was successfully added to your cart.

Dalam sebuah rapat, dari hati ke hati saya bertanya kepada beberapa kolega, Apa sih yang salah di perusahaan kita?“ Apa yang kurang dari diri saya?. Teman – teman ini langsung celingak – celinguk ke kiri dan kanan, lalu secara bercanda mengatakan “Ah, nanti saya dibilang cari muka”. Ada yang mengatakan tidak siap dan akan berpikir – pikir dulu. Seseorang bahkan berkata:”Wah, nanti ibu marah”.

Reaksi seperti ini membuktikan bahwa mengkritik secara terbuka di depan orangnya langsung, dengan berusaha tidak menyakitkan hati, tapi ‘get the point’, bukan hal mudah. Banyak orang memilih menghindar untuk memberi kritik, kuatir dianggap ‘musuh’ atau ‘sirik’ oleh mereka yang menerima kritik. Beberapa orang  berkomentar dan mengeluh mengenai atasan dan pimpinannya yang kurang terbuka terhadap kritik. Padahal, bila tidak ada orang yang memberi masukan dan saran mengenai perilaku, bicara, maupun sikapnya, bagaimana seorang pemimpin bisa mengembangkan dirinya lebih lanjut? Bukankah ia juga memerlukan sarana bercermin agar mendapatkan fakta yang obyektif mengenai area pengembangannya?

“My Way” vs Self Awareness

Sementara banyak perusahaan rela membayar mahal untuk bisa menikmati dan mendengarkan feedback dari pelanggan maupun karyawan, seorang teman saya malah menolak, ketika sebuah lembaga pendidikan akan menggunakan perusahaannya sebagai ‘sample’ ‘employee survey’. Ia seolah sudah tahu semua mengenai kekurangan dirinya atau organisasi. Bahkan, ia mengatakan bahwa bila ia memperoleh masukan dan kritik habis-habisan, apakah ada orang lain yang bisa menggantikan posisinya dengan lebih baik? “Buntut-buntutnya, kita jugalah yang perlu berinisiatif untuk melakukan  tindakan perbaikan yang diharapkan”, ujarnya.

Memang benar, bahwa ujung – ujungnya diri kita sendirilah yang perlu menimbang – nimbang, mana masukan yang akan kita garap. Kita sendiri yang memutuskan mana yang harus dilakukan sekarang, mana yang akan dikerjakan nanti, atau bahkan yang dibiarkan saja. Tidak semua masukan perlu dikomentari, direspons, atau dibesar–besarkan. Di mana–mana, yang namanya feedback, sedikit banyak menyakitkan bagi kita yang menerimanya. Namun demikian, jangan sampai perasaan kita terhadap masukan yang masuk, menghalangi kita untuk memanfaatkan saran atau kritik yang kita dapatkan dari orang lain.

Feedback dari Segala Arah

Jika kita terbiasa mendengar masukan hanya dari orang – orang yang dekat – dekat saja, bisa jadi kita tidak mendapatkan fakta dan ‘peta’ yang sebenarnya, bagaimana orang lain menilai kekuatan maupun kelemahan kita. Itu sebabnya mereka yang serius untuk mengembangkan diri, kita lihat sibuk mencari masukan dari berbagai arah: dari atas, bawah, kolega, bahkan pelanggan maupun vendor.

Sebuah grup perusahaan klien saya, merasa perlu untuk melaksanakannya program 360° feedback di dalam organisasinya. Setiap orang menilai dirinya sendiri lalu mendapat hasil evaluasi dari rekan kerja yang dilayani dan yang melayaninya, bawahan dan atasannya. Saat sistem ini di ‘launch’, ketegangan dipenuhi rasa curiga mewarnai pertemuan tersebut. Namun suasana berkembang positif ketika hasil sudah di tangan . “Ternyata, banyak fakta baru yang membuka mata saya. Saran yang saya dapatkan lumayan positif dan konstruktif. Saya tidak merasa terpukul, tertampar dan terhakimi, karena evaluasinya juga mencantumkan  ‘action’ yang bisa diperbaiki.” Reaksi positif seperti ini adalah cikal bakal suasana sehat dalam suatu organisasi. Bila kita bersikeras untuk menjalankannya, baik secara sistem di perusahaan ataupun secara pribadi, maka mekanisme “How am I doing?” akan dinikmati dan menjadi semacam vitamin, untuk menjaga kesehatan dan kebugaran mental.

(Ditayangkan di KOMPAS, 30 Mei 2009)

For further information, please contact marketing@experd.com