
Media sosial memberi ruang bagi warganet untuk melontarkan kritik secara terbuka. Ada yang berdasar data, ada pula yang sekadar opini, bahkan tak jarang komentar ngawur yang menimbulkan kebisingan.
Di grup WhatsApp keluarga atau kantor, kritik kerap muncul tanpa filter, dan sering berakhir dengan kesalahpahaman atau kemarahan. Tak jarang ada yang keluar dari grup. Beberapa grup bahkan membuat aturan, “Kita bersenang-senang saja, jangan bahas politik atau kritik sosial di sini.” Akibatnya, obrolan pun aman, sekadar berbagi info kuliner, wisata, atau ucapan ulang tahun, tapi tanpa arah reflektif. Pertanyaannya, apakah menghindari kritik adalah solusi terbaik?
Menolak kritik dapat menutup peluang untuk berkembang dan memperbaiki diri. Saat masukan diabaikan, proses belajar berhenti dan kesalahan cenderung berulang tanpa disadari. Padahal, kritik yang dipahami dengan benar adalah energi untuk bertumbuh, baik dalam kehidupan pribadi maupun dunia kerja.
Kritik menjadi alarm dini sebelum kekeliruan berkembang menjadi krisis besar, selain membantu seseorang mengenali kelemahannya serta menemukan cara untuk memperkuat kinerjanya. Sikap terbuka terhadap umpan balik juga menumbuhkan tanggung jawab profesional dan membangun budaya kerja yang terus bertumbuh.
Membaca kritik dengan cerdas
Tidak semua kritik dapat diterima mentah-mentah. Ada yang mencerahkan, ada pula yang melukai hati. Kuncinya adalah memilah dan memahami sumbernya, termasuk sudut pandang yang digunakan para pengkritik.
Ann Friedman membagi pengkritik dalam empat tipe. Lovers merupakan pengkritik yang mengenal kita dan menginginkan kita berkembang. Critics, yang tak mengenal secara pribadi, tetapi memberi masukan rasional yang berbasis kinerja. Keduanya patut didengar karena membantu kita untuk bertumbuh.
Sementara itu, frenemies mengenal kita tapi menyelipkan niat negatif. Kita perlu waspada, tetapi tak perlu terlalu memasukkannya dalam hati karena kemungkinan besar disebabkan niat buruk atau kecemburuan. Haters tidak mengenal kita dan hanya ingin menjatuhkan sehingga sebaiknya diabaikan.
Menghadapi kritik memang tak mudah. Ia dapat melukai ego dan menimbulkan rasa tidak nyaman. Pujian memang membuat kita senang, tetapi justru kritik memaksa kita berefleksi. Dari sinilah ruang belajar muncul. Untuk itu, penting untuk menahan diri agar tidak defensif. Dengarkan kritik dengan pikiran terbuka, carilah nilai kebenarannya, lalu ambil bagian yang berguna.
Semakin sering kita berlatih menerima kritik, semakin kuat pula kesadaran dan kematangan diri kita. Hal yang perlu kita sadari adalah bahwa kritik akan selalu ada. Jadi daripada menghindar, lebih baik menggunakannya sebagai cermin untuk bertumbuh.
Kritik, akuntabilitas, dan budaya belajar
Kritik yang sehat memperkuat budaya belajar dan akuntabilitas. Jensen Huang dari Nvidia, misalnya, mendorong budaya kritik terbuka dalam timnya. Ia percaya, kesalahan harus dibahas bersama agar menjadi pelajaran kolektif.
Kritik publik yang disampaikan dengan cara membangun bukan untuk mempermalukan, tetapi untuk mempercepat pembelajaran dan menegaskan standar bersama. Dalam praktiknya, kritik semacam ini menumbuhkan rasa tanggung jawab seluruh tim. Individu dan tim sama-sama bergerak untuk mencapai kinerja yang lebih solid.
Kritik terbuka juga mempercepat pembelajaran organisasi. Misalnya, masukan peserta terkait ketidakjelasan instruksi kegiatan dapat diterima dan dijadikan sebagai peluang perbaikan, bukan dianggap sebagai kritik yang menyerang personal.
Dengan demikian, tim dapat melakukan tindak lanjut dengan memperbaiki panduan serta memastikan informasi tersampaikan lebih jelas dari awal kegiatan. Dari situ, berbagai pihak dalam organisasi belajar bahwa mutu layanan bergantung pada kejelasan komunikasi dan kesiapan merespons kebutuhan klien.
Berikan kritik yang membangun
Cara dan konteks penyampaian kritik sangat menentukan dampaknya. Kritik yang tepat membangun, sedangkan yang keliru bisa menghancurkan. Selain itu, kritik kehilangan makna bila diarahkan pada pribadi, disampaikan dengan emosi, atau tanpa dasar yang jelas, apalagi untuk menyakiti. Sebaliknya, kritik menjadi konstruktif jika disampaikan dengan jelas dan penuh empati, disertai dengan niat untuk membantu.
Pendekatan yang efektif dalam memberikan kritik dapat diawali dengan pertanyaan yang terbuka agar penerima terdorong berpikir dan menyadari sendiri apa yang menjadi area yang perlu diperbaiki. Misalnya, alih-alih menyalahkan, kita bisa bertanya, “Menurut Anda, bagaimana perasaan pelanggan jika mengalami situasi seperti itu?”
Pertanyaan seperti itu jauh lebih efektif daripada caci maki atau olok-olok yang hanya memicu sikap defensif. Kritik juga akan lebih diterima bila kita memastikan obyektivitas dengan memisahkan pribadi dari kinerjanya. Kritik yang disertai data atau contoh nyata akan terasa adil dan kredibel. Ini tentunya dapat disertai dengan masukan yang spesifik serta solutif. Kritik semacam ini membuat penerima memahami arah pengembangan tanpa merasa diserang secara personal.
Selanjutnya, tunjukkan niat positif dan harapan tinggi agar penerima merasa dipercaya dan termotivasi. “Saya menyampaikan masukan ini karena saya percaya pada kemampuan Anda untuk mencapai hasil yang lebih baik.”
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah waktu dan nada penyampaian supaya pesan dapat diterima dengan baik. Pastikan pesan dipahami dengan makna yang sama oleh pemberi dan penerima kritik, kemudian akhiri dengan ajakan tindak lanjut, misalnya mencari solusi bersama. Dengan cara ini, kritik tidak lagi menjadi ancaman, tetapi sarana pembelajaran yang memperkuat hubungan profesional dan menumbuhkan budaya saling berkembang.
Ubah kritik menjadi pendorong pertumbuhan
Pada era yang sarat komentar, baik di media sosial maupun ruang kerja, kita perlu menguasai dua keterampilan penting, yaitu kemampuan menerima kritik dengan bijak dan menyampaikannya dengan adil.
Penerimaan yang terbuka menunjukkan kedewasaan dan kesiapan belajar, sementara kritik yang disampaikan dengan niat membangun akan membantu orang lain untuk berkembang tanpa merasa diserang. Keduanya menciptakan hubungan kerja yang saling menghargai serta lingkungan yang mendorong pembelajaran dan perbaikan berkelanjutan.
Dengan kesadaran ini, kritik dapat menjadi peluang untuk belajar, kesempatan untuk berbenah diri, dan dasar bagi peningkatan kinerja.
EXPERD | HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 11 Oktober 2025
#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #seni #melontarkan #kritik