was successfully added to your cart.

REVOLUSI AFEKSI

REVOLUSI AFEKSI

Menjelang abad millennium, Daniel Coleman mengguncang dunia inteligensi dengan konsep kecerdasan emosionalnya. Walaupun emosi sudah ada sejak jaman Nabi Adam dan Hawa, namun hal-hal yang berkenaan dengan kecerdasan kognitif dan logika tetap lebih sering diutamakan oleh manusia. 

Ketika dihadapkan dengan masalah kemanusiaan, seperti kasus pemerkosa besar di negeri orang yang terlihat sebagai anak baik-baik, kita jadi bertanya “gangguan emosi apakah yang dimilikinya, sampai-sampai ia tega melakukan hal itu?”

Saktinya emosi

Kita tahu bahwa ada orang yang memiliki kebiasaan memancarkan emosi negatifnya ke lingkungan sekitarnya. Mereka bisa menarik turun energi di sekitarnya sehingga orang yang tadinya bersemangat bisa menjadi ‘bad mood’. Bayangkan dampaknya. “We engage in emotional contagion,” ungkap Sigal Barsade, seorang professor yang meneliti pengaruh afeksi atau emosi di tempat kerja, “Emotions travel from person to person like a virus.”

Setiap orang berada di dalam ‘emotional island’nya yang terbungkus rapi dan membatasinya dengan individu lainnya. Ia membawa emotional islandnya ini ke mana-mana. Bila ia diasuh dalam rumah tangga kondusif yang mampu mendewasakan afeksi di ‘island’ nya ini, maka ia akan bertingkah laku dan bersikap dewasa.  Bila tidak, maka emosinya yang kekanak-kanakan dapat membuatnya menjadi individu yang self oriented, sulit berhubungan dengan orang lain, penuntut dan tidak bisa mengendalikan emosinya. Bila memasuki organisasi yang kondusif, secara bertahap individu yang dewasa membuka jendela ‘emotional island’nya dan mulai berhubungan interpersonal secara emosional. Pada saat ini afeksi atau emosinya akan mempengaruhi proses-proses seperti kinerja, pengambilan keputusan, kreativitas, kerja tim, negosiasi dan kepemimpinannya.

Bersama rekannya Gibson, Barsade menggolongkan keterlibatan emosi di lingkungan kerja ke dalam 3 golongan:

Pertama, ‘discrete’, emosi sesaat seperti rasa senang, marah, takut ataupun kesal.

Kedua, mood yang merupakan kondisi afeksi yang lebih menetap secara jangka panjang dan tidak selalu berhubungan dengan penyebab eksternal.  Bisa saja seseorang sedang berada dalam mood positif atau ‘down’ berhari-hari.

Ketiga, emosi yang lebih menetap, disebut ‘dispositional’ yang mewarnai kepribadian individu. Kita bisa menemui orang yang penggembira ataupun orang yang selalu memberi sentuhan negatif pada situasi yang dialaminya.

Ketiga kekuatan ini bisa bermanfaat atau sebaliknya bisa tidak produktif tergantung pada kemampuan individu mengaturnya. Kemampuan emotional intelligence yang kuat membuat kita mampu mendata beragam situasi emosional. Para start up yang sukses mendalami perasaan, impian dan kebutuhan pelanggan untuk dapat merancang keunggulan produk mereka. Analisa yang dilakukan adalah analisa terhadap emosi pelanggan. Jadi emosi memang perlu digerakkan dengan lebih strategis.

Kita semua adalah ‘emotional labor

Kita tentunya perlu mengkaji ulang bagaimana memanfaatkan emosi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam mengasuh anak, membina keluarga, ataupun berbisnis. Seorang ‘teller’ bank terpaksa harus menjaga kestabilan emosinya, ketika seorang nasabah marah-marah karena kegagalan transaksinya. Ia terpaksa melakukan ‘surface acting’ sesuai dengan ‘roleplay’ yang sudah dilatihkan secara intensif. Tetapi ia juga bisa melakukan ‘deep acting’, di mana ia berusaha betul menjaga nama baik banknya, menjaga hubungan dengan nasabahnya dengan bersikap penuh empati dan berusaha keras mencari solusi. Kita pasti yakin bahwa kedua perilaku ini mempunyai ‘impact’ yang berbeda.  

Praktik-praktik managemen emosi yang efektif

Sampai hari ini kekuatan hubungan emosi tidak bisa digantikan oleh mesin, alias Artificial Intelligence. Bila kita tetap ingin bertahan di jaman teknologi ini, pendekatan emosilah yang perlu kita perkuat.

Sikap yang paling harus dikembangkan untuk memperkuat emosi adalah observasi. Mulai dari observasi perasaan kita sendiri sampai pada hubungan dengan orang lain tanpa membuat penilaian terhadap hubungan itu. Cukup merasakan saja. Kita perlu bisa merasakan emosi tanpa membenahinya pada situasi yang paling tidak nyaman sekalipun. Sulitkah ini? Pasti sulit, tetapi kita bisa.

Selanjutnya, kepekaan terhadap emosi diri ini perlu diikuti dengan kepasrahan. Dengan pasrah, adrenalin untuk bertahan tiba-tiba akan mucul sendiri. Pada saat inilah kesadaran akan positif negatif emosi kita bisa meningkat. Dalam tahap ini, kita sudah siap membuka diri secara bertahap dan menularkan aura positif kepada individu lain. Inilah yang dinamakan ‘non labeling awareness’.

Banyak di antara manusia, hidup sampai usia tua namun tidak pernah memperhatikan keadaan emosinya. Alih-alih berempati atau memancarkan emosi positif, menyadari keadaan emosinya sendiripun tidak. Inilah latar belakang dari gejala penurunan semangat di perusahaan. Di sinilah kita perlu meningkatkan kesadaran kita dan berkeyakinan bahwa emosi kita bisa berbuat banyak bagi kekuatan perusahaan maupun keluarga kita. Stay present!

Diterbitkan di harian Kompas karier 18 Januari 2020

#experd #expert #experdconsultant #revolusiafeksi #revolusi #afeksi

For further information, please contact marketing@experd.com