produk. Contohnya, Unilever mengaitkan kampanye promosi kesehatan dengan produk Lifebuoy.
Bagi milenial dan generasi Z, perusahaan tidak cukup hanya menjual produk, tetapi juga harus peduli pada isu sosial, lingkungan, dan keadilan. Jika tidak, konsumen bisa beralih ke merek lain, karyawan berpotensi mogok, bahkan muncul boikot massal. Dilema etis kini tidak lagi sekadar urusan internal, tetapi juga menjadi sorotan publik yang dapat viral dalam hitungan jam.
Menuai keuntungan dari etika
Meski tampak menantang, bukti menunjukkan bahwa perusahaan yang berkomitmen pada etika justru menuai hasil jangka panjang. Contohnya, Blue Bird yang sempat terpuruk akibat maraknya perusahaan angkutan daring tanpa armada sendiri. Alih-alih menyerah, Blue Bird melakukan strategi coopetition dengan menjalin kerja sama dengan kompetitornya sehingga pemesanan taksi bisa dilakukan melalui aplikasi Gojek.
Pada saat yang sama, Blue Bird memperkuat armadanya dengan menambah kendaraan ekonomis, meluncurkan armada mobil listrik, serta menghadirkan aplikasi dan fitur khusus berorientasi pelanggan, termasuk layanan ramah lansia dan yang berkebutuhan khusus. Perusahaan juga tetap menekankan integritas dan standar tinggi bagi para pengemudinya.
Hasilnya, pelanggan yang menempatkan keamanan dan kepercayaan sebagai prioritas kembali memilih Blue Bird, bahkan bersedia membayar lebih mahal demi rasa aman tersebut. Dalam jangka panjang, perusahaan yang mengedepankan etika akan lebih diuntungkan. Karyawan lebih bahagia, loyal, dan termotivasi untuk bekerja dengan sebaik-baiknya. Risiko hukum pun berkurang sehingga biaya jasa legal dapat ditekan.
Lebih jauh, perusahaan dapat menghemat biaya pemasaran karena reputasi integritas itu sendiri menjadi nilai jual yang kuat. Dengan demikian, etika bisnis tidak lagi sekadar pilihan, tetapi juga bagian dari DNA perusahaan yang menopang keberlanjutan dan daya saing.
Membangun budaya beretika
Etika dipelajari melalui pengalaman dan praktik sehari-hari, bukan sekadar kode etik yang terpampang di dinding. Dengan banyak mendiskusikan kasus nyata, tempat kerja dapat menjadi semacam laboratorium moral, tempat karyawan mengasah sikap kritis terhadap pelanggaran etika yang disaksikannya.
Adam Grant menunjukkan, ketika karyawan melihat dampak nyata pekerjaannya terhadap kehidupan orang lain, motivasi prososial mereka meningkat. Hal ini memperkuat komitmen etis dalam praktik sehari-hari. Ken Sterling menyebut adanya siklus kebajikan, yaitu ketika pemimpin bertindak etis, kebijakan perusahaan menjadi sehat, hasil bisnis membaik, dan kepercayaan publik semakin kuat.
Lingkaran kebajikan ini menjaga perusahaan tetap kokoh dalam jangka panjang. Dalam hal ini, peranan pemimpin sangat krusial. Ia harus menjadi panutan dari strategi integritas, sebab tanpa keteladanan, program etika mudah dipandang hanya sebagai formalitas.
Etika tidak sekadar aturan, tetapi juga investasi reputasi yang memberikan hasil berkelanjutan bagi perusahaan.
EXPERD | HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 27 September 2025
#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #etika #bisnis