was successfully added to your cart.

TUNA-EMPATI

TUNA-EMPATI

Kita tertegun melihat anggota dewan memperjuangkan penyesuaian gaji dan tunjangan rumah mereka dengan angka yang fantastis di kala rakyat masih berjuang mengisi perut, bahkan guru-guru yang mengabdi bertahun-tahun masih berstatus sebagai honorer.

Penguasa, pembuat kebijakan, mereka yang berperan sebagai wakil rakyat, seperti sudah mati rasa, tidak bisa mendengar jeritan orang-orang yang berdesakan di kereta, di pasar, tidak tergugah melihat sekolah roboh, dan tetap tenang meski harga kebutuhan pokok melonjak tak terkendali. Bahkan, ada pejabat dengan santai berkata, “Kalau mahal, ya makan singkong saja.” Gejala tuna-empati ini sungguh meninggalkan luka kolektif.

Di tengah situasi yang sulit, memang ada pejabat yang hadir, lengkap dengan rombongan kamera yang menyoroti wajah penuh keprihatinan mereka. Mereka meninjau, menjanjikan bantuan, lalu pergi. Warga menanti tindak lanjut, tetapi tak jarang harus menelan kenyataan bahwa itu semua cuma janji. 

Pola yang sama juga bisa terjadi dalam dunia korporasi. Manajemen dengan tenang berganti mobil mewah, padahal baru memberikan pengumuman kondisi keuangan perusahaan yang buruk sehingga harus melakukan PHK karyawan.

Tuna-empati adalah penyakit sosial yang berbahaya. Ketika pejabat publik atau pemimpin perusahaan kehilangan empati, rakyat dan karyawan merasa ditinggalkan. Kesenjangan rasa melebar. Penguasa berbicara dengan bahasa angka, rakyat mendengar dengan bahasa perut. Yang satu merasa tidak dihargai pekerjaannya, yang lain merasa diabaikan.

Rasa percaya hilang ketika empati tidak hadir. Tanpa fondasi kepercayaan ini, apa pun yang dibangun di atasnya akan rapuh. Tumbuhlah sinisme kolektif. Masyarakat menjadi apatis, tidak bersemangat, dan pesimistis. Budaya gotong royong yang selama ini menjadi identitas bangsa perlahan terkikis.

Tanpa empati, keputusan hanya dilihat sebagai angka di kertas: berapa persen pertumbuhan, berapa miliar anggaran, berapa proyek selesai. Padahal, di balik angka itu ada petani yang gagal panen, mereka yang masih menganggur karena terkena PHK, anak sekolah yang harus berjuang untuk sekadar hadir di sekolah. Buya Syafii Maarif pernah mengingatkan, “Kemanusiaan itu lebih tinggi dari politik. Jika politik tidak berpihak pada kemanusiaan, ia akan kehilangan arah.”

Dalam era teknologi seperti sekarang ketika banyak interaksi manusia kian tereduksi, kita semakin mudah melupakan pentingnya empati. Penulis buku Topher McDougal mengatakan, ketika AI mengatur ekosistem, ekonomi, dan institusi dengan sistem teknologi yang kompleks, manusia menjadi jaringan pengikat yang membangun makna dan jangkar emosional di dunia yang semakin otomatis.

Dengan demikian, empati dan kreativitas menjadi semakin berharga karena ini adalah kekuatan yang belum dapat direplikasi oleh mesin. Ini adalah kapasitas yang menyatukan organisasi dalam situasi yang terus berubah, bagaimana tim membangun kepercayaan, bagaimana organisasi memproses ketidakpastian, dan bagaimana manusia tetap membumi saat sistem tumbuh melampaui pemahaman kita.

Empati, keterampilan mutlak pemimpin

Dengan kondisi seperti ini, empati menjadi syarat mutlak, bukan pemanis sekadarnya. Kabar baiknya, empati adalah keterampilan yang bisa dipelajari, dilatih, bahkan diukur. “Empati dalam tindakan diwujudkan melalui pertanyaan yang kita ajukan, cara kita mendengarkan, dan kualitas perhatian yang kita berikan.

