was successfully added to your cart.

BAJU BESI YANG MENJADI BEBAN

BAJU BESI YANG MENJADI BEBAN

Setiap makhluk hidup memiliki cara masing-masing untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Tanaman putri malu menutup diri ketika disentuh, bunglon mengubah warna tubuhnya sesuai dengan lingkungan tempatnya berada, harimau menyerang siapa saja yang berani memasuki teritorialnya, dan banyak lagi cara makhluk hidup mempertahankan dirinya.

Manusia pun memiliki sistem kekebalan tubuh untuk menjaga kesehatannya. Mekanisme fight or flight juga secara intuitif tertanam dalam sistem saraf kita untuk melindungi arsitektur psikologis kita akan identitas dan harga diri. Anak-anak menangis ketika dimarahi atau saat tidak berhasil mendapatkan keinginannya.

Mekanisme itu disebut sebagai mekanisme pertahanan diri, cara tak sadar untuk menunda rasa sakit, meredakan ketakutan dan menjaga harga diri tetap utuh. Awalnya, ini adalah sistem pertahanan darurat. Namun, ketika mekanisme ini membawa hasil sebagaimana yang diharapkan oleh individu, ia dapat berkembang menjadi pola tetap yang membentuk cara kita merespons dunia.

Seseorang yang dikenal sebagai orang yang knowledgeable selalu siap dengan solusi, tempat rekan-rekannya mencari nasihat, bisa menjadi individu yang tidak mendengar ketika ada pendapat berbeda, dan bersikap agresif berlebihan untuk mempertahankan pendapatnya. Bila ditelaah, ternyata semenjak kecil ia sering dianggap lemah dan diganggu oleh yang lain sehingga cara yang ia temukan untuk menghentikan gangguan tersebut dengan bersikap “powerful”.  Inilah salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri yang disebut “reaction formation”, tanpa sadar membentuk reaksi yang berkebalikan dari apa yang dirasakan jauh di lubuk hatinya.

Banyak seniman yang mengolah rasa sakit yang dialaminya menjadi hasil karya yang menggugah. Proses ini disebut sebagai sublimasi, ketika individu alih-alih memendam justru menyalurkan perasaannya melalui berbagai media. Taylor Swift, penyanyi dan penulis lagu, mengekspresikan rasa sakitnya ke dalam lagu-lagunya. Ia berbicara mengenai penolakan, pengkhianatan, dan rasa tidak dihargai. Lirik-liriknya menjadi tempat bernaung bagi jutaan orang yang merasakan hal serupa. Ia mengungkapkan rasa sakitnya dengan cara berkarya.

Namun, tidak semua mekanisme pertahanan diri bersifat positif seperti itu. Ada yang menyangkal kenyataan, ada yang memproyeksikan perasaan ke orang lain, ada juga yang menggunakan humor sebagai tameng. Seorang teman yang selalu bercanda di tengah konflik yang dialaminya mengatakan, "Kalau enggak bercanda, saya bisa gila." Namun, lama-kelamaan, kita merasakan kesinisan dalam leluconnya karena di balik tawa ada luka yang tidak diakui.

Carl Rogers pernah menulis, "Proses pertahanan terdiri atas persepsi selektif atau distorsi pengalaman, dan penolakan terhadap kesadaran." Mekanisme pertahanan diri ini membuat kita memilih apa yang bisa kita terima dan menolak sisanya ketika kita belum siap. Ini cara agar kita tetap bisa bertahan menghadapi beragam krisis dalam hidup.

Namun, penting bagi kita untuk menyadari kapan mekanisme tersebut mulai menguasai diri kita. Apakah kita selalu merasa orang lain menyerang kita, apakah kita selalu merasa berada di pihak yang teraniaya terus-menerus. Bagaimana relasi kita dengan orang lain, apakah kita mampu membangun hubungan yang bermakna dengan orang lain?

