was successfully added to your cart.

SENI MENGELOLA ATASAN

SENI MENGELOLA ATASAN

Kita tentu pernah mendengar “sindiran aturan” di tempat kerja: nomor satu, atasan selalu benar; nomor dua, bila atasan salah, lihat aturan nomor satu. Lelucon ini bisa jadi berasal dari realita dunia kerja, bahkan menjadi budaya yang berlaku di banyak organisasi.

Akibatnya, banyak keputusan buruk yang berjalan terus tanpa ada yang berani mengoreksi. Banyak ide hebat yang tetap dipendam karena merasa berlawanan dengan pemikiran atasannya. Anak buah pun frustrasi karena merasa melakukan pekerjaan yang tidak bermanfaat akibat keputusan yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.

Dengan perubahan secepat saat ini, mengandalkan hasil pemikiran satu orang hanya karena ia berada di posisi otoritas sebenarnya sangatlah merugikan. Kita melihat bagaimana keputusan-keputusan yang diambil pejabat negara yang dikelilingi oleh bawahan yang cuma menurut saja, berpotensi merusak stabilitas ekonomi. 

Sayangnya, di ruang-ruang organisasi, hal itu pun tidak asing. Betapa sering karyawan menyaksikan atasan bertindak semaunya, membuat kebijakan tanpa masukan, mengubah prioritas seenaknya, hingga meminta tim untuk mengejar target yang tak masuk akal.

Di sinilah peran keterampilan yang sering diabaikan, bagaimana mengelola atasan kita. Mengelola atasan bukan berarti melawan mereka, bukan pula untuk ABS (asal bos senang) alias menjilat dengan sekadar menyajikan minuman kesukaan mereka. Mengelola atasan atau managing up merupakan seni mengelola hubungan secara strategis dengan mereka yang memiliki kekuatan posisi lebih besar dari kita. Caranya dengan mengelola komunikasi yang cerdas dengan menavigasi ego yang kadang rapuh, tetapi penuh kuasa.

Mereka yang memiliki posisi lebih besar dari kita bukan hanya atasan. Kita mengenal yang disebut stakeholder. Ada klien, kolega dari divisi lain yang dibutuhkan untuk pekerjaan kita, termasuk atasan dari divisi yang berbeda. Beraliansi dengan divisi lain atau pimpinan mereka bukan ditujukan untuk membuat kelompok melawan atasan. Membangun hubungan ini penting bagi kesuksesan pekerjaan kita yang berarti juga kesuksesan organisasi.

Sulitnya bicara ke atas

Menurut neurolog Joel Salinas, interaksi dengan figur otoritas memicu respons stres dalam otak. Ia mengaitkannya dengan pengalaman masa kecil ketika kita menghadapi orangtua, guru, atau figur dominan lain. Dalam situasi ini, jantung berdebar, tubuh menegang, dan otak pun menjadi sulit berpikir jernih. Ini membuat kita cenderung memilih diam, menghindari situasi yang tidak nyaman ini.

Melody Wilding, penulis buku Managing Up, juga mengatakan, sebagian besar dari kita dididik untuk menghormati otoritas, bukan menantangnya. Oleh karena itu, tak heran banyak organisasi penuh dengan karyawan pintar yang menahan pendapat, menunduk saat tahu ada yang salah, sambil diam-diam berharap atasan menyadari kesalahan mereka sendiri. Belum lagi ketika mencoba menyampaikan pendapat malah mungkin dituduh tidak loyal, tidak paham big picture, atau bahkan dianggap mau menyingkirkan atasan.

Namun, diam bukan solusi. Seperti dikatakan Robert Bordone, pakar dari Harvard Law School, “Saat memilih diam, kinerja, tidur, dan kesehatan mental Anda sendiri yang akan terdampak.” Artinya, menyampaikan pendapat dan kebenaran tidak hanya demi organisasi, tetapi juga kewarasan kita sendiri.

Kunci karier 2025

Dalam dunia kerja saat ini, mengelola atasan bukanlah keterampilan tambahan, melainkan menjadi suatu keahlian utama. Banyak ketrampilan bisa dilakukan dengan cepat oleh akal imitasi (artificial intelligence). Namun, kemampuan untuk menjalin hubungan dengan para pengambil keputusan adalah keterampilan manusiawi yang tidak bisa didelegasikan kepada mesin.

Mengelola atasan atau stakeholder membutuhkan kemampuan empati untuk memahami kebutuhan mereka, apa yang ingin mereka capai, dan bagaimana kita dapat membantu mereka. Dalam mengelola atasan, kita beralih dari pola pikir bawahan ke pola pikir kemitraan.

Ketika dapat menyampaikan ide yang menyempurnakan pekerjaan atasan tanpa membuat mereka merasa tersinggung, tentunya akan membuat kita lebih dikenal oleh mereka. Selain itu, dengan berlatih mengelola atasan, kita melatih keterampilan kepemimpinan sehingga siap ketika tiba saatnya kita harus memimpin tim.

Cara menyampaikan ketidaksetujuan

Wilding menyarankan salah satu strategi untuk mengelola atasan adalah mengevaluasi "pushback power" kita. Seberapa besar pengaruh yang bisa kita gunakan untuk mengajak atasan berpikir ulang secara efektif berdasarkan faktor-faktor, seperti masa jabatan, hubungan dengan mereka, dan keadaan organisasi.

Evaluasi kita terhadap faktor-faktor tersebut menentukan strategi pendekatan kita. Pahami situasi apakah organisasi dalam krisis sehingga semua masukan harus disampaikan cepat dan tajam atau sedang stabil sehingga kita bisa menyusun pendekatan secara bertahap?

Menggunakan pertanyaan juga merupakan strategi untuk menyampaikan sudut pandang, tetapi membuat lawan bicara tetap merasa dihormati. Kita bisa mengawali dengan beberapa pertanyaan yang mendorong mereka setuju untuk membangun suasana positif dan menurunkan sikap defensif. Wilding menyebut teknik ini sebagai micro yes, seperti bertanya, “Bolehkah saya berbagi data dari lapangan yang mungkin juga relevan?”

Kita perlu memahami gaya mereka dalam membuat keputusan. Apakah mereka membutuhkan data rinci atau cukup gambaran besar? Apakah mereka ingin diskusi atau laporan tertulis? Dengan pendekatan yang tepat, kemungkinan mereka mendengar, memahami, dan menerima masukan kita akan semakin besar.

Tidak semua perbedaan perlu diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Managing up juga berarti tahu kapan mundur, selama keputusan yang ada bukanlah sesuatu yang melanggar etika. Kadang-kadang, kita perlu membiarkan kesalahan terjadi agar kepercayaan pada kita tumbuh pada kemudian hari. Saat itu, tunjukkan bahwa kita siap membantu bukan malah bersikap menyalahkan.

Menjadi dewasa

Managing up bukan soal memperbaiki atasan, melainkan tentang memperbaiki cara kita menghadapi ketidaksempurnaan sistem. Ini tentang membentuk ruang kerja yang lebih sehat melalui komunikasi yang dewasa, tenang, dan strategis.

Jika setiap orang belajar menyampaikan kebenaran demi kebaikan, dunia kerja akan menjadi tempat yang lebih masuk akal. Tak harus sempurna. Namun, setidaknya, lebih jujur. Lebih manusiawi.

EXPERD   |   HR Consultant/Konsultan SDM

Diterbitkan di Harian Kompas Karier 3 Mei 2025

#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #seni #mengelola #atasan

For further information, please contact marketing@experd.com