was successfully added to your cart.

Otak dan Watak

Saya terinspirasi oleh Profesor Arief Rachman, begawan pendidikan Indonesia. Dalam suatu acara di sebuah stasiun televisi baru-baru ini, beliau dengan cantik menyebutkan “Otak dan Watak” sebagai kriteria pejabat atau eksekutif. Dalam audisi menteri baru-baru ini, sering kita dengar ulasan mengenai pejabat-pejabat yang dikenal ‘expert’ di bidangnya. Bila ditinjau sekelebatan, segera saja kita akan terjebak pada kecerdasan, juga fenomena IQ (intelligent Quotient). Singkat kata, disimpulkan bahwa pejabat, eksekutif ataupun pemimpin yang ber -IQ tinggi adalah expert di bidangnya. Dengan IQ tinggi ia diprediksi mampu  menangani masalah pada satuan kerja yang dipimpinnya. Cukupkah itu?

Kita sama-sama menyadari bahwa dalam  mengurus sebuah departemen, direktorat ataupun divisi  di masa sekarang sudah tidak lagi kita bisa mengandalkan kapasitas birokratis dan politis  saja. SOP (standard operating Procedure) saja, jelas-jelas tidak cukup. Masalah-masalah yang dihadapi saat ini sering tidak masuk akal, bahkan tidak ada dalam pembahasan kasus di universitas Harvard sekalipun.  Etos kerja, sorotan dunia, perubahan, ke’bawel’an media serta sikap kritis masyarakat, otomatis sudah menjadi barometer kinerja kita, sehingga tuntutan ekspertis, kepintaran dan kecermatan tidak lagi bisa mengandalkan kecerdasan biasa.

Kekuatan OTAK

Kita tahu bahwa profesionalitas sesuai dengan bidang kerja yang dibawahi, misalnya kepiawaian sebagai dokter atau peneliti untuk mempimpin departemen kesehatan, tetap perlu dipertanyakan “kelengkapan”-nya. Kepintaran pejabat  dan eksekutif sekarang langsung akan tertantang  oleh keadaan pasar, lingkungan yang tidak beraturan, juga komplikasi perilaku manusia dengan berbagai agenda. Monopoli tidak lagi mempan dan bahkan tidak dibenarkan. Birokrasi yang dulu direspek dan dipanuti sekarang dipantau dan ditagih janji-janji pelaksanaannya. Salah berkata atau bertindak, bisa memicu demo dan pengaduan ke lembaga  berwenang.

Pengetahuan professional memang berkontribusi pada keberhasilan seseorang, namun kita tahu seringkali kegagalan seorang pimpinan bukan terletak pada keahlian dalam bidangnya namun juga seberapa piawai ia mengelola manusia di bawahnya, seberapa jauh ia menguasai mekanisme komunikasi, kinerja tim, dan seberapa mampu ia membangun hubungan dalam tim yang diwarnai ketulusan, rasa percaya dan etos kerja yang baik.

Bukan sekedar ekspertis murni yang dibutuhkan di sini, kontrol sosial pun sangat krusial.  Bahkan pemecahan masalah lebih banyak diarahkan pada kericuhan politis, perang pengaruh, negosiasi kebijakan, prevensi  dan isu-isu global. Ekspertis seorang pemimpin besar perlu ditempatkan pada konteks yang sangat praktis, kekuatan meng-’indra’ lapangan  dan berkaitan dengan berbagai dimensi yang terintegrasi ke dalam masalah yang demikian kompleks dan hanya bisa dijangkau dengan kekuatan berpikir yang tinggi.  Otak tidak saja perlu berkemampuan tinggi , tetapi betul betul perlu kuat alias berkapasitas dobel.

Mempimpin dalam Karakter

Saat menonton tayangan beberapa wawancara ataupun pernyataan pemimpin-pemimpin baru di media, kita segera saja bisa melihat perbedaan antara satu orang dengan yang lain, juga secara otomatis bisa membaca karakter sang pemimpin baru. Ada pejabat yang berapi-api, ada yang sama sekali tidak tersenyum sepanjang bicara, atau ada juga yang bicaranya sangat pelan dan perlahan, tidak menularkan antusiasme, apalagi menampilkan ‘kinclong’-nya  jati diri.  Saya jadi berpikir: “Bukankah karakter mereka yang harus unggul dan mereka dituntut memimpin dengan karakter juga?” Masyarakat atau anak buah tentu tidak ingin mendengar pimpinannya berkata: Maaf, karakter saya memang ‘begini’.”

Setiap pemimpin memang perlu meninjau kembali ‘personal truth-nya. Ia perlu meyakini misi tim atau lembaga yang ia pimpin, sampai ke dasar-dasarnya, sehingga mampu menampilkannya secara moril, bahkan menjadikannya sebagai jatidirinya. Saat prinsip dipegang teguh, otomatis sang pemimpin tidak bisa diganggu gugat, ataupun dibolak balik. Keteguhan ini menyebabkan seorang pemimpin seolah mempunya ‘meta-kognisi’ terhadap  suatu permasalahan dan sangat tahu bagaimana masalah akan dipecahkan, karena jawabannya terdapat dalam setiap nilai  dasar institusinya. Pemahaman mendalam tentang misinya biasanya akan mendorong seorang pemimpin melakukan tindakan-tindakan yang ‘walk the talk’ secara kontinyu tanpa perlu ‘dipikirkan’ bahkan direkayasa.

Menembus kompleksitas dan kegalauan situasi

Kita jadi bertanya-tanya, masihkah banyakkah individu yang kuat menantang badai kompleksitas dan kegalauan situasi, baik Negara maupun ekonomi? Apakah gaji besar yang digembar gemborkan  menggiurkan  sepadan dengan  kesulitan yang dihadapi? Kita sadar bahwa banyak masalah tidak mungkin diselesaikan dengan kapasitas ‘lobby’ yang ada, kecuali dengan expertis empiris yang mapan dan mental baja. Kita lihat bahwa hanya individu dengan semangat juang ekstra dan senantiasa menjunjung pengabdian pada profesi dan negaralah yang bisa  memikulnya.

(Ditayangkan di KOMPAS, 31 Oktober 2009)

For further information, please contact marketing@experd.com