was successfully added to your cart.

JIWA KESATRIA

APAKAH kompetisi kalah menang selalu membawa luka dan prahara? Apakah pihak-pihak yang berkompetisi senantiasa harus menjatuhkan lawannya agar menang dalam kompetisi? Dalam sebuah kampanye yang dilakukan oleh McCain pada ajang pemilihan presiden Amerika 2008, ia menyatakan suatu hal yang sangat mengejutkan, yang bahkan oleh ahli politik dianggap merugikan diri sendiri.

Ketika ada seorang perempuan yang menyatakan bahwa ia tidak meyukai Obama karena menurutnya Obama adalah keturunan Arab, alih-alih memanfaatkan rasa tidak suka pendukungnya tersebut, McCain malahan mengatakan dengan tegas, “No ma’am, no ma’am, he’s decent family man, citizen that I just happen have disagreement on fundamental issues, and it’s the campaign is all about.” Meskipun para pendukungnya saat itu mencemoohnya, McCain malah merasa ia tidak mungkin mengajak pemilihnya untuk memilih dia karena alasan yang salah. Dalam dunia caci maki seperti sekarang, tampaknya sudah lama kita tidak menemui sikap kesatria seperti ini, di mana justru dalam momentum menarik simpati, seseorang bahkan memuji pesaingnya dan mengambil risiko simpati tidak jatuh ke tangannya.

Demam pilkada dengan segala dramanya rupanya masih belum berakhir. Demo buruh yang dilakukan pada 1 Mei kemarin dan berakhir dengan aksi pembakaran bunga membuat kita bertanya-tanya, apa salahnya bunga-bunga tersebut? Mengapa urusan dikirimkannya karangan bunga kepada pihak yang telak-telak kalah saja, oleh sebagian orang tak bisa diterima secara legowo. Biarkanlah si kalah terhibur dan mendapatkan simpati dari para pengikutnya. Bukankah ini adalah budaya kekeluargaan yang telah diajarkan oleh nenek moyang kita semenjak dulu? Andaikata si kalah membeli dan membayar karangan bunga buat dirinya sendiri pun, apalah kerugian yang bisa muncul dari tindakan tersebut? Toh, kekalahan tidak bisa diputarbalikkan.

Kita menyaksikan banyak contoh di mana keciutan juwa justru semakin banyak. Mengapa kita tidak bisa menerima kekalahan atau mengakui kelebihan orang lain? Bukankah sebagi pemimpin kita diharuskan mempunyai alam pikir yang jernih, yang dibutuhkan untuk melihat suatu permasalahan? Sehingga ia tidak seperti orang buta yang salah mendeskripsikan gajah bagaikan sebuah tali hanya karena ia sedang memegang ekor gajah. Bagaimana bila ia tidak bisa menangkap suatu isu secara jelas, semata-mata karena hal tersebut bertentangan dengan kepentingannya. Bukankah benar, kemudian salah, kemudian benar lagi itu adalah perjalanan mental yang memang harus dibekali dengan keberanian dan rasa rendah hati? Bukankah untuk menjadi besar kita harus memiliki kualitas pribadi seperti ini?

 

Berpegang pada prinsip

Dalam perjalanan hidup, banyak hal yang tidak disangka-sangka bisa terjadi  pada kita. Hal yang sudah kita rencanakan, kita hitung dan prediksi, dalam kenyataan bisa saja tidak terjadi, atau malah yang terjadi bahkan kebalikannya. Inilah kenyataan hidup. Ada kalanya kita kalah, ada kalanya kita menang. Inilah kesempatan untuk menampilkan kedewasan, berdiri dan kalau perlu menari bersama musik yang terdengar.

Petahana menunjukkan hal tersebut dengan meyakinkan kepada warganya bahwa meskipun sudah tidak menjabat nanti, ia memastikan bahwa semua program yang sudah berjalan akan tetap bisa dinikmati. Ia bahkan mengundang gubernur yang baru untuk bersama-sama menyusun APBD agar program-program dari gubernur baru nanti bisa berjalan dengan baik. Bukan menang kalah yang diperebutkan di sini, melainkan kesejahteraan wargalah yang lebih diutamakan.

Kesatria bisa meminta maaf

Saat sekarang, terlepas dari suka-tidak sukanya kita pada atasan, pemimpin, atau bahkan presiden, masyarakat menginginkan tokoh yang berkepribadian baik. Sudah lama rasanya kita tidak mempunyai tokoh panutan yang bisa kita contoh, bicarakan luar dalam. Terbayang kekecewaan sebagian orang ketika gubernur petahana salah bicara banyak orang tidak bisa memaafkannya. Beliau sudah berusaha meminta maaf, tetapi banyak yang tetap tidak bisa menerimanya. Namun kita bisa belajar dari kejadian ini. Seorang pemimpin berjiwa kesatria perlu cepat belajar dari kesalahannya dan bahkan cepat menunjukkan bagaimana ia memperbaiki diri melalui tindakan-tindakannya. Memang dibutuhkan kerendahan hati untuk mengakui kelemahan diri di depan orang banyak, dan  dibutuhkan pula kebesaran hati untuk menerima kekurangan orang lain. Orang defensif, yang tidak mengakui kesalahan bahkan menghindar, tampaknya sudah tidak memiliki tempat di hati manusia-manusia kritis dan modern. Kebiasaan untuk mencari-cari alasan sudah tidak lagi bisa diterima saat ini. Informasi sudah terlalu terbuka sehingga orang dengan mudah bisa mengecek kebenaran fakta yang dibicarakan  orang. “People want to see you own it. They want to see you say, straight up, ‘I did it and I regret having done this,”

Bersikap positif

Masyarakat kita yang sedang dipenuhi pikiran politik, sering lupa bahwa saat sekarang kita sedang harus mempersiapkan atlet-atlet kita untuk bertarung di Asian Games. Sekaligus, kita pun bisa mengkaji mental para olahragawan, yang sebetulnya lebih yakin dari golongan masyarakat mana pun bahwa kemenangan terletak pada kualitas mental dan latihan mereka  dan kalah menang adalah hal yang merupakan konsekuensi dari upayanya.

Sikap sportif ini sebenarnya bisa diadaptasi dalam kepemimpinan tanpa mengurangi atau menambah salah satu aspek pun. Mereka biasa bekerja keras dengan sasaran yang jelas. Kemenangan diperoleh sebagai buah dari kerja keras karena lebih baik dari yang lain, bukan karena menjatuhkan lawan-lawannya. Hal yang juga bagus untuk dicontoh dari para atlet adalah bahwa mereka tidak pernah berhenti mempelajari gerak dan teknik lawan agar bisa mampu mengalahkannya. Bukannya mengingkari keunggulan lawannya, tetapi justru menggunakannya sebagai batu pijakan untuk memperbaiki diri. Dalam semua situasi kita memang perlu fight tanpa meninggalkan sikap kesatria.

Dimuat dalam KOMPAS, 6 May 2017

For further information, please contact marketing@experd.com