was successfully added to your cart.

Ribut-ribut mengenai produk budaya yang diaku-aku oleh negara lain tampaknya tidak berhenti sampai di sini. Pertanyaannya: Apakah upaya mempatenkan produk budaya benar-benar bisa menjawab masalah kita secara efektif? Bayangkan untuk satu daerah saja, berapa jumlah tarian dan lagu rakyat yang ada? Berapa banyak pakaian tradisional per pulau? Apa saja makanan yang betul-betul khas daerah tertentu? Dengan begitu luasnya wilayah negara kita dan jumlah pulau yang lebih dari 17.500 buah, bagaimana kita menjaga budaya dari berbagai suku bangsa, adat kebiasaan, kepercayaan serta keyakinan yang berbeda-beda? Belum lagi bila kita memikirkan masalah kebangsaan dan patriotisme.

Saya merasa tertampar, menyaksikan sebuah sekolah berafiliasi internasional yang justru memulai setiap kegiatan formalnya dengan berdiri tegak dan khidmat menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Bagaimana dengan kita? Banggakah kita saat berdiri dengan sikap sempurna dan hormat bendera? Sudahkah kita menjaga rasa kebangsaan putra putri kita dengan benar? Apakah anak cucu kita masih hafal luar kepala dan fasih menyanyikan 7 lagu wajib negara kita? Kalau keadaannya demikian, bagaimana nantinya bila negara tetangga menyanyikan lagu “Satu Nusa Satu Bangsa” sebagai “jingle” pariwisatanya?

Apakah Budaya itu?

Seorang ahli, D'Andrade (1996) menyatakan bahwa  budaya adalah produk sosial yang  tumbuh secara otomatis. Prosesnya tidak  teraga, ditransfer secara turun temurun dan merupakan sumber daya yang mewarnai kehidupan terkini kita. Kita tahu, produk-produk sosial seperti peraturan, hukum, kebiasaan-kebiasaan, sistem dan prosedur serta keyakinan-keyakinan adalah bentuk budaya. Produk yang teraga seperti berbagai bentuk arsitektur,  becak, buku, bangunan dan keris serta beribu macam artifak lainnya juga adalah hasil dari praktek-praktek kultural yang terkadang sulit ditelusuri asal usulnya, tetapi langsung bisa menggambarkan kecanggihan pemikiran, perasaan dan kemudian dibuat atau dipraktekkan saja.  

Ada seorang ahli menyamakan budaya dengan sebuah taman. Taman itu berpagar dan di luar pagar itu, budaya sudah tidak berlaku. Katakanlah sebuah keluarga yang membudayakan doa sebelum makan dan tidur, akan mempunyai kebiasaan doa yang kuat, padahal di rumah tetangga barangkali budaya berdoa itu sama sekali tidak ada. Satu langkah beranjak dari pulau Bali, kita sudah bisa merasakan hilangnya kekuatan atmosfir yang magis dari pulau tersebut. Taman yang kita miliki, bila tidak dipelihara, tidak ditata dan tidak dikembangkan tentunya akan berbentuk teritori ekologi yang tidak bisa diidentifikasikan dengan jelas, samar dan tidak bisa dinikmati.

Bayangkan tumbuhnya  industri  sepatu di Cibaduyut  yang menyebabkan satu kampung pandai dan trampil membuat sepatu berkualitas Itali. Begitu juga industri tas di desa Tanggul Angin sebelum kejadian semburan lumpur. Ini juga adalah produk budaya industri, walaupun belum berakar dan baru timbul beberapa tahun terakhir saja. Namun, bila dikembangkan terus, maka 100 tahun mendatang, orang sudah tidak bisa menelusuri kembali kecanggihan dan komplikasi pekerjaan dan fase–fase  cara pikir para pengrajin ini. Bukankah ukir-ukiran buah kayu di Bali adalah desain seorang artis penting, di dua dekade terakhir, yang kemudian dibudidayakan di beberapa kampung di Bali secara masal dan trampil? Ini membuktikan pada kita bahwa budaya, asal kita niat, bisa kita tumbuh kembangkan dan mantapkan secara lentur dan kreatif.

Bukan Sekedar Dilindungi, tapi Diperkaya

Kita tahu perkumpulan ibu-ibu orang asing belajar dan mendalami kegiatan membatik secara serius. Sekolah internasional pun sengaja mendatangkan ’mbok-mbok’  ‘dosen’ batik tulis dari Jawa Tengah untuk mengajarkan batik pada murid-muridnya. Apa reaksi kita bila anak-anak orang asing ini kemudian lebih fasih meraba, membedakan, merasakan dan menikmati  motif truntum dari kawung, parangan, sidomukti atau latar putih?

Seorang ahli mengatakan “culture is not developed. It s accumulated”. Bisa kita bayangkan sendiri bila kita sebagai rakyat Indonesia, tidak memelihara sendiri apa yang sudah pernah dikembangkan, diciptakan oleh generasi-generasi yang lalu. Mungkin kebanyakan dari kita pun akan tidak bisa mengenali yang mana kostum tarian pendet, legong keraton ataupun legong Abimanyu. Padahal yang namanya budaya, jauh dari sekedar ”knowledge’  mengenai kostum. Budaya justru terlihat pada latihan-latihan teratur di sanggar-sanggar atau bale-bale banjar dengan gamelan seadanya atau bahkan dengan suara pengajarnya saja, tetapi menggema ke seluruh lingkungan hingga menggetarkan hati dan menimbulkan rasa sakral? Bukankah sekolah-sekolah kita juga belum mewajibkan kita untuk mengenali, apalagi menguasai, menarikan, menikmati dan bahkan mengembangkannya? Berapa banyak sanggar tari Bali, Jawa atau Minang di Jakarta? Dan seberapa setia murid-muridnya mengikuti dan menikmati langgam gerak lagu sehingga pada akhirnya menjadi dosen di sanggarnya, bahkan PhD tarinya sekelas almarhum Ibu Reneng dengan tari Pendetnya?

Perlu kita sadari bahwa budaya adalah medium  dan sumber daya dalam kehidupan kita. Hanya melalui budaya kita bisa merasakan kekayaan hidup material maupun non material. Budaya yang kaya bisa kita temukan pada masyarakat yang memang berupaya memperkaya gaya hidupnya, bertata karma, berbahasa halus, berseni dan berkuliner secara canggih dan kontinu. Produk budaya baru bisa dihasilkan bila ada mediasi interaksi antara biologi, psikologi manusia dan pengalaman manusia dengan lingkungannya. Selanjutnya, produk budaya hanya bisa dinikmati bila teranyam dalam interpretasi, persepsi, penalaran dan ekspresi yang intensif. Mediatornya itulah yang sering kita sebut sebagai budayawan, arsitek, penulis lagu, koreografer, pengrajin, artis, penyair  penulis atau  penari. Bagaimana dengan kita–kita yang tidak diberi talenta  mediasi ini? Kitalah sesungguhnya yang punya peran penting untuk berkontribusi dengan mempelajari, membaca, menghargai, mengkonsumsi,  berusaha mengerti, mendalami, menghayati, memainkan, mempraktekkan, menikmatinya dan memperkenalkannya kepada generasi penerus kita, secara persisten dan “all out”.

(Ditayangkan di KOMPAS, 5 September 2009)

For further information, please contact marketing@experd.com