was successfully added to your cart.

Di jaman sekarang tampaknya kita semakin terbiasa dengan keadaan ‘mengambang’. Banyak perusahaan terus berjalan tanpa adanya keputusan yang tegas mengenai strategi perusahaan. Keputusan kerap digantung, banyak kasus tidak tuntas sampai ke ujung, kebijakan yang tidak jelas dibiarkan terus diinterpretasikan secara berbeda. Kita juga bisa kerap melihat standar ganda, mengenai kebenaran , kejujuran  dan  profesionalitas. Bahkan, komitmen berkeluarga pun kini kerap ‘digantung’, alias setengah kumpul kebo.

Banyak orang mengatakan bahwa dunia memang sudah berubah. Orang sudah menjadi multi-tasker  tulen,  tidak mungkin fokus, tidak mungkin mengerjakan suatu proses benar-benar urut sesuai S.O.P ( standard operating procedure). Lalu, apakah kemudian semua hal menjadi relatif? Semua serba ‘tergantung situasi?’. Padahal, begitu kita menyerahkan pilihan solusi tergantung situasi, kemungkinan besar ‘action’ solusi tertahan dan bisa jadi tidak dilaksanakan. Bila dalam banyak situasi, kita beramai-ramai tidak berani mengambil sikap, bayangkan bagaimana masyarakat kita bisa berkembang? Kita harus sadar bahwa dalam  mengambil keputusan itu pasti ada resiko yang harus ditanggung, ongkos yang harus dibayar bahkan kadang-kadang berupa kesulitan yang harus diderita. Tampaknya tidak ada jalan lain, bila kita memang mau bertransformasi.  Namun, mengapa kebanyakan  kita seolah loyo, tidak bertenaga  mengatasi situasi?

Mengelola Disekuilibrium

Ketika saya mengeluhkan keadaan Negara yang sedang mengalami krisis kepercayaan , seorang teman di luar negeri mengatakan:”Kapan dan di mana sih tidak ada krisis? Dalam keadaan ekonomi yang stabil saja, secara mikro kita juga pasti mengalami krisis. Korupsi, pemakaian obat obatan terlarang, sudah kita kenal sejak jaman Al Capone… Ungkapnya bijak. Menyadari bahwa kita memang hidup dari satu krisis ke krisis yang lain, semestinya membuat kita bisa lebih optimis dalam menghadapi situasi yang sulit, ‘tidak seimbang’, bahkan “merangkul” serta menunjukkan greget dalam menghadapi situasi konflik.  

Seorang psikolog, Julie Gilbert, mengemukakan bahwa individu yang matang dan bertanggung jawab memang selalu dituntut untuk menghadapi dua situasi yang berkonflik. Kita melihat bahwa pribadi yang berkualitas tumbuh dari kemampuannya mengelola hal yang tidak imbang, bertentangan, bahkan berdiri di atas situasi perubahan yang membingungkan. Misalnya saja, di satu sisi ia harus mencari solusi untuk masalah di depan mata, di sisi lain perlu bersiap menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian. Di samping tuntutan untuk melindungi anak buah, ia juga perlu disiplin dan menjunjung integritas. Individu akan tampil penuh greget bila di tengah situasi penuh ketidakpastian, ia  mampu mendiskusikan topik-topik  yang sulit dengan anggota tim. Budaya berani berdiskusi secara terbuka bisa menjaga stamina kita dengan didapatkannya wawasan-wawasan baru yang kita perlukan bagi pemecahan masalah.

Perkuat Sistem Internal yang Sudah Ada

Dalam mencari solusi, kita kerap dituntut untuk bisa menyederhanakan masalah, tapi tentu saja tidak berarti jadi asal-asalan dan menggampangkan. Saat ada masalah di sebuah instansi, pejabatnya dicopot, tanpa hasrat mendalam untuk membenahi sampai ke akar-akarnya. Target penjualan tidak tercapai, komposisi tim dan struktur organisasi langsung dirombak. Kecenderungan untuk mengambil jalan pintas, mengganti personil, seringkali tidak serta-merta menjadi jawaban atas masalah yang kita hadapi. Bahkan, bisa jadi malah menjerumuskan kita lebih dalam.

Sebelum mengambil tindakan yang orientasinya “eksternal” atau “baru”, sesungguhnya kita perlu terlebih dulu berpikir keras untuk mencari kekuatan internal kita. Mungkin saja kita tidak usah mengubah apa-apa, tetapi sekedar me-“reset” ulang proses bisnis dan ‘action’ yang memang sudah dijalankan. Bisa jadi ada proses yang belum optimal, perlu dilengkapi atau bahkan sekedar kurang disosialisasikan saja sehingga belum sampai menjadi kesadaran bersama.

Tidak adanya energi untuk berpikir keras pada situasi di dalam diri kita ini, sering dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa hambatan akan hilang dengan sendirinya. Penelitian membuktikan bahwa tidak lebih dari 20% orang yang divonis berisiko tinggi terancam serangan jantung, benar-benar serius mengikuti anjuran untuk berhenti merokok, berolahraga, mengubah pola makan dan gaya hidupnya. Sisanya yang 80% tampak sulit untuk benar-benar mendorong dirinya untuk memperbaiki keadaan dengan kekuatan maksimal. Padahal, proses untuk menguatkan diri untuk berubah-lah yang justru merupakan modal untuk melakukan inovasi dalam diri dan mengatasi berbagai kesulitan.

Penguatan Diri adalah Target Pribadi

Pe-er kita sebagai manusia dewasa tidak berhenti pada kemampuan menangani hal-hal kirits di lingkungan kita, tetapi juga memperkuat cara pikir dan emosi kita sendiri. Kita tentu perlu meyakini benar, bahwa mengolah, mengelola dan mengoptimalkan ekspresi emosi bermanfaat untuk memperkuat greget pribadi kita. Appropriate displays of emotion can be an effective tool for change, especially when balanced with poise “. Dengan mewarnai tindakan, perkataan dengan emosi yang optimal , individu baru bisa menebar pengaruh, didengar, dipercaya  dan dipanuti lingkungan sekitarnya.

Penguatan diri perlu kita jadikan obsesi, bila kita di masa mendatang memang ingin tetap menjaga stamina pribadi, alias menjadi individu penuh greget. Disamping menjaga sikap optimistis sekaligus  realistis, greget seseorang pasti  akan  keluar dari pribadi yang kuat dan tahan banting.

(Ditayangkan di Kompas, 21 Nov 09)

For further information, please contact marketing@experd.com