Memilih baju yang tepat

Banyak dari kita hidup dengan benteng-benteng psikologis yang tidak terlihat, yang dibentuk sejak lama untuk melindungi diri dari rasa sakit, ketakutan, ataupun kegagalan. Mekanisme pertahanan diri ini bukanlah sesuatu yang negatif, atau penyakit yang harus dihindari. Ia justru seperti pelindung yang otomatis muncul ketika kita tidak sanggup menghadapi kenyataan.

George Vaillant menyebutnya sebagai "Mekanisme homeostasis yang tidak disadari yang mengurangi efek mengganggu dari stres mendadak." Namun, seperti baju perang zaman dahulu yang terbuat dari besi, bisa melindungi kita dari luka tusukan, tetapi bila digunakan terlalu lama bisa menjadi beban yang menghambat gerakan kita.

Brené Brown berkata, "Terkadang perisai kita melindungi kita dari rasa sakit, tetapi juga menghalangi kebahagiaan." Tidakkah tembok rumah yang kita bangun tinggi-tinggi demi alasan keamanan mengasingkan kita dari interaksi dengan tetangga? Kita sibuk menyelamatkan harga diri, tetapi lupa menikmati kebersamaan. Kita merasa aman, tapi kehilangan kedekatan.

Tentu kita tidak harus membongkar semua benteng sekaligus. Menggunakan baju yang terlalu tipis juga dapat membuat kita masuk angin. Yang perlu kita lakukan adalah menyadari karakter cuaca yang ada sehingga dapat memilih pakaian yang sesuai dengan kebutuhan. Kita bisa menata ulang, bahkan merobohkan beberapa bagian benteng yang dulu pernah berguna, tetapi kini justru menyekat hidup kita.

Kita belajar mengenali reaksi otomatis kita. Kita mencoba mengurangi satu lapis baju besi yang dipakai dan melihat apakah dunia seburuk yang kita pikir. Kita bisa bertanya apa sebenarnya yang membuat saya marah, apakah karena ada yang melakukan kesalahan atau semata-mata karena takut dianggap tidak berharga.

Kita juga perlu keberanian untuk hadir sepenuhnya, belajar mengenali diri sendiri. Tidak hanya sebagai sosok yang kuat, tetapi juga manusia yang utuh, yang memiliki kelemahan, ketakutan yang irasional, dan perlahan-lahan menyembuhkan. Karena manusia yang paling kuat bukanlah yang tak pernah terluka, melainkan yang tahu bagaimana cara merawat lukanya.

Membuka pintu pertahanan

Mekanisme pertahanan diri adalah bagian dari perjalanan pribadi kita. Ia hadir sebagai penolong, tetapi jangan sampai menjadi penjara. Jadi, mari kita rawat diri kita, pelan-pelan, dengan lembut. Dan, siapa tahu, saat kita membuka pintu sedikit demi sedikit, di sana kemerdekaan emosional  dan kedamaian itu menunggu.

Bagaimana kita bisa mulai lebih jujur pada diri sendiri?

Mulai dari self talk yang lebih terbuka. Berbicara dengan diri sendiri seolah sedang menemani seorang sahabat. Kita bisa bertanya, “Apa yang sesungguhnya saya rasakan?" Bukan untuk menghakimi, melainkan memahami.

Kedua, beri ruang bagi perasaan yang muncul, bahkan yang tidak nyaman sekalipun. Jangan buru-buru menenangkan, meredam, atau bahkan menolak. Duduklah bersama rasa itu, amati dan kenali dia sebagai bagian dari diri kita.

Ketiga, beranikan diri menghadapi situasi yang biasanya kita hindari. Mulai dari yang kecil seperti mengakui kesalahan, menerima kritik, atau mengutarakan perasaan secara jujur. Dengan langkah kecil yang konsisten, kita sedang melatih keberanian untuk hadir secara utuh.

EXPERD   |   HR Consultant/Konsultan SDM

Diterbitkan di Harian Kompas Karier 9 Agustus 2025

#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #baju #besi #yang #menjadi #beban

For further information, please contact marketing@experd.com