Jadi, empati bukan soal menangis bersama rakyat kecil, melainkan bagaimana kita mendengar dengan sungguh-sungguh, bertanya untuk lebih memahami agar dapat mengambil keputusan dengan mempertimbangkan kemanusiaan bukan sekadar angka.

Menjadi empati tidak berarti harus ikut larut dalam perasaan pihak lain, tetapi bagaimana kita justru bisa memahami dari perspektif orang lain. Pemahaman yang kuat membuat kita dapat mengerti mengapa seseorang berespons dengan cara tertentu meskipun kita tidak setuju dengan cara tersebut.

Di banyak organisasi besar, para management trainee menjalani penempatan di berbagai departemen yang berbeda agar mereka memahami proses bisnis serta kesulitan di masing-masing departemen. Mereka diharapkan mengembangkan wawasan yang lebih komprehensif sehingga dapat membuat kebijakan yang tepat bagi kepentingan berbagai pihak ketika kelak mereka menjadi pemimpin.

Bayangkan bila pejabat datang ke desa tidak hanya untuk berpidato, tetapi juga duduk berdialog dan mendengarkan dengan tulus permasalahan warga. Tidak perlu pura-pura bersimpati bisa merasakan kesulitan warga karena kenyataannya sungguh sulit merasakan rasa sakit yang diderita orang lain ketika kita dalam keadaan sehat. Namun, kita bisa menunjukkan kesediaan untuk mendengar tanpa menghakimi, tanpa menunjukkan bahwa kita lebih tahu. Betapa besarnya perubahan rasa percaya rakyat terhadap pemimpinnya.

Sembuhkan diri sendiri

Kepemimpinan yang empati bisa sangat melelahkan secara emosional. Empati membuat pemimpin menyerap pasang surut emosi setiap orang yang dipimpinnya, “hujan” kecemasan, kemarahan, keraguan diri, ketakutan, kebingungan, kegembiraan, dan banyak lagi.

Sebuah survei dari Future Forum pada 2022 menemukan, para manajer menghadapi lebih banyak kelelahan dibandingkan pekerja tingkat lainnya. Ibarat dokter yang bekerja terus menerus menyembuhkan orang lain hingga lupa pada kesehatan dirinya sendiri, “Kasih sayang mengikat, tetapi berbagi membutakan.”

Empati sebenarnya mencakup berbagai cara kita terhubung dengan orang lain. Empati emosional atau simpati mengarah pada penyerapan terhadap perasaan orang lain; sementara kepedulian empati melibatkan keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain. Dalam bersimpati, kita ikut menangis ketika mendengarkan kesulitan pihak lain; sementara dalam kepedulian empati kita memikirkan cara untuk membantunya keluar dari kesulitan.

Seorang dokter yang tinggi kepedulian empatinya bisa menangani pasien yang terluka parah dengan tetap tenang dan cekatan di tengah kepanikan orang-orang di sekelilingnya. Dalam situasi sulit, kepedulian empati rendah simpati lebih efektif untuk menyelesaikan masalah tanpa menghabiskan energi. Namun, simpati untuk berbagi kebahagiaan dan menularkan semangat positif yang memberi energi baru.

Pemimpin yang ingin memupuk daya empatinya perlu mengatur akuntabilitasnya agar tetap berbasis empati. Ia perlu memeriksa semua dampak kebijakannya sampai ke golongan yang paling rendah sekalipun.

Empati bukan kelembutan yang melemahkan. Ia adalah kekuatan yang menyatukan, membangun kepercayaan, dan membawa bangsa keluar dari krisis.

EXPERD   |   HR Consultant/Konsultan SDM

Diterbitkan di Harian Kompas Karier 13 September 2025

#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #eksistensi

For further information, please contact marketing@experd.com