was successfully added to your cart.

Sekelompok eksekutif di divisi penjualan pada sebuah perusahaan dengan nama besar mengeluhkan berbagai kesulitan yang dihadapi untuk bersaing, survive dan menembus pasar. Tim yang menjadi ujung tombak untuk mencetak profit ini pun ketar-ketir dengan masa depan perusahaan. Kompetitor yang begitu agresif dengan berbagai terobosan, telah merebut pasar mereka. Kini mereka seakan tertampar karena menyadari selama ini alpa mendorong kreativitas sebagai sumber energi di dalam tim dan organisasi. Kita lihat, bukan lagi perlombaan modal yang kita hadapi sekarang, tapi perlombaan kreativitas-lah yang akan menentukan siapa yang melesat ke depan.

Kita memang tidak lagi bisa terlena menjalankan “business as usual”. Istilah “think out of the box” bahkan sudah tidak relevan lagi, karena saat sekarang kita dituntut untuk tidak berada dalam “kotak” lagi. Kita lihat betapa absensi di banyak perusahaan kini tidak relevan lagi, digantikan dengan flexitime yang lebih mampu mendorong produktivitas dan membuat karyawan happy. Ini adalah salah satu contoh dari lenyapnya “box” yang sering disebut-sebut itu. Bisakah kita membayangkan, pola kerja yang telah menerapkan kebebasan absensi, namun tetap menggunakan cara kerja dan kerangka pikir lama? Cepat atau lambat, semua keterikatan, peraturan atau standar operasi yang tadinya ada, harus berubah sesuai tuntutan situasi, perlu ditinjau kembali dan diperbaharui. Siapa penggeraknya? Bukankah kita sendirilah yang harus setiap saat berpikir ‘beda?

Sadar tidak sadar, kita kerap membangun tembok-tembok, benteng atau “kotak” yang membuat pandangan dan pikiran kita terbatas. Bukan saja menyadari, namun kita justru kerap menerima  bahwa kita sudah terkungkung dengan paham konvensional, birokrasi dan rutinitas yang menyebabkan diri kita tidak kreatif. Bila upaya kita mencari jalan keluar dirasa mentok, dengan cepat kita berpikir, “Mungkin saya memang tidak kreatif...”. Terobosan, pembaruan, inovasi adalah tuntutan kerja jaman sekarang. Kita tidak lagi bisa menganggap bahwa semua terobosan yang kita hasilkan adalah hasil kreativitas yang istimewa. Secepatnya, kita harus segera berpikir bahwa ‘box’ yang kita rasa mengurung diri kita hanyalah paradigma yang perlu dicabut dari benak kita. Di saat sekarang, setiap orang harus secerdik kancil, tidak pernah boleh berhenti dan tidak bisa merasa berada di titik ‘kepuasan’ atau ‘comfort’.

Berpikir = Saat Bergembira

Kita sering merasa sudah menggunakan daya pikir kita secara “all out”, apalagi setelah rapat brainstorming atau rapat evaluasi yang sampai membuat kita merasa stres dan lelah. Seorang teman berkomentar: “Kalau dibombardir seperti ini oleh atasan, bagaimana kita bisa berpikir kreatif?”. Ada anggapan bahwa suasana kantor yang tegang membuat orang berhenti berpikir dan seakan menjadi ‘robot’ saja. Rasa takut salah, anggapan bahwa ‘berpikir’ adalah kegiatan yang sangat serius, menyebabkan otak kita membentuk semacam rem yang bisa menghentikan kegiatan berpikir. Sementara, ada orang yang tetap berpikir dalam tidurnya, pada saat melakukan segala macam kegiatan dan kemudian memunculkan ide baru tanpa peduli tempat dan waktu, “The brain is a wonderful organ. It starts the moment you get up and doesn’t stop until you get into the office.”

Marilah kita memperhatikan bagaimana seorang anak sampai pada pemikiran-pemikiran yang unik dan tidak terpikirkan oleh kita. Pertama-tama, ia tidak memaksa dirinya untuk mendapatkan jawaban segera. Pikirannya mengembara tanpa ada batas-batas jam kerja atau situasi tertentu. Ia tidak pernah berpikir apakah ia seorang yang pintar, logis ataupun rasional. Berpikir seakan menjadi kegiatan mental anak yang bagaikan permainan, tidak membuatnya ‘stres’ bahkan membuatnya bahagia. Bagaimana dengan kita dalam situasi kerja? Bukankah kita sering merasa mentok saat kita memaksakan diri untuk berpikir sesuai dengan aturan tertentu atau berusaha se-rasional mungkin? Kita pun kerap membatasi berpikir hanya di saat meeting atau pada saat jam kerja. Belum lagi, kita sering menginstruksikan diri kita untuk tidak memikirkan urusan orang lain, divisi lain, perusahaan lain. Dari sini kita melihat bahwa “mental block” sebenarnya tidak terjadi, namun kita sendiri yang menciptakan benteng dan membatasi kemampuan berpikir kita. Kita yang sudah memblok mental, tentunya akan mati langkah.

Asik Berpikir dan Mengamati

Seorang teman mengatakan bahwa saat sekarang orang sudah tidak perlu susah-susah ‘mencari tahu’ lagi. Dengan bantuan search-engine, semua informasi tersaji di depan mata dalam waktu sekejab. Tantangan pada kegiatan berpikir kita justru saat harus memilih dan memilah informasi yang sudah tergelar secara terbuka dan ‘real time’. Bila kita sibuk membatasi pikiran dan menciptakan batasan-batasan, apa bedanya kita dengan orang yang hidup di era 30 tahun yang lalu?

Seorang teman selalu berkeyakinan bahwa solusi tidak datang begitu saja. Itu sebabnya dia piawai dalam proses mencari jalan keluar. Ia terbiasa mengajukan pertanyaan-pertanyaa, mengisi titik-titik pemahaman yang kosong dan tidak malu-malu belajar pada orang yang lebih junior mengenai sesuatu yang tidak ia ketahui. Ia pun terbiasa menikmati film, memperhatikan gambar, bahkan menunda rapat untuk “mengendapkan” masalahnya semalaman. Banyak tokoh yang kita kenal luas dengan karya kreatif dan inovasinya memiliki kebiasaan berpikir yang membebaskan diri dari “mental block”, misalnya saja Einstein. Sebelum menemukan teori relativitas, Einstein mempunyai kebiasaan melakukan pengamatan kemana saja ia pergi. Tidak ada hal yang luput dari perhatiannya. Ia memasang telinga, hidung dan matanya tajam-tajam dan menyerap semua gejala yang dialaminya. Ia membaca, bermimpi serta hidup dengan pertanyaan-pertanyaan dibenaknya. Bukankah ini kebiasaan-kebiasaan yang sangat bisa ditiru dan juga mudah untuk kita lakukan?

(Dimuat di KOMPAS, 18 Juni 2011)

For further information, please contact marketing@experd.com