was successfully added to your cart.

Ada penemuan baru penyakit kesalahan persepsi, yaitu “face blind” alias “prosopagnosia”, di mana seseorang bisa melihat hidung, bibir, mata orang lain, atau dirinya di cermin, tetapi tetap tidak bisa membedakan wajah satu orang dengan yang lain. Bayangkan sedihnya kita bila tidak bisa menangkap ekspresi orang di sekitar kita dan tidak bisa mendekatinya secara individual. Sementara para peneliti sedang meneliti kelainan dan kesedihan orang yang tidak bisa melihat muka orang lain, bahkan mukanya sendiri, kita yang ‘normal’ sering sekali tidak “aware” mengenai fenomena muka, dan pentingnya muka bagi manusia. Buktinya banyak sekali orang yang mem-‘buang muka’ bila berpapasan, bukan? Ini adalah awal kesulitan kita. Bila kita berusaha memelihara muka kita secara seimbang, paling tidak kita mesti rajin melatih diri untuk berhadapan muka dengan orang lain secara benar.


 


Memelihara MUKA demi “Self Esteem”


 


Dalam pelatihan di Experd saya senang sekali membuka training dengan meminta peserta berpasangan, saling melakukan kontak mata dan kemudian tersenyum satu sama lain, me”rasa”kan wajah masing-masing. Kegiatan ini memang sangat sederhana, tetapi bila kita melakukannya, barulah kita sadar betapa otot wajah sering tidak kita gerakkan secara optimal dan betapa kita sendirilah yang  membuatnya kaku tidak berekspresi.  Kita pun bisa tidak terbiasa membaca dan berkomunikasi penuh ketika bertatap muka. Kita bisa kehilangan “moments of truth” yang sebenarnya bisa kita dapatkan melalui tatap muka.


 


Kemampuan kita bertatap muka sebenarnya bisa meningkatkan kesadaran akan keberadaan kita di lingkungan sosial. Di sebuah tempat umum, saya menyaksikan muka yang sangat tidak enak dari para “frontliners”, ketika sekelompok orang meminta servis “lebih” dengan cara kasar. Saya bisa memastikan bahwa orang-orang tersebut melakukannya tanpa menatap muka para frontliners itu dengan cermat. Kalau mereka melakukannya, mereka pasti bisa merasakan bahwa situasi yang sangat membuat para fronliner tersebut tidak “happy”, menjatuhkan muka mereka sendiri. Kita  jadi bisa mempertahankan harga diri kita sebagai individu, bila terbiasa membaca ekspresi orang lain dalam bertatapan. Inilah ruginya bila orang tidak menggunakan muka orang lain sebagai “radar”. Ia pun jadi  tidak peka dalam menjaga mukanya sendiri.


 


Jaga MUKA untuk Alasan yang Tepat


 


Fenomena muka tetap tidak sama antara Timur dan barat. Penelitian akhir-akhir ini masih membuktikan betapa budaya kolektif di Asia Tenggara masih dipentingkan, di mana orang timur masih sangat berorientasi kelompok dan tidak siap menerima dan melihat dirinya sebagai individu yang berdiri sendiri dan bertanggung jawab penuh atas perbuatan, pikiran dan perasaannya sendiri. Muka bagi orang Timur sangat dikaitkan dengan pentingnya status dan reputasi serta “apa kata orang” yang sangat mempengaruhi ambisi dan sasaran dalam berkarir maupun bersekolah. “Apa kata orang kalau kamu tidak diterima di universitas negeri, nak?”, “Apa kata orang bila kamu tidak mengambil jalur karir yang intelek?”


 


Tindakan “harakiri” di Jepang membuktikan ada keyakinan bahwa tercorengnya muka karena kesalahan diri kita atau bahkan anak buah, sering tidak bisa diampuni masyarakat. Seolah hilangnya muka, tidak bisa direhabilitasi, sehingga satu-satunya jalan adalah membunuh diri sendiri. Kita juga menyaksikan bahwa mukalah yang ditutup bila seseorang disorot kamera karena kedapatan sedang melakukan tindakan yang tidak terpuji atau sedang digiring polisi. Menjaga muka sebenarnya sama dengan menjaga nama. Ayah saya pun tidak bosan mengingatkan kami anak-anaknya, ”Kamu hanya punya satu nama, karena itu jaga dan pertahankan.”


 


Sayangnya kita sering merasa malu dan ingin menjaga muka untuk hal-hal yang aneh. Pembantu saya di rumah, selalu “mojok” dan menyembunyikan mukanya dengan badan meringkuk bila sedang makan. Bila ditanya mengapa dia bersikap begitu ia selalu mengatakan, “Malu....”. Lah, makan kok malu? Tapi itulah kenyataannya. Banyak orang di sekitar kita atau bahkan diri kita sering merasa malu secara tak beralasan. Di kantor banyak sekali perilaku yang akhirnya tidak dilakukan karena “malu”. Tidak mengajukan pertanyaan penting, tidak meminta hak pribadi, bahkan menyatakan pendapat yang berguna untuk perusahaan sering tidak dilakukan dengan alasan: “Ah, tidak ah...malu...”.


 


Mempromosikan Diri Tidak Berlawanan dengan Menjaga Muka


 


Dalam pertemuan pebisnis Jepang sering kita amati lomba “merendahkan hati”, misalnya saja dengan menempatkan gelas lebih rendah daripada lawan bicara pada saat bersulang, adu rendah dalam membungkuk memberi hormat, serta juga dalam menceritakan reputasi perusahaan. Bila tidak jeli maka kita juga akan terjebak dengan semangat “low profile” yang sebenarnya dilakukan justru untuk mengangkat “nama” dan “kaliber” perusahaan di sisi lain.


 


Sebagai profesional yang selalu bersaing dengan teman seprofesi atau bahkan profesi lain, kita tidak punya pilihan selain mempromosikan diri. Tentunya ada cara yang juga “terhormat” dan “mengangkat” muka untuk melakukannya. Tanpa kita sadari sikap “service oriented” contohnya,  yang kita lakukan dengan sikap rendah hati , sudah otomatis membuat kita menonjol dibandingkan dengan orang lain. Ringan tangan, rajin menolong, gesit melayani semua stake holder, menservis secara “all out” tidak pernah akan menghilangkan, bahkan mengangkat  muka individu.


 


(Ditayangkan di KOMPAS, 4 Agustus 2007)


 

For further information, please contact marketing@experd.com