was successfully added to your cart.

Kesalahan Klasik Petugas Frontline

Dalam artikel ini saya akan menguraikan beberapa kesalahan yang ‘tipikal frontliner’ atau kerap dilakukan oleh petugas frontline. Data ini saya peroleh terutama melalui pengalaman dan observasi saya sepanjang menjadi pelanggan dan juga dari pengalaman saya selama menjalankan profesi sebagai trainer di bidang soft skills.



Beberapa kesalahan klasik yang saya cermati dari para petugas frontline:



  1. Berpikir bahwa senjata utama petugas frontline adalah ‘Problem Solving’, bukan Mendengar.

Pada kesempatan pertama pelanggan bertemu dengan petugas frontline, kebutuhannya yang utama adalah didengarkan bukan diselesaikan masalahnya. Mendengar adalah titik pertama dari penanganan keluhan, sedangkan problem solving adalah titik terakhir. Jika petugas frontline kurang trampil dalam mendengarkan keluh kesah pelanggan, maka biasanya, pertama, pelanggan akan meningkat intensitas emosinya, mungkin yang hanya dari kecewa kemudian menjadi marah. Yang kedua, problem solving yang ditawarkan petugas frontline akan kurang efektif/mengena pada sasaran karena ada data-data yang tidak ditangkap dengan baik dari pelanggan. Akibatnya tentu saja waktu pelayanan akan menjadi lebih time-consuming. Prinsipnya: tidak semua pelangan ingin diselesaikan masalahnya (mungkin karena ia tahu masalahnya sudah tidak mungkin untuk diselesaikan) tapi semua pelanggan, ingin didengarkan.




  1. ‘Jump into Solution’

Cepat-cepat lari ke solusi adalah bentuk kesalahan klasik lain yang kerap dilakukan petugas frontline. Hal ini membuat value adding dari sebuah interaksi pelayanan menjadi minim. Sesungguhnya, sebelum menawarkan sebuah solusi, petugas frontline dapat lebih dulu menyapa pelanggannya dengan hangat, mendiskusikan sesuatu yang di luar konteks pekerjaan untuk mengakrabkan hubungan atau menyatakan rasa prihatinnya terhadap masalah yang dialami pelanggan. Dengan demikian kesan positif yang tertanam di benak pelangan akan semakin kuat. Ujung-ujungnya, pelanggan tidak hanya puas, tapi bisa menggiringnya untuk melakukan repeat order/buying.




  1. Ekspresi Empatik dan Small Talk hanya memakan waktu

Terkadang petugas frontline lupa bahwa tujuan dari pelayanan sebenarnya adalah ‘menciptakan rasa nyaman dan happy saat bertransaksi’.Tidak sedikit petugas frontline yang menargetkan durasi waktu tertentu dalam setiap interaksi dengan pelanggan. Semakin banyak pelanggan yang dtangani, maka berarti kinerjanya semakin baik. Tidak ada waktu untuk ber-empati, apalagi melakukan small talk. Padahal dengan melakukan hal-hal tersebut di atas, relationship yang lebih menyenangkan antara pelanggan dan petugas frontline akan dapat dengan mudah tercipta. Keuntungannya akan kembali lagi kepada petugas frontline dan perusahaan sendiri. Pelanggan yang merasa dihargai dan diperhatikan akan datang dan datang lagi, bahkan walaupun masalahnya tidak dapat diselesaikan. Mengapa demikian? Karena bila pelanggan sudah memiliki kedekatan emosional dengan perusahaan tertentu ataupun dengan para personilnya, maka zona toleransinya terhadap kekurangsempurnaan akan semakin lebar.




  1. Mengarahkan kemarahan dan komplain pelanggan ke diri pribadi

Tentunya kita sering mendengar kalimat: “Jangan masukin hati..” Terdengar klise, namun anjuran ini agaknya perlu dipegang teguh oleh setiap petugas frontline. Tidak sekali dua kali saya menyaksikan petugas frontline kehilangan kontrol diri ketika menghadapi pelanggan yang marah-marah. Menurut analisa saya, hal ini terjadi karena petugas frontline mengarahkan amarah pelanggan sebagai serangan pribadi terhadap dirinya. Padahal yang terjadi sebenarnya tidaklah demikian. Pelanggan marah dan kecewa kepada perusahaan, bukan kepada diri pribadi petugas frontline. Hanya, karena fungsinyalah sebagai petugas frontline maka tentu saja ia menjadi ‘sasaran’ pertama kemarahan pelanggan. Dengan menanamkan hal ini di mindset, saya yakin para petugas frontline akan dapat me-manage emosinya dengan lebih baik.




  1. Mengatasnamakan Prosedur sebagai alasan ‘tidak dapat membantu lebih jauh’

Ketika pelanggan meminta sesuatu sedikit di luar prosedur standar, maka kebanyakan petugas frontline dengan otomatis akan berkata: “Maaf Pak/Bu, prosedurnya tidak bisa demikian.” Hasilnya, pelanggan semakin merasa diperlakukan tidak adil dan kecewa. Yang lebih fatal lagi akan berpaling kepada perusahaan lain yang dapat memberikan fleksibilitas lebih kepada pelanggannya. Seorang petugas frontline perlu memiliki jiwa helpfull untuk dapat mengatakan: “Baik Pak, saya akan coba menjajaki dulu dengan atasan saya.” atau “Baik Bu, dari segi prosedur sebenarnya saat ini belum bisa, namun karena kasus Ibu emergency, maka saya akan berusaha membantu lebih jauh.” Tipsnya, bila Anda seorang petugas frontline dan Anda terbentur prosedur, maka berpikirlah untuk mengusahakan sebuah kebijakan. Terlebih, bila sesuatu yang diminta oleh pelanggan adalah sesuatu yang masuk akal.




  1. Meminta Maaf kepada Pelanggan berarti Mengaku Salah.

Sudut pandang ini membuat petugas fronline menunda permintaan maafnya sampai masalahnya sudah benar-benar tergambarkan dengan jelas, dalam arti pihak mana yang bertanggung jawab terhadap masalah pelanggan, apakah pihak perusahaan atau pihak pelanggan sendiri. Padahal sesungguhnya, makna permintaan maaf di telinga pelanggan bukan berarti Mengaku Salah, tapi berarti petugas fronline turut prihatin terhadap masalah yang dialami pelanggan , terlepas dari sumber masalahnya ada di pihak mana. Dari banyak kejadian yang saya alami, petugas fronline yang terlatih untuk spontan mengucapkan kata ‘maaf’ sejak awal pembicaraan, akan dapat mengendalikan emosi pelanggan dengan lebih efektif. Bagi pelanggan, permintaan maaf yang tulus, seperti disiram air sejuk di tengah padang pasir.




  1. Berjanji kepada pelanggan berarti ‘bunuh diri’

Sudut pandang ini terjadi karena, pertama, petugas frontline yang bersangkutan membayangkan ‘skenario kegagalan’. “Bagaimana kalau ada masalah?” “Bagaimana kalau sistemnya tidak berfungsi?” Dan ‘bagaimana kalau’ lainnya yang konotasinya pesimis. Mengapa tidak kita ubah saja sudut pandang kita ke ekstrim yang positif? Misalnya, “Bila saya berhasil nanti, pasti pelanggan akan sangat berterima kasih kepada saya.” “Bila berhasil nanti, atasan saya akan melihat kelebihan saya.”, dan sebagainya. Bayangkan dan visualisasikan skenario keberhasilan, dengan sendirinya ide-ide kreatif dan energi kita akan berlipat ganda.


Yang kedua, terapkan strategi risk reversal. Kebanyakan pelanggan enggan melakukan transaksi karena ia melihat begitu banyak resiko yang harus ia tanggung. Dana sudah dipindahtangankan, produk belum tentu berhasil 100%, bila ada trouble pun apakah ada jaminan akan diselesaikan segera atau tidak. Strategi risk reversal adalah memindahkan resiko-resiko yang ditanggung oleh pelanggan menjadi beban perusahaan. Cara yang paling simple mudah saja, para atasan saya di company selalu berkata: ‘pasang badan’. Bila pelanggan melihat petugas frontline selalu ada di mejanya, siap menjadi mitra dan penolong pelanggan, apa pun yang terjadi, pelanggan akan merasa lebih save untuk melakukan transaksi.



Demikian hasil analisa dan observasi saya terhadap perilaku servis para petugas fronline. Mudah-mudahan melalui tulisan yang sederhana ini, para pembaca, khususnya Anda yang bertugas sebagai petugas frontline mendapat penyegaran yang bermanfaat.

For further information, please contact marketing@experd.com