was successfully added to your cart.

DINAMIKA KELOMPOK

DINAMIKA KELOMPOK

KITA sering mengeluh betapa sulitnya menemukan kepemimpinan yang cukup “menggigit” di dalam organisasi. Kita tidak perlu membicarakan pemimpin tingkat negara. Dalam kelompok kecil pun, katakanlah 15 sampai 20 orang, kita sering menjumpai kurangnya komunikasi satu sama lain, tidak ada sambung rasa di antara mereka.

Banyak di antara kelompok-kelompok ini berkinerja baik. Artinya, tidak ada tugas yang tidak diselesaikan, apalagi yang berkaitan dengan kepuasan pelanggan. Namun demikian, bila kita telaah lebih dalam, terasa betapa kurang adanya api dalam semangat kerja berkelompoknya. Artinya, hal-hal yang berkaitan dengan emosi, seperti rasa empati dan simpati, tidak berkembang di lingkungan kelompok.

Dari sini kita bisa membaca bahwa kelompok bisa saja berkerja sama dalam tugas karena masing-masing individu memang memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk penyelesaian tugas tersebut. Namun, belum tentu ada keterlibatan individunya yang bisa menghasilkan inisiatif dan inovasi. Kita bisa bayangkan betapa sulitnya manajer kelompok menguasai anggota kelompoknya bila perasaan tidak dilibatkan di situ. Tidak menyadari bahwa anggota kelompoknya sedang tidak berbicara dengan anggota yang lain atau bahkan dengan manajer itu sendiri. Bisa juga tidak tahu bahwa anggota kelompoknya sedang galau dan tidak bisa memfokuskan perhatian ke pekerjaannya.

Hal-hal seperti ini mungkin untuk jangka pendek tidak mengganggu kinerja kelompok. Namun, tentunya akan sulit untuk membuat kelompok going extra mile, berpikir lebih jauh menembus batas-batas dari apa yang dimiliki selama ini. Sudah lama nampaknya kita berkutat pada kinerja pemimpin dan kelompoknya, tetapi tidak sampai menelaah perasaan anggota-anggotanya secara mendalam.

Pada 1946, ahli Psikologi Sosial Kurt Lewin mengembangkan konsep dinamika kelompok. Bahkan, Lewin menggunakan istilah sensitivity untuk empati, yaitu kemampuan individu untuk meraba rasakan perasaan dan pikiran orang lain yang pasti berbeda dengan pendapatnya sendiri. Pelatihan sensitivity dikembangkan agar para peserta dapat meningkatkan kesadaran dan perasaan terhadap reaksi-reaksi emosional dalam dirinya sendiri dan orang lain beserta konsekuensinya.

Selanjutnya, anggota kelompok bisa melihat dan mengembangkan nilai pribadinya dan menyesuaikan dengan sasaran yang ingin dicapai kelompok. Workshop sejenis ini berkembang terus sampai beberapa decade, tetapi kemudian mulai dikalahkan oleh berkembangnya individualisme, yang berusaha melihat kinerja orang per orangnya dan bukan per kelompok lagi. Orang mulai memfokuskan perhatian pada penilaian karya individual, coaching dan pelatihan, sementara dinamika kelompok sudah ditempatkan pada prioritas yang lebih rendah. 

Pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kerja kelompok lebih difokuskan kepada output semata. Bahkan, kemudian timbul semacam spirit di mana getting the jobs done lebih penting daripada hubungan antarmanusia. Sehingga, individu yang sanggup mencetak kinerja yang signifikan dihargai semakin tinggi. We, as a culture, are hooked on individual accountability.

Dengan semakin kuatnya produk-produk artificial intelligence, manusia dipermudah pekerjaan dalam banyak hal. Justru inilah saat kita kembali memperhatikan kekuatan perasaan dan empati individu. Hal ini tidak bisa dipelajari dengan pelatihan-pelatihan outbound yang populer itu. Kita perlu memfasilitasi manajemen konflik dan pengambilan keputusan dan mengajak setiap individu dalam kelompok tidak saja memikirkan dirinya sendiri, tetapi juga cara berkolaborasi dan berkomunikasi secara tulus demi kepentingan kelompok.

Mempraktikkan dinamika kelompok positif

Kita sebenarnya bisa merasakan bila kelompok berdinamika positif. Di sana setiap anggota kelompok bisa berkomentar apa saja, pengambilan keputusan terjadi secara kolektif dan masing-masing anggota kelompok peduli terhadap kinerja temannya. Bahkan, hasil penelitian mengatakan bahwa kelompok yang berdinamika positif dua kali lebih kreatif dari kelompok rata-rata.

Sebaliknya, dalam kelompok yang berdinamika negatif, anggotanya sedikit demi sedikit merongrong kinerja kelompoknya. Bisa saja pengambilan keputusan melambat, atau bahkan memilih keputusan yang salah, karena proses semacam brainstorming tidak dijalankan dengan cerdik. Dinamika negatif ini bisa disebabkan kepemimpinan yang lemah, lambat, bahkan salah dalam mengambil keputusan. Ataupun kelompok yang tidak bisa memilih jalannya sendiri karena menunggu keputusan dari otoritas yang lebih tinggi. Memang ada anggota kelompok yang sulit, seperti terlalu agresif, pesimis, terlalu menarik diri ataupun tidak pernah serius. Ada juga anggota kelompok yang hanya memikirkan dirinya sendiri, hanya berkinerja sesuai porsinya.

Banyak sekali pemimpin kelompok yang menyadari tentang hal ini, tetapi tidak merasakan sense of urgency untuk membenahi kelompoknya. Seorang pemimpin perlu mengupayakan “tahu, mampu, dan mau” anggota kelompoknya secara seimbang. Pemimpin kelompok juga perlu mempelajari dan mengenali peran-peran informal yang bisa tumbuh dalam kelompoknya, meredam yang negatif serta menghidupkan yang positif. Ia pun perlu menyadari apakah ia sudah menjaga keseimbangan pendekatannya sendiri terhadap anggota-anggota kelompoknya. Ia juga perlu mengulas kembali: apa masalah yang dihadapi masing-masing anggotanya, apa hasil dan sasaran yang sebenarnya diharapkan dan mengapa hal itu penting menurut mereka.

“Pay attention”

Dengan sangat pentingnya perilaku berkelompok di zaman digital ini, pemimpin benar-benar perlu mengasah kepekaan, mengenali anggota kelompoknya secara individual dan mempelajari persepsi mereka. Siapa yang butuh perhatian lebih dan siapa yang senang menyendiri. Jeli mengenali siapa yang bersikap tulus, siapa yang bersikap “dua muka”. Target dan tuntutan perusahaan maupun pelanggan yang kian menantang sering membuat kita lupa pada proses internal dalam kelompok. Jangan sampai kita menyesal karena tidak menggarap dinamikanya lebih intensif sebelumnya.

Diterbitkan di Harian Kompas 9 Februari 2019.

For further information, please contact marketing@experd.com