was successfully added to your cart.

Meski kita semua sepakat bahwa harta dan kedudukan bukan jalan satu-satunya untuk mendapatkan respek dari orang lain, kita juga semakin melihat bahwa materi memang sudah jadi tolok ukur untuk banyak situasi. Seakan menjadi sebuah pelecehan sosial dan psikologis atas harga diri kita, bila kita tidak mengikuti arus gaya hidup di masyarakat. “Kan tidak enak loh, kalau semua teman pakai tas puluhan juta, sementara kita satu-satunya yang tidak”, ungkap seorang ibu pejabat. Kita juga kerap mendengar pegawai berkomentar:”Nyatanya memang tidak cukup ya mengandalkan gaji saja. Kita memang terpaksa mencari obyekan dari sumber lain.” Situasinya sekarang, kita bisa menyaksikan betapa orang bisa lebih takut miskin, lebih mati-matian menimbun harta, menjaga kedudukan dan mengejar pangkat, ketimbang memperjuangkan hati nurani, kekayaan jiwa, bahkan kepentingan negara.

Setiap kita bisa saja terjebak dalam situasi dilematis untuk menjaga “harga diri” ini. Pertanyaannya: Maukah Anda dibayar untuk menjelekkan nama orang lain? Maukah Anda menerima uang bila nama keluarga dipermalukan? Maukah Anda melanggar kode etik profesi demi uang? Di sisi lain, kita juga bisa melihat dan bertanya-tanya: Demi apa prajurit kita berjuang mempertahankan perbatasan Indonesia dan memperjuangkan Timor Timur sampai kehilangan anggota tubuhnya, bahkan gugur di medan laga? Mengapa ada pegawai yang jujur sampai akhir karirnya dan membiarkan anak istrinya hidup dengan uang belanja yang pas-pasan? Mengapa ada orang tidak takut dipenjara, ditangkap, kalau yakin tidak salah? Mengapa ada orang yang tetap pada pendiriannya dan kukuh akan keputusan jabatannya walaupun diiming-imingi segelontor uang? Apa beda orang seperti Nelson Mandela dengan kita-kita yang biasa-biasa ini?

Menjaga Amanah

Kita sering tidak habis mengerti, mengapa ada orang yang jelas-jelas salah, namun tetap menyangkali kebenaran. Dalam upaya membela diri, ada orang yang tak ragu bolak-balik mengingkari kata-katanya sendiri. Sebetulnya, kapan seseorang mulai tidak berpikir ‘selfish’ dan tidak lagi semata melihat keuntungan bagi diri sendiri? Psikolog Susan Quilliam mengatakan bahwa tanda orang berangkat dewasa adalah saat ia mulai bisa mengaitkan dirinya dengan kepentingan yang lebih luas, misalnya bisa melihat dan menempatkan dirinya sebagai anggota masyarakat, kelompok profesi, perusahaan, bahkan Negara. Mungkin ini sebabnya, ada seorang pimpinan lembaga tinggi negara menginstruksikan untuk memasukkan kembali pelajaran “Bela Negara” ke dalam kurikulum kursus kepemimpinan para pejabatnya. Tujuannya tentu agar setiap orang bisa diingatkan kembali akan misi dan amanah atas peran, jabatan dan kewenangan yang dibebankan di pundaknya. Dengan demikian, tiap orang bisa berpandangan lebih dewasa dan tidak semata berorientasi: “Me, me, me attitude”.

Dalam skala kecil kita kadang melihat juga gejala tidak terbukanya suatu divisi dengan divisi lain. Seakan khawatir apa yang dibuat atau diciptakan oleh divisi tersebut, dicatut sebagai inisiatif divisi lain. Berkepanjangannya konflik antar institusi yang kita lihat belakangan ini juga memperlihatkan tidak maunya sebuah lembaga dipersalahkan secara sepihak, karena kesalahan juga ada di lembaga lain. Kita jadi bertanya-tanya, mengapa tidak lagi ada semangat ‘korps’ dan keinginan membela kebersamaan? Bukankah lebih bangga bila kita bisa membela kepentingan yang lebih besar, apakah itu kepentingan perusahaan, juga kepentingan masyarakat dan bangsa?

Refleksi Diri

Setelah dipikir-pikir, kualitas karakter seseorang kita lihat ternyata tidak sepenuhnya bergantung dari pendidikan atau lingkungan di mana dia hidup. Tidak jarang kita menemui orang yang pendidikannya rendah, katakanlah para pembantu rumah tangga, tetapi tetap menjaga nilai-nilai kejujuran dan tidak tergoda oleh iming-iming uang di depan mata. Dari mana pelajaran budi pekerti ini didapatkan orang orang yang tidak makan bangku sekolah ini? Kierkegaard, seorang ahli budi pekerti, mengungkapkan bahwa sebagai mahluk tertinggi yang berakal budi, rasa bangga terhadap diri sendiri justru datang dari minat kita terhadap nilai-nilai kehidupan. Orang yang dangkal dan tidak tahu nilai kehidupan, biasanya tumbuh menjadi pribadi yang tidak punya pegangan dan hanya melihat harta sebagai patokan kesuksesan. Sementara, orang yang berminat pada nilai kehidupan, pasti akan setia pada dirinya sendiri dan otomatis pula akan setia pada lingkungan yang lebih luas, keluarga, profesi,  perusahaan, negara bahkan agama.

Ayah saya semasa hidupnya selalu mengingatkan bahwa pengembangan kualitas pribadi akan kembali ke individu masing masing. Sebagai individu, kita sendiri yang perlu teguh untuk mereviu apa yang sudah kita lakukan. Apakah hari-hari yang kita lewati sudah ‘mengisi’ kepribadian dan karakter kita sehingga menjadikan kita pribadi kelas satu atau sekedar biasa biasa saja. “Tidak semua orang bisa berkesempatan melakukan refleksi diri dan cukup inteligen untuk mengkonstruksi karakter yang tasteful” begitu ungkap ayah saya.

Candradimuka

Ujung-ujungnya kita akan menyadari betapa uang bertumpuk-tumpuk, kekuasaan, kewenangan hanyalah sebagian kecil aspek yang seringkali tidak bisa membayar rasa malu, rasa bersalah, kesehatan jiwa dan respek yang kita butuhkan untuk mengkonstruksi dan memperkuat kepribadian kita. Kita jadi perlu mempertanyakan apakah betul gengsi bisa kita dapatkan dari jabatan, uang berlimpah, benda-benda yang kita miliki, serta kekuasaan yang kita dapatkan sebagai pejabat? Bukankah gengsi justru lebih ‘awet’ bila kita menampilkan diri sebagai pribadi yang peduli, penuh minat, berperan sebagai agen dan abdi yang bertanggung jawab dan menghargai setiap orang yang ada di sekitar kita? Bukankah gengsi justru bisa didapat kalau kita berterus terang bila tidak sanggup menjalankan tugas yang diemban. Bukankah gengsi justru didapat bila seorang ayah jujur minta maaf atas kesalahan anaknya dan siap bertanggung jawab atau bila seorang atasan dengan ksatria mengundurkan diri karena kesalahan yang dilakukan anak buahnya? Dunia kerja memang ajang yang baik bagi kita untuk berkembang dan memperbaiki standar kehidupannya. Namun, situasi pekerjaan memang juga  merupakan candradimuka bagi orang yang ingin meningkatkan kualitas pribadi.

(Ditayangkan di KOMPAS, 14 November 2009)

For further information, please contact marketing@experd.com