was successfully added to your cart.

BERJALAN DALAM GELAP

BERJALAN DALAM GELAP

Dalam pelatihan yang sering diselenggarakan Experd, terdapat aktivitas kami mengajak para peserta membuat tugas bersama dalam keadaan mata tertutup. Walaupun masih bisa berkomunikasi dan menggunakan indera lainnya, ternyata kondisi mata tertutup ini membuat peserta sulit memahami posisi dirinya, apalagi untuk mengarahkan teman sekelompoknya.

DI sini, kita bisa melihat bahwa memimpin dalam gelap memang sangat sulit. Bagaimana bisa seorang pemimpin mengarahkan anak buahnya, sementara ia sendiri pun tidak pasti arah yang mau dituju. Akibatnya, pengarahan bisa terasa asal-asalan sehingga membuat kebin­gungan di antara anggota kelompok­nya. Dalam kondisi nyata, banyak hal memang tidak bisa ditebak, tetapi tugas tetap harus terlaksana, bahkan dengan tenggat yang sudah ditentu­kan.

Di media kemarin, kita lihat begitu ramainya komentar mengenai Nadiem Makarim, menteri termuda yang dipasrahi pengelolaan Kementerian Pendidikan Kebudayaan dan Pendidikan Tinggi. Banyak yang meragukan kapabilitasnya dan menganggap bahwa beliau buta dengan isu-isu di kependidikan mengingat minimnya pengalaman beliau di bidang tersebut. Apa yang harus dilakukannya dalam situasi gelap seperti ini?

Banyak di antara kita yang kemu­dian menghindari keputusan-kepu­tusan berisiko besar alias bersikap wait and see. Semua pengeluaran ditahan. Sementara itu, ketegangan dan kecemasan ini pun menciptakan keresahan yang berujung sikap nega­tif seperti mengutarakan kritik yang tidak berdasar dan tidak produktif. Namun, kita perlu mengingatkan diri sendiri tidak mungkin diam ber­pangku tangan saja. Banyak perusa­haan yang berhasil sukses dalam situasi yang tidak menentu ini. Para pemimpin terbaik bisa menemukan jalan untuk menembus ketidakjelas­an dengan terus maju, membuat arah yang jelas, dan berkomunikasi dengan bawahan.

Para ahli memiliki beberapa saran bagaimana kita perlu bersikap dalam kondisi yang tak jelas ini.

Ambil tindakan pragmatis

Beberapa pemimpin yang berha­sil mengatakan bahwa strategi mere­ka adalah tetap melakukan tindakan dengan arah yang realistis dan ber­komitmen menjalankannya. Walaupun demikian, strategi tidak bisa dibuat segamblang-gamblangnya. Jim Collins dalam bukunya Built to Last juga menceritakan bahwa “keep going” adalah suatu strategi untuk mempertahankan jalannya perusa­haan. Doing something, anything, in support of your company’s success makes you and your team feel better than doing nothing.

Terkadang, karena rasa khawatir yang berlebihan, kita sering lupa pada inti bisnis sehingga tidak sem­pat memikirkan nilai tambah apa yang masih bisa dikerjakan. Kita bah­kan sering melupakan harta kita yang paling penting yaitu clientele kita. Kita perlu bertanya pada diri sendiri, sudahkah mempelajari pelanggan lebih mendalam?

Kita juga bisa kembali ke visi dan misi. Apakah perlu di-refresh agar lebih tepat dengan situasi sekarang sehingga setiap anggota kelompok juga menjadi lebih jelas dengan arah perusahaan. Bagaimana kita bisa berkinerja faster, better, dan smarter?

Kita pun tak boleh enggan mengambil risiko. Bagaimana kalau keadaan tak jelas ini terjadi selama-la­manya? Apakah kita mau berdiam diri sampai kehabisan sumber daya dan tenaga? Kita perlu melakukan taruhan cerdas dengan memper­hitungkan dinamika yang lebih berdampak positif bagi perusahaan dan menghentikan tindakan yang merugikan.

Kita tidak bisa lagi membuat strategi jangka panjang seperti dahu­lu dan berpegangan erat-erat pada-nya apa pun yang terjadi di luar sana. Kita hanya bisa membuat strategi jangka pendek, Yang perlu segera dicoba bila merasa sudah menemu­kan potensi solusi. Operate in sprints: Embrace short-term strategies. Kita tidak bisa lagi bermewah-mewah dengan waktu. Mengapa menunda urusan yang bisa diselesaikan hari ini? Mengapa menjadwalkan sebulan untuk pekerjaan yang bisa selesai dalam seminggu?

Pelihara emosi

Dalam keadaan uncertain ini, kita mudah sekali terpancing emosi. Segala yang tak jelas, membuat rasa aman kita terancam. Kita juga me-ngerti bahwa berdiam di comfort zone pada saat seperti ini merupa­kan kesalahan. Oleh karena itu, kita pun perlu berstrategi mengaman-kan emosi.

Pertama, kita perlu bersikap lebih proaktif. Yang jelas, bergerak bisa lebih meredakan emosi. Selain itu, pada saat seperti ini, kita perlu belajar mendengar tentang beragam hal. Dari yang dirasa tidak penting, sampai yang memang terkait dengan diri kita. Dari gosip sampai berita yang faktual, dan tentunya juga dari berbagai kalangan. Kita butuh informasi sehingga bisa lebih cepat mendapatkan wawasan, konteks dan kejelasan. Hal ini akan mem­buat sense making dari kejadian-kejadian di seputar kita menjadi lebih tajam.

Kita juga perlu mengenali, mengakui, dan mengarahkan emosi kita. Kita tetap harus tampak te-nang walaupun emosi bergejolak. Oleh karena itu, kita benar-benar perlu berkawan dengan emosi, bisa mengendalikan dan menyalurkan-nya dengan baik. Komunikasi ter­buka mengenai emosi karenanya menjadi sangat penting.

Belajar dari disiplin ilmu lain

Inilah saatnya kita belajar dari orang lain, apakah itu ahli dari bidang ilmu lain, atau bahkan kom­petitor sekali pun. Kita bisa terka-get-kaget bila sedikit saja melebar­kan sayap aktivitas sehari-hari kita ke divisi lain atau ke perusahaan lain. Di sana, kita bisa belajar tidak hanya praktik-praktik mereka, teta­pi juga cara pikirnya. Dengan demikian, pikiran kita pun akan lebih terbuka dan bisa memperbesar kemungkinan kita mendapat pencerahan tentang: what to do next?

Diterbitkan di harian Kompas Karier, 2 November 2019.

#experd #expert #experdconsultant #berjalandalamgelap #berjalan #dalam #gelap

For further information, please contact marketing@experd.com