was successfully added to your cart.

Sungguh menarik memperhatikan beragamnya reaksi orang saat menghadapi kritik, kegagalan dan kekurangan dirinya. Di sebuah rapat perusahaan, begitu grafik melorot angka pencapaian target ditayangkan, banyak pihak langsung melancarkan aksi bela diri. Ada yang mempertanyakan apakah data yang ditampilkan akurat atau tidak. Ada yang sudah siap dengan alasan panjang lebar untuk mengalihkan perhatian orang dari dirinya. Ada juga yang tanpa sadar “kill the messenger”, dengan mengatakan: “ah, menurut orang lain tidak begitu”. Tidak sedikit yang mengatakan “terimakasih masukannya”, namun dengan nada sinis sehingga pemberi masukan merasa tidak nyaman lagi.

Bila posisi kita sebagai penonton dan tidak terlibat langsung dengan situasi kegagalan, kita biasanya lebih mudah menganalisa reaksi bela diri yang ditunjukkan orang lain. Saat melihat ada orang yang reaksinya cuek seakan tidak mendengar, pura-pura tidak tahu atau bahkan menyerang balik pemberi kritik, kita kerap berkomentar,”Apa sih salahnya mengaku salah? Mengapa tidak langsung memperbaiki diri saja? Bukankah kita untung kalau masih menerima masukan?”. Sebaliknya, pernahkah kita menganalisa bagaimana biasanya kita bereaksi saat menghadapi kritik tajam? Apa reaksi awal saat ide atau proposal kita ditolak? Bagaimana kita bersikap saat pekerjaan kita dinilai buruk? Apakah kita biasanya langsung merasa tertohok dan mempertanyakan balik kebenaran fakta-faktanya ataukah kita siap menerimanya sebagai hal yang membangun? Harus kita akui bahwa dalam keadaan terusik, kita memang punya kecenderungan untuk bela diri dan mengamankan diri dengan berkilah, baik secara verbal maupun dalam hati: “bukan salah saya” , atau “bukan saya saja”. Pertanyaannya, sehatkah mekanisme bela diri yang kita lakukan? Apakah kita cenderung membangun benteng pertahanan diri yang begitu tebal sampai umpan balik mental? Seberapa besar kemampuan kita memanfaatkan kritik, kegagalan, kekurangan dengan cara-cara yang sehat sebagai alat untuk meperbaiki diri?

Menjaga Image atau Menggarap Kualitas Diri?

Pribadi manusia atau yang secara populer disebut sebagai ‘ego’, memang mudah terluka dan rapuh. Itu sebabnya mekanisme bela diri adalah hal yang sangat wajar dan manusiawi, karena ego memang perlu dijaga betul agar tidak cedera. Cederanya kepribadian sering disebabkan karena rasa sakit hati, serangan terhadap diri kita, rasa rendah diri, keinginan-keinginan yang tidak terpenuhi dan semua hal yang menyebabkan individu tidak happy. Bila dalam situasi terpuruk, ego berhasil mengembalikan  kepribadian ke dalam kondisi stabil, artinya tidak tersisa luka, dendam, rasa minder, rasa bersalah yang besar, maka kepribadian dikatakan berhasil membentuk lapisan penguat sebagai hasil latihan mental yang sukses. Inilah proses bela diri yang sehat dan mendorong individu tumbuh lebih produktif dan bahagia.

Pentingnya mekanisme bela diri yang sehat membuat kita perlu meluangkan waktu untuk menganalisa, apakah proses bela diri yang kita lakukan sudah tepat dan sehat atau hanya semu dan malah menumpuk masalah. Kita lihat betapa gejala “pointing fingers” marak kita saksikan di berbagai media. Orang yang dinilai melakukan kesalahan banyak yang balik menyalahkan orang lain, pihak lain, situasi ataupun kebijakan. Belum lagi individu yang memproklamirkan bahwa ia adalah “victim” alias korban situasi. Ada juga orang yang senang mengeluarkan sindiran secara agak kekanak-kanakan yang bertujuan untuk menyelamatkan diri dari konflik atau menghindar dari upaya untuk menggarap diri lebih jauh. Misalnya saja, saat ia tidak diterima kerja di sebuah perusahaan, lalu berdalih, “Ah, perusahaan itu bermasalah. Mana bisa diterima kalau tidak ada koneksi..” Bila kita lebih mementingkan menjaga “image” ketimbang menggarap kualitas pribadi, kita bisa terjebak dalam sikap defensif yang kuat. Semakin sering individu membentengi diri dengan berbagai dalih dan alasan pembenaran diri, semakin sulit ia melaksanakan proses mawas diri. Tanpa disadari, akhirnya kepribadiannya seolah tertutup oleh lapisan tebal tanpa kemungkinan ia sendiri menembus dan bersikap jujur terhadap dirinya sendiri.

Perasaan sebagai Senjata Utama 

Mengakui emosi negatif yang kita rasakan kepada orang lain memang terkadang sulit. Namun sesungguhnya, menerima dan mengakui emosi adalah bagian dari melatih mekanisme bela diri yang sehat. Daripada mencari-cari alasan, kita bisa lebih mawas diri bila mengatakan: “Fakta rendahnya target penjualan di divisi saya sungguh membuat saya malu hati.”. Daripada berpura-pura tidak mendengar kritik yang kurang objektif, kita bisa berterus terang mengatakan,”Saya merasa sedih dan sakit hati mendengar komentar yang kamu sampaikan.” Komentar-komentar ini, walaupun terkadang sulit diucapkan, bukan saja membuat kita bisa mawas diri, tetapi membuat kita juga kelihatan ‘fair’ dan simpatik. 

 Kita memang harus menyadari bahwa tidak selalu orang akan bersikap ramah dan sopan. Tidak semua atasan sabar menunggu ‘timing’ yang tepat untuk menegur kita. Tidak semua orang mengerti bagaimana rasanya mengalami kekalahan dan menahan diri untuk tidak memaki maki bila kita, sebagai atlit kalah dalam membela negara. Apa yang harus kita lakukan bila benar-benar terluka dan tersinggung? Seorang ahli menyarankan untuk “back to basic” dan meninjau kembali idealisme dan misi hidup kita yang sudah pasti positif. Seorang teman yang mempunyai bos super galak bisa ‘survive’ dengan sehat karena ia tidak hanya merasa banyak belajar dari atasannya ini, tetapi juga pandai sekali ‘melupakan’ caci maki atasannya dan tetap ceria. Banyak argumentasi objektif yang bisa kita kembangkan untuk menyeimbangkan diri dan membuat diri kita lebih sehat. Kita pun bisa melihat kekurangan kita dengan penuh rasa humor sehingga meringankan beban perbaikan diri.

(Dimuat di KOMPAS, 12 Maret 2011)

For further information, please contact marketing@experd.com