was successfully added to your cart.

LEBIH HUMANIS DI ERA DIGITAL

LEBIH HUMANIS DI ERA DIGITAL

Semenjak zaman purbakala, manusia sudah bekerja. Untuk bertahan hidup, mereka harus mencari makan, air, dan tempat berlindung dari binatang buas.

DENGAN internet, komputer, dan telepon pintar, manusia saat ini lebih terkoneksi dan empowered dari sebelumnya. Kita bisa merasakan juga bahwa kita sedang ada di ujung perubahan yang lebih dahsyat lagi: transformasi digital. Dengan tuntutan persaingan, produktivitas, kreativitas dan banyaknya tekanan, setiap individu harus berpikir kembali tentang praktik-praktik yang dijalankannya.

Fokus pada “softskills”

Sekolah formal, terutama di Indonesia, masih mementingkan materi-materi seperti matematika, fisika, pengetahuan sosial, dan ilmu-ilmu lainnya yang dianggap bisa menjadi landasan berpikir untuk disuntikkan pada kognisi kita. Pendidikan mengenai nilai-nilai hidup, keyakinan, kebebasan berpikir, hubungan antarmanusia, empati yang sering disebut sebagai soft skills dianggap sebagai pelengkap atau tambahan. Pengetahuan mengenai soft skills ini tentu juga ada, namun untuk belajar, murid harus mempraktikkannya sendiri.

Jack Ma, pengusaha yang dulunya adalah seorang guru mengatakan, “I think we should teach our kids sports, music, painting, art. Everything we teach should be different from machines”. Ia menambahkan, “Robot akan menggantikan 800 juta pekerjaan pada tahun 2030.”

Namun, futuris Kevin Kelly berpendapat lain. Mesin mesin pintar akan melakukan hal-hal yang tidak disukai manusia: hal yang berulang, membosankan, kotor, dan berbahaya. Demikian juga hal-hal sulit yang terlalu menyita waktu seperti pengolahan data yang tidak terhitung jumlahnya. Artificial intelligence yang dimanfaatkan oleh mesin-mesin canggih ini, justru membebaskan dan memungkinkan kita untuk berkonsentrasi pada aktivitas-aktivitas yang memang membutuhkan kapasitas manusiawi kita, misalnya berpikir outside the box, kreatif, memperhatikan orang lain, dan praktik soft skills lainnya.

Jadi, memang banyak pekerjaan diambil alih mesin dan memberikan hasil yang lebih cepat dan akurat. Namun, akan banyak lagi pekerjaan yang tercipta bagi manusia yang memerlukan kualitas manusiawi yang canggih. Karenanya kita perlu mengembangkan keterampilan kita ke paradigma baru. Banyak ahli yang mendalami neurobased science agar otak bisa bekerja lebih cepat dan efisien. Sementara itu, potensi kapasitas kekuatan sosial dan emosional manusia masih banyak yang belum tergali.

“Human intelligence & artificial intelligence”

Apakah artificial intelligence bisa menggantikan human intelligence? Secanggih-canggihnya algoritma yang diciptakan para ahli, algoritma natural yang sudah ada di otak manusia pasti lebih besar kapasitasnya. Untuk berpikir kreatif dan inovatif, kita perlu memberdayakan rumus-rumus baru di dalam pikiran kita. Kita bisa menggunakan hasil pikiran yang lama dengan modifikasi untuk struktur yang baru. Untuk berkolaborasi pun, diperlukan emosi manusia karena kolaborasi akan lebih lancar bila empati dan simpati terlibat.

Koneksi manusia membangun “purpose” dan “passion”

Pada masa depan dengan maraknya teknologi, hubungan antarmanusia seharusnya semakin erat dengan komunitas yang semakin kuat berperan dalam dunia bisnis. Setiap individu dituntut untuk mampu menghiperpersonalisasikan alat digital yang dimilikinya dan membuat dirinya terbuka pada komunitas-komunitas yang ia butuhkan.

Kekompakan manusia sangat diperlukan untuk menembus silo-silo dalam organisasi besar. Hanya kapasitas emosi manusia yang sudah siaplah yang mampu dengan lincah melakukan human agility seperti ini. Meskipun dengan adanya ketersediaan informasi, kecanggihan teknologi, manusia memang diperkirakan tidak banyak berbicara satu sama lain secara tatap muka, manusia tetap perlu menyadari purpose dari suatu pekerjaan atau tugasnya. Ia perlu memiliki pemahaman yang sama dengan anggota tim yang lain. Saling pengertian tumbuh dari purpose yang sama. Dan, dengan purpose yang sama, passion akan tumbuh dengan sendirinya.

Menjadi futuris

Dengan berkembangnya artificial intelligence ini, kita sebetulnya memiliki fleksibilitas lebih banyak untuk mencapai sasaran dan membuat organisasi atau kelompok yang lebih agile. Tentunya proses akan dikuasai oleh sistem, tetapi bukankah itu yang kita inginkan sehingga kita bisa lebih berfokus pada pengembangan talenta dan menyelesaikan tugas dengan kualitas yang lebih baik?

Bagaimana sikap mental ini dibangun?

Pertama, kita mesti memiliki mentalitas change management yang konstan. Perubahan bukan fase, melainkan sebuah center of excellence. Perusahaan-perusahaan masa depan sudah menganggap kultur perubahan sebagai gen yang berada dalam DNA-nya.

Kedua, kita perlu mempelajari cara berempati secara canggih. Tidak bisa lagi berpatokan dengan apa yang kita pikirkan, rasakan, dan bayangkan. Kita harus cepat menangkap outlier thinking. Bila tidak, kita tidak bisa membayangkan bentuk dan jenis pasar masa depan. Bagi kita yang belum terbiasa mendalami para pelanggan dan stakeholders, perlu upaya dan investasi yang cukup besar untuk membiasakannya. Kesempatan tidak akan terlihat kalau kita tidak memiliki kebiasaan dan orientasi ini.

Ketiga, untuk menghadapi masa depan, kita tidak bisa bermental “asal mengalir” atau mengikuti arus saja. Kita perlu membiasakan diri menggambar visi kita di masa depan. Visi merupakan artikulasi dari harapan-harapan kita pada masa depan untuk mengkonkretkan impian itu. Percepatan perubahan yang sedemikian kuat bisa membuat kita terguncang bila kita tidak membiasakan berfokus pada visi kita. We will finally have created a world in which we set free the pure passion of every human heart. We will be the labour of love.

Diterbitkan di harian Kompas Karier, Sabtu 14 September 2019.

#experd #expert #experdconsultant #lebihhumanisdieradigital #humanis #digital #eradigital

For further information, please contact marketing@experd